Alt Title

Perlindungan Siber Wajib Diberikan Negara

Perlindungan Siber Wajib Diberikan Negara



Dalam sistem kapitalis, teknologi saat ini digunakan untuk mencari keuntungan semata 

bukan demi kemaslahatan umat

___________


Penulis Sri Wulandari

Kontributor Media Kuntum Cahaya 


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI- Di tengah era kemajuan dunia digital yang makin memudahkan aktivitas saat ini, nyatanya memiliki sisi buruk yang dianggap biasa oleh masyarakat. Salah satunya ancaman kepada perempuan dan anak-anak yang makin meningkat. Media sosial tak hanya menjadi tempat membagi dan mendapatkan informasi, tetapi juga menjadi ruang terciptanya kekerasan verbal, eksploitasi seksual, eksploitasi anak, hingga penyebaran pemikiran yang berbahaya. 


Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) Arifatul Choiri Fauzi mengatakan media sosial menjadi pemicu besar penyebab atau sumber utama kekerasan terhadap perempuan dan anak. Isi konten di media sosial banyak tentang diskriminatif, pamer, ujaran kebencian kekerasan seksual daring dan beberapa konten yang tak pantas. Ia juga mengungkapkan terdapat 11.800 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, pada periode 1 Januari hingga Juni 2025. Pada awal bulan Januari hingga 7 Juli 2025 total kekerasan mencapai 13.000 kasus. (Tempo.co, 17-07-2025)


Selain hal tersebut, penggunaan gawai secara berlebihan tanpa pengawasan memadai juga dapat merusak kesehatan mental dan perkembangan sosial dan spiritual anak. Apalagi usia remaja yang sedang dalam masa pencarian jati diri. Dampak buruk lainnya juga memengaruhi fokus belajar, kesehatan mental, serta menurunnya interaksi sosial dan spiritual sang anak. Hal ini menunjukkan bahwa persoalan dunia digital tidak bisa dianggap hal yang sederhana. 


Dengan adanya konten-konten negatif seperti game kekerasan baik fisik atau mental, pornografi, sampai konten yang menjauhkan nilai agama dan kerusakan akidah merupakan bukti nyata tidak ada kontrol negara terhadap ruang siber padahal dari data Kominfo tahun 2023, kurang lebih 1.147.128 konten pornografi yang ditemukan dalam kurun waktu setahun. Mirisnya, upaya-upaya seperti pemblokiran belum mampu menandingi kecepatan penyebaran konten tersebut.


Hal ini menunjukkan saat ini bahwa negara belum mampu memberikan sistem perlindungan yang utuh. Meskipun sudah dilakukan beberapa upaya, seperti disalah satu forum internasional (KemenPAN RB, 2025) tentang pengenalan PP TUNAS (Perlindungan Pengguna Telekomunikasi dan Siber), pada praktiknya ruang digital masih sangat bebas dan berbahaya. Karena selama arus digitalisasi dapat menguntungkan secara ekonomi, maka aspek keselamatan dan moral  dianggap bukan prioritas utama negara.


Sebenarnya, masalah saat ini bukan hanya terjadi karena kurangnya pantauan keluarga atau kurangnya literasi digital. Akan tetapi, karena sistem saat ini yakni sekuler yang memisahkan nilai agama dari kehidupan sehari-hari. Dalam sistem kapitalis, teknologi saat ini digunakan untuk mencari keuntungan semata bukan demi kemaslahatan umat.


Itulah sebabnya negara lebih mengutamakan digitalisasi ekonomi dari pada membangun infrastruktur perlindungan moral dan spiritual. Dunia digital saat ini berkembang sangat cepat, tetapi tidak diarahkan untuk kebaikan umat kedepannya.


Yang lebih membahayakan adalah infrastruktur digital Indonesia bergantung kepada negara-negara maju yang memiliki algoritma, dan konten-konten digital yang memfokuskan pada like, dan engagement, tanpa melihat dampak sosial dan moralnya. Tidak ada tanggung jawab sistemik pada ancaman yang mengakibatkan keterpurukan terhadap generasi muda. Dengan kondisi seperti itu, anak-anak akan tumbuh tanpa adanya perlindungan yang benar-benar peduli pada  mereka.


Berbeda dengan sistem Islam, negara akan bertanggung jawab penuh sebagai pelindung umat.  Sistem Islam memberikan aturan yang berbeda dalam mengelola dunia digital. Negara (Khilafah) memiliki tanggung jawab penuh atas keselamatan rakyatnya, termasuk dalam ruang digital. Negara wajib menciptakan sistem informasi yang aman, sehat, bersih, dan syar'i. Tidak ada tempat bagi konten kekerasan, pornografi. Pengawasan dilakukan secara menyeluruh oleh negara tanpa ada campur tangan perusahaan asing.


Negara dalam sistem Islam akan membangun infrastruktur teknologi secara mandiri, tanpa bergantung dan terikat dengan kekuatan asing. Hal ini dilakukan agar menjamin kedaulatan digital dan kebebasan umat dari pengaruh luar yang dapat merusak. Negara memegang kendali pengembangan teknologi strategis, termasuk sistem informasi dan platform media, agar umat bisa mengakses ruang digital yang aman dan edukatif.


Sistem Islam juga menjadikan teknologi sebagai sarana, bukan sebagai tujuan apalagi untuk kemajuan ekonomi. Pengembangan teknologi dilakukan dengan aturan syariat dan demi kemaslahatan umat. Negara Islam tidak akan membiarkan rakyatnya terkontaminasi konten-konten yang tidak baik demi keuntungan semata. Justru negara akan membimbing masyarakat dengan pendidikan berbasis akidah Islam dan literasi digital yang kuat sejak dini.


Maka dengan peran negara sebagai junnah (pelindung), ancaman kepada perempuan dan anak dari dunia siber dapat dicegah dari awal. Negara Islam tidak hanya reaktif, tetapi proaktif untuk menjaga keselamatan umat di segala lini, termasuk dalam  dunia maya. Inilah bentuk tanggung jawab sejati yang hanya mungkin dapat terwujud dalam sistem pemerintahan Islam yang berasaskan wahyu, bukan dari untung-rugi dunia semata.  


Negara Islam akan memberikan arahan pada pengembangan teknologi terutama dalam dunia siber.  Juga panduan dalam memanfaatkan dan semua itu untuk menjaga kemuliaan manusia dan keselamatan dunia akhirat. Pelaku kekerasan digital atau penyebar konten merusak juga akan dikenai sanksi yang tegas dan adil untuk memberikan efek jera demi menjaga keamanan publik.


Wallahualam bissawab. [EA/MKC]