Alt Title

Menakar Efektivitas Penanganan Kawasan Kumuh di Bekasi

Menakar Efektivitas Penanganan Kawasan Kumuh di Bekasi



Kawasan kumuh tumbuh menjamur bukan sekadar masalah infrastruktur

tetapi ini merupakan persoalan sistemik


_____________________


Penulis Ummu Zhafira

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Ibu Pembelajar 


KUNTUMCAHAYA.com, ANALISIS - Kawasan kumuh menjadi salah satu problem yang muncul di era pembangunan modern. Di balik gemerlap kota dengan gedung-gedung tinggi pencakar langit tersimpan kelamnya hidup kaum terpinggirkan. Mereka tidur beralaskan kardus, berpayung angkuhnya modernisasi. Lantas, siapa yang akan peduli?


Kolaborasi Penanganan Kawasan Kumuh Bekasi


Dilansir dari Tribunnews.com (29-06-2025), Pemerintah Kabupaten Bekasi melalui Dinas Perumahan Rakyat, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (Disperkimtan) Kabupaten Bekasi, terus melakukan upaya penanganan kawasan kumuh di wilayahnya. Disperkimtan berkolaborasi tidak hanya dengan perangkat daerah terkait tapi pemerintah provinsi.


Setidaknya ada tiga strategi utama yang mereka lakukan. Pertama, menggunakan landasan regulasi kolaboratif berupa Perbup No. 50/2024 dan koordinasi OPD. Kedua, digitalisasi data kawasan dengan pemanfaatan aplikasi SIPATUH. Ketiga, pelaksanaan inovatif di lapangan lewat program Bang Fatur Berdasi dan Berkumis, dan program faskum seperti Rutilahu, SPALD‑S.


Berdasarkan data yang dilaporkan pihak Disperkimtan terlihat adanya penurunan jumlah kawasan kumuh yang cukup signifikan. Awalnya lahan kumuh di wilayah Kabupaten Bekasi mencapai 1.800 hektare (2022), kemudian turun menjadi 1.600 hektare (2023), dan 2024 lalu hanya tersisa 671 hektar yang masih perlu untuk ditangani. (Radarbekasi.id, 07-11-2024)


Hal tersebut juga didukung dengan capaian infrastruktur sepanjang tahun ini. Dikutip dari Bekasikab.go.id (26-05-2025), Disperkimtan setidaknya telah merealisasikan jalan lingkungan sebanyak 265 titik dan 71 saluran drainase. Selain itu, mereka telah menyalurkan Rumah Gotong Royong 1.670 unit, dan membangun Sistem Pengelolaan Air Limbah Domestik Setempat (SPALD-S) 1.652 unit, serta 1.246 Penerangan Jalan Umum Lingkungan (PJUL). (Bekasikab.go.id, 02-06-2025)


Bukan Hanya Persoalan Infrastruktur


Kawasan kumuh tumbuh menjamur bukan sekadar masalah infrastruktur, tetapi ini merupakan persoalan sistemik. Sistem ekonomi kapitalis yang diterapkan di negeri ini telah memunculkan berbagai macam ketimpangan struktural, peminggiran sistematis rakyat kecil, dan absennya negara dalam menjamin kebutuhan dasar sebagai hak.


Dalam sistem ini, pembangunan senantiasa berorientasi pada keuntungan, bukan kemaslahatan masyarakat. Hal ini bisa dilihat dari berkembangnya kawasan industri yang sejalan dengan makin megahnya pusat kota, perkantoran, hiburan dan menjamurnya kawasan permukiman bahkan kota mandiri dengan berbagai macam fasilitas lengkap.


Sudah jelas, itu semua hanya bisa dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat dengan pendapatan tinggi sedangkan mereka yang berada di kelas menengah ke bawah semisal buruh pabrik atau bahkan pekerja informal kesulitan untuk mengakses itu semua. Akhirnya, mereka terpaksa bertahan hidup di bantaran sungai atau rel kereta api, di bawah jembatan layang, dan di sudut-sudut kota dengan rumah non permanen beserta fasilitas seadanya.


Tabiat kapitalisme adalah justru menjadikan kota sebagai arena persaingan antara pemilik modal dan warga miskin. Kawasan informal yang menjadi tempat bertahan hidup masyarakat terpinggirkan dianggap “ilegal”. Tidak heran kawasan ini sering digusur, bukan malah diintegrasikan. Berapa banyak konflik lahan yang terjadi, kemudian para pemilik modal muncul sebagai pemenang?


Sudah begitu, negara melepaskan tanggung jawabnya untuk benar-benar memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Rumah dengan fasilitas penunjangnya merupakan kebutuhan mendasar. Negara sudah seharusnya memastikan bahwa setiap kepala keluarga mampu menyediakan rumah yang layak bagi keluarganya. Jika ada yang tidak mampu, negara harus memberikannya. Bukan sekadar memberikan akses ke KPR dengan akad ribawi, bahkan dengan banyak fasilitas rumah yang tidak layak.


Solusi Parsial atau Substansial?


Ketika problem utamanya adalah diterapkannya sistem ekonomi kapitalis, semua program yang dilakukan pemerintah dalam menangani kawasan kumuh tidak efektif. Semua program tersebut masih merupakan tindakan “kuratif” atau tambal sulam, bukan mengubah akar sistemik yang menciptakan problem itu muncul.


Bagaimana pun bagusnya sistem pendataan kawasan kumuh dan pembangunan rumah disertai sarana prasarana pendukung kalau masih membiarkan lahan dikuasai oleh para pemilik modal maka rakyat kecil akan terus terpinggirkan sehingga kawasan kumuh yang diharapkan bisa dikurangi itu justru akan terus muncul kembali.


Dalam jangka pendek, program ini mungkin akan berhasil. Hal ini bisa dilihat dengan adanya perbaikan di titik-titik tertentu. Namun, dalam jangka panjang kawasan kumuh akan muncul kembali di tempat-tempat lain. Bisa jadi jumlahnya lebih banyak dari yang ada sebelumnya karena ketimpangan struktural masih dibiarkan, dan negara juga tidak benar-benar hadir untuk bisa menjamin kebutuhan dasar masyarakat, baik itu sandang, pangan maupun papan.


Islam Wujudkan Lingkungan Aman, Nyaman, dan Sehat


Islam memandang bahwa kemiskinan dan keterpurukan sosial yang melahirkan tumbuh suburnya kawasan kumuh bukan hanya karena minimnya sumber daya, tetapi karena adanya kecacatan dalam distribusi kekayaan. Negara dengan sistem Islam sebagai pelaksana hukum syarak akan memastikan lancarnya distribusi kekayaan di tengah-tengah masyarakat dengan berbagai mekanisme.


Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani menjelaskan dalam kitab Muqaddimah Ad-Dustur: Pasal 125, bahwa rumah adalah kebutuhan pokok yang wajib dijamin oleh negara Islam. Oleh sebab itu, negara wajib menjamin pendidikan dan ketersediaan lapangan pekerjaan sehingga mendorong kaum laki-laki memiliki kemampuan untuk mendapatkan pendapatan yang cukup untuk memenuhi semua kebutuhan hidup keluarganya. Ketika masih ada yang belum mampu memiliki rumah, maka negara wajib memberikannya.


Islam juga melarang keras tindakan monopoli tanah. Ini sejalan dengan pendapat Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitabnya, Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam, hal. 264. "Tanah tidak boleh dibiarkan dikuasai oleh para pemilik modal atau ditelantarkan. Siapa pun yang menelantarkan tanah selama tiga tahun, maka tanah itu akan ditarik dan diberikan kepada orang lain."


Hal ini segaris dengan apa yang disabdakan oleh Baginda Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wassalam, “Siapa yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR. Abu Dawud)


Prinsip pembangunan di dalam Islam harus berbasis maslahah bukan keuntungan semata. Dengan demikian, pembangunan baik kota maupun desa dilakukan untuk memenuhi semua kebutuhan semua lapisan masyarakat. Masyarakat dengan berbagai lapisan dipastikan bisa menjangkau semua fasilitas yang disediakan. Masa kekhil4fahan telah membuktikannya.


Salah satunya adalah pembangunan kota Baghdad sebagai pusat pemerintahan dan peradaban Islam di era Khil4fah Abbasiyah. Kota yang didirikan oleh Khalifah Al-Manshur (762 M) itu dirancang melingkar. Istana dan masjid dijadikan sebagai pusat yang dikelilingi oleh berbagai fasilitas pasar, sekolah, dan permukiman. Semua sarana umum seperti jalan, taman, air, dan rumah sakit juga dibangun oleh negara. Hal ini masih disempurnakan dengan banyaknya wakaf yang menyediakan perumahan rakyat, penginapan musafir, dapur umum (sabil), sekolah dan madrasah.


Tidak ditemukan kawasan kumuh pada masa itu karena sejak awal pembangunan tidak berorientasi pada estetika semata apalagi bisnis. Lebih daripada itu, pembangunan ditujukan untuk kebermanfaatan dan kemuliaan hidup manusia.


Oleh karena itu, untuk menangani kawasan kumuh tidak hanya sekadar dibutuhkan program-program teknokratik saja, tetapi harus ada perubahan sistem secara fundamental, yakni kembali kepada sistem Islam dengan seluruh kebaikannya. Dengannya akan terwujud lingkungan yang nyaman, aman dan sehat. Wallahualam bissawab. [Dara/MKC]