Solusi Hakiki dalam Pemberantasan Korupsi
OpiniFaktor-faktor yang memudahkan terjadinya korupsi
di antaranya kurangnya transparansi dan akuntabilitas sistem yang digunakan
_____________________
Penulis Nafisusilmi
Kontributor Media Kuntum Cahaya
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Media hampir setiap hari memberitakan seputar korupsi. Salah satunya dalam lembaga Perbankan yaitu Bank BRI yang mana KPK membeberkan modus korupsi dalam pengadaan alat Elektronic Data Capture (EDC), yaitu suatu sistem atau perangkat yang digunakan untuk mengumpulkan data secara elektronik. Dalam kasus ini, negara mengalami kerugian mencapai Rp2,1 triliun. (beritasatu.com, 30-06-2025)
Diberita yang lain, KPK mengungkapkan kasus korupsi rekayasa korupsi dalam e-katalog, yaitu suatu sistem yang digunakan untuk pengadaan barang dan jasa. Sistem ini digunakan dalam pengerjaan proyek jalan di Sumatera Utara.
Dalam operasi tangkap tangan (OTT) tersebut KPK menetapkan lima tersangka dari Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Provinsi Sumatera Utara hingga negara dirugikan sebesar Rp231,8 miliar. (kumparannews.com, 04-07-2025)
Kasus di atas menambah panjang daftar korupsi yang menjerat lembaga publik dan perbankan milik negara. Tidak hanya itu, sejumlah kasus besar korupsi lainnya juga menjerat pejabat tinggi maupun elite politik yang mana sampai sekarang masih menggantung di ranah hukum, penuh dengan sandiwara dan tarik ulur kepentingan.
Hingga ada istilah keadilan tumpul ke atas tajam ke bawah. Ironisnya, korupsi ini terus terjadi di tengah pemerintah menarasikan efisiensi anggaran. Di antaranya, pemberhentian bantuan kepada jutaan peserta bantuan iuran (PBI), yaitu jaminan kesehatan nasional. Begitu pun pemotongan tunjangan kinerja guru, pemangkasan dana bansos, menunda dana riset dan inovasi, bahkan dana alokasi untuk pertahanan dan keamanan juga dipangkas yang seharusnya diperkuat justru dikorbankan.
Fakta kontradiksi ini menimbulkan banyak pertanyaan tentang prioritas kebijakan negara. Mengapa rakyat harus menanggung beban dari kebijakan efisiensi? Sementara uang rakyat masuk ke dalam kantung-kantung segelintir penguasa yang menyalahgunakan kekuasaan? Terlihat jelas bahwa negara yang menerapkan sistem sekuler kapitalisme dan neoliberalisme telah gagal mengurus urusan rakyat dan menyelesaikan berbagai problematika kehidupan.
Dalam kasus korupsi ini, menunjukkan bukti bahwa sistem sekuler kapitalisme hanya dijadikan alat tukar antara para pejabat dan pemilik modal hingga tidak dapat diandalkan dalam menyejahterakan dan keadilan bagi masyarakat. Dampak dari sistem pemisahan agama dari kehidupan ini selanjutnya adalah maraknya praktik korupsi tidak hanya terjadi ditingkat elite, tetapi merambah ke akar rumput dan membudaya di berbagai sektor kehidupan.
Faktor-faktor yang memudahkan terjadinya korupsi, di antaranya kurangnya transparansi dan akuntabilitas sistem yang digunakan, lemahnya penegakan hukum terhadap para koruptor. Budaya memberi dan menerima suap dianggap hal yang biasa, kemiskinan dan kesenjangan ekonomi juga dapat membuat orang untuk korupsi. Selain itu, sistem birokrasi yang rumit dan berbelit-belit dapat memungkinkan praktik suap-menyuap.
Berbeda dengan Islam yang memaknai paradigma kepemimpinan harus berasaskan pada akidah Islam, bahkan seluruh aspek kehidupan harus diatur sesuai tuntunan dengan syariat yang mana kepemimpinan tidak hanya mengatur urusan dunia, tetapi penjaga akidah dan moral umat.
Kekuasaan dalam Islam ditunjukkan untuk menjamin syariat diterapkan secara sempurna hingga muncul ketakwaan individu, masyarakat, dan bernegara. Dari ketakwaan inilah muncul rasa takut akan laknat Allah. Sebagaimana Rasulullah saw. bersabda, "Allah melaknat pemberi suap, penerima suap, dan perantara di antara keduanya." (HR. Ahmad)
Beramar makruf nahi mungkar menjadi budaya keseharian. Ini pernah dirasakan pada masa keemasan ketika Islam di terapkan secara keseluruhan kurang lebih 13 abad atau seribu tiga ratus tahun, masyarakat hidup bersih dari korupsi dan penyimpangan kekuasaan.
Kepemimpinan dijalankan dengan amanah dan penuh tanggung jawab dan kesejahteraan dirasakan oleh rakyat secara merata baik kebutuhan pokok seperti sandang, pangan dan papan, kesehatan, pendidikan dan keamanan, pengelolaan sumber daya alam dan pendistribusian kekayaan yang merata. Peradaban emas ini akan terjadi kembali ketika sistem Islam diterapkan secara kafah. Wallahualam bissawab. [Dara/MKC]