Alt Title

Korupsi Triliunan: Demokrasi Gagal Islam Solusinya

Korupsi Triliunan: Demokrasi Gagal Islam Solusinya




Islam menawarkan solusi menyeluruh dan menyentuh akar persoalan

Tidak hanya mengatur individu, tetapi juga masyarakat dan negara

_____________________________


Penulis Perawati

Kontributor Media Kuntum Cahaya 


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI-Rakyat kembali menghela napas berat menambah sesak dada dengan berbagai temuan kasus korupsi yang angkanya makin menggila.


Masyarakat kembali dibuat geram oleh temuan kasus dugaan korupsi dalam proyek pengadaan alat Electronic Data Capture (EDC) yang terjadi di lingkungan bank milik negara, Bank Rakyat Indonesia (BRI). Menurut informasi resmi, nominal dugaan kerugian negara mencapai angka fantastis, yaitu Rp2,1 triliun.


Langkah cepat diambil oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), termasuk upaya mencegah lebih dari sepuluh individu bepergian ke luar negeri selama proses penyidikan berlangsung. (beritasatu.com, 05-07-2025)


Tak lama berselang, masyarakat kembali dikejutkan oleh temuan manipulasi dalam proyek pembangunan jalan di Sumatera Utara. Dalam kasus ini, sistem digital pengadaan barang dan jasa (e-katalog) yang semestinya menjamin transparansi dan keadilan justru disalahgunakan demi menguntungkan pihak tertentu. (kumparan.com, 04-07-2025)


Ironi terbesar muncul ketika korupsi-korupsi ini terjadi saat negara sedang mengencangkan ikat pinggang atas nama efisiensi. Rakyat menghadapi pemangkasan tunjangan pendidikan, pemutusan bantuan jaminan kesehatan, bahkan pengurangan dana riset dan bantuan sosial. Namun di sisi lain, sumber dana negara justru dialirkan ke kantong-kantong pribadi melalui praktik korupsi sistematis.


Ini bukan sekadar persoalan moral individu, tetapi gejala kerusakan struktural yang menjalar ke seluruh sendi tata kelola negeri. Saat yang kuat bebas memainkan sistem dan yang lemah terus diminta bertahan dalam sabar, maka yang terjadi bukanlah keadilan sosial, tetapi perampasan hak rakyat secara legal.


Akar Kerusakan Sistem Demokrasi


Sering kali kita melihat pemberitaan korupsi sebagai tindakan pribadi atau kelalaian oknum padahal kasus-kasus semacam ini berulang bukan karena kurangnya aturan, tetapi karena sistemnya memberi ruang sangat luas bagi praktik penyimpangan.


Sistem demokrasi sekuler yang diterapkan saat ini memungkinkan siapa pun menduduki jabatan publik melalui proses politik yang mahal. Kampanye, citra media, dan logistik politik semuanya membutuhkan biaya besar. Akibatnya, kekuasaan bukan lagi amanah, melainkan investasi. Seperti investasi lainnya, hasilnya akan dikejar, sayangnya lewat jalur yang curang.


Proyek-proyek negara, pengadaan barang, bahkan regulasi bisa dipolitisasi. Makin tinggi posisinya, makin besar potensi transaksionalnya. Di sinilah demokrasi menunjukkan wajah aslinya. Sistem yang dibangun atas dasar suara mayoritas, tetapi dikendalikan oleh kekuatan modal.


Sanksi hukum pun tak mampu memberikan efek jera. Banyak pelaku korupsi yang dijatuhi hukuman ringan, mendapat fasilitas istimewa di penjara, bahkan masih bisa kembali ke panggung politik.


Dengan pola seperti ini, kita menyaksikan sistem yang gagal mendeteksi, mencegah, dan mengatasi korupsi. Artinya, permasalahan bukan hanya pada individu, tetapi pada sistem yang membiarkannya tumbuh dan membesar.


Kepemimpinan Takwa dan Sistem Syariat


Islam sebagai sistem kehidupan yang paripurna, memiliki seperangkat aturan yang tidak hanya mengatur aspek ibadah, tetapi juga tata kelola kekuasaan dan hukum publik. Dalam Islam, jabatan bukanlah alat mencari keuntungan, tetapi beban amanah yang berat di dunia dan akhirat.


Pemimpin dalam sistem Islam wajib bertakwa, jujur, dan bertanggung jawab di hadapan Allah dan rakyat. Ia tidak dipilih karena kemampuan mengatur citra atau kekuatan finansial, melainkan karena integritas dan kapasitas menegakkan syariat.


Dalam sistem Islam, terdapat mekanisme yang dijamin akan mampu mengontrol kekuasaan dengan adanya Baitulmal sebagai lembaga keuangan publik yang terpisah dari aset pribadi pejabat.


Kontrol di masyarakat disiapkan lembaga hisbah sebagai pengawas masyarakat yang bisa menegur penguasa secara terbuka. Bagi para oknum yang menyimpang dan melakukan kriminal, disiapkan hukum pidana Islam. Di dalamnya menetapkan sanksi yang adil, proporsional, dan menjerakan bagi pelanggar tanpa pandang status.


Contoh nyata dapat kita lihat dari sejarah para khalifah. Umar bin Khattab r.a. sangat keras dalam mengaudit kekayaan pejabat. Umar bin Abdul Aziz bahkan dikenal memisahkan total urusan pribadi dan negara, mematikan lampu negara jika pembicaraan sudah masuk ranah keluarga. Itu semua bukan karena takut publik, melainkan karena kesadaran bahwa Allah akan meminta pertanggungjawaban atas setiap detik kekuasaan.


“…Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Ma’idah: 44)


Ayat ini menegaskan bahwa menolak hukum Allah dalam urusan publik adalah tindakan serius, bukan sekadar pelanggaran administratif.


Solusi Hakiki Bukan Tambalan Reformasi


Kita tidak bisa terus berharap pada perubahan kecil di dalam sistem yang sudah lapuk. Ganti figur, ganti menteri, bahkan ganti undang-undang tak akan menyentuh akar masalah jika sistem dasarnya tetap demokrasi sekuler yang memberi ruang pada uang dan kekuasaan untuk berselingkuh.


Islam menawarkan solusi menyeluruh dan menyentuh akar persoalan. Tidak hanya mengatur individu, tetapi juga masyarakat dan negara. Solusi Islam bukan retorika, melainkan realita sejarah yang pernah ditegakkan dan membawa keadilan nyata.


Khil4fah Islamiah adalah bentuk institusi politik yang mampu menjalankan syariat Islam secara menyeluruh, menjaga kekuasaan dari penyalahgunaan, serta memakmurkan rakyat tanpa eksploitasi.


Sudah saatnya kita, terutama generasi muda berhenti berharap pada sistem yang terus mengkhianati rakyat. Kita harus membangun kesadaran, menyeru perubahan sistemik, dan memperjuangkan tegaknya Islam secara kafah sebagai solusi nyata bagi umat. Wallahualam bissawab. [EA/MKC]