Alt Title

Haji: Tanggung Jawab Negara atau Sekadar Bisnis?

Haji: Tanggung Jawab Negara atau Sekadar Bisnis?



Haji kerap dipandang bukan sebagai pelayanan ibadah umat

tetapi sebagai proyek tahunan yang bernilai ekonomi tinggi

_________________________


Penulis Joviena Alifia Arfah

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Pegiat Literasi


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Kepala Kemenag Kabupaten Bandung Dr. H. Cece Hidayat menyampaikan kabar menggembirakan dari Mekkah terkait pelaksanaan ibadah haji jemaah asal Kabupaten Bandung.


Dia menyampaikan penghargaan atas kelancaran seluruh rangkaian kegiatan, mulai dari keberangkatan hingga pelaksanaan ibadah haji di Arafah, Muzdalifah, Mina, dan Masjidil Haram. Ia juga menegaskan bahwa kebutuhan dasar seperti makanan, penginapan, dan transportasi telah disediakan dengan baik, bahkan menyebut layanan kesehatan dan fasilitas hotel sangat memuaskan. (visi.news, 13-06-2025)


Kesemrawutan Ibadah Haji Tahun Ini


Meskipun banyak hal yang berjalan sesuai rencana, kenyataan di lapangan tidak sepenuhnya seindah yang disampaikan. Faktanya, tidak semua jemaah asal Kabupaten Bandung berhasil diberangkatkan. Sejumlah jemaah terpaksa dipulangkan saat masih berada di Bandara Kertajati, bahkan ada pula yang baru dikembalikan setelah sampai di Jeddah akibat permasalahan visa. Ini menunjukkan masih adanya kekacauan dalam proses administrasi dan pengelolaan jemaah, yang semestinya bisa dicegah dengan sistem yang lebih matang dan terintegrasi.


Selain itu, kemacetan yang terjadi karena sebagian jemaah memilih berjalan kaki ke Muzdalifah juga memperlihatkan kurangnya koordinasi di lapangan. Ini bisa jadi karena ketidaksabaran, tetapi juga bisa mencerminkan ketidakpercayaan terhadap sistem transportasi yang disediakan. Ketidakefisienan ini pada akhirnya berdampak pada kenyamanan dan keselamatan jemaah yang justru seharusnya menjadi prioritas utama.


Komersialisasi Ibadah Haji


Masalah-masalah seperti ini sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari kerangka besar sistem pengelolaan haji kita saat ini yang masih berada dalam logika kapitalisme. Dalam sistem ini, orientasi utama adalah untung-rugi, bukan pelayanan maksimal kepada jemaah. Haji kerap kali dipandang bukan sebagai pelayanan ibadah umat, tetapi sebagai proyek tahunan yang bernilai ekonomi tinggi, melibatkan banyak kepentingan birokratis dan komersial.


Selama negara masih berperan sebagai regulator yang hanya mengatur dan tidak benar-benar hadir sebagai raa’in (pengurus umat), maka masalah teknis dan administratif akan terus berulang. Negara seharusnya tidak hanya menjadi pengawas dari kejauhan, melainkan turut tangan secara langsung memastikan setiap detail pelayanan terpenuhi dengan baik dan manusiawi. Kehadiran negara yang aktif dan berpihak kepada kepentingan jemaah bukan sekadar idealisme, melainkan keniscayaan dalam menjamin hak ibadah yang bermartabat.


Pelayanan Haji dalam Sistem Islam 


Al-Qur’an telah menunjukkan bahwa pelaksanaan haji bukanlah sekadar ritual, melainkan bentuk panggilan suci yang memerlukan pengelolaan yang serius dan penuh amanah:


وَاَذِّنْ فِى النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوْكَ رِجَالًا وَّعَلٰى كُلِّ ضَامِرٍ يَّأْتِيْنَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيْقٍۙ ۝٢٧ ... لِّيَشْهَدُوْا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُ


“Dan serulah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta yang kurus, mereka datang dari segenap penjuru yang jauh, supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka...” (QS. Al-Hajj: 27–28)


Ayat ini menggarisbawahi pentingnya aspek kemanfaatan yang dirasakan jemaah, baik secara spiritual, sosial, maupun fisik. Artinya, pelaksanaan ibadah haji tidak boleh dipisahkan dari prinsip pelayanan yang amanah dan bertanggung jawab.


Ibadah haji tidak semata-mata merupakan kewajiban pribadi, tetapi juga memiliki dimensi sosial yang kuat. Oleh karena itu, negara memiliki tanggung jawab untuk menjamin kemudahan, keselamatan, dan kualitas pelayanan bagi para jemaah, bukan malah memperlakukan mereka sebagai beban administratif atau komoditas bisnis.


Nabi Muhammad ﷺ pun memberikan peringatan keras bagi siapa pun yang memimpin umat dengan cara menyulitkan mereka:


“Ya Allah, siapa saja yang mengurus urusan umatku lalu menyusahkan mereka, maka susahkanlah dia; dan siapa yang mengurus urusan umatku lalu memudahkan mereka, maka mudahkanlah dia.” (HR. Muslim no. 1828)


Lebih jauh lagi, Rasulullah ﷺ menegaskan bahwa pemimpin adalah pelayan umat, bukan penguasa yang lepas tangan:


“Imam (pemimpin) adalah ra’in (pengurus rakyat), dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)


Bahkan dalam hadis lain, Rasulullah ﷺ juga menegaskan bahwa:


“Barang siapa yang diberi amanah oleh Allah untuk memimpin rakyat, lalu ia mati dalam keadaan menipu rakyatnya, maka Allah haramkan surga baginya.” (HR. Bukhari no. 6731)


Hal ini menjadi peringatan tegas bagi seluruh pembuat kebijakan bahwa penyelenggaraan ibadah haji merupakan amanah moral, sosial, dan spiritual, bukan sekadar urusan administratif atau kesempatan mencari keuntungan komersial. Negara harus memposisikan diri sebagai pelindung dan pelayan umat, bukan sekadar operator jasa.


Artinya, pelayanan haji akan jauh lebih baik jika negara benar-benar hadir sebagai pelayan umat, yang menjadikan pengelolaan haji sebagai amanah syar’i, bukan proyek birokrasi atau bahkan ladang cuan. Jika paradigma ini tidak berubah, maka berbagai persoalan akan terus berulang dari tahun ke tahun.


Sistem pemerintahan Islam (Khil4fah) memberikan gambaran yang lebih menyeluruh. Dalam sistem tersebut, negara akan membangun infrastruktur pendukung ibadah secara komprehensif, mulai dari jalan raya, pelabuhan, bandara, hingga transportasi massal seperti pesawat, kereta, dan bus. Semua ini ditujukan agar jemaah dapat beribadah dengan lancar dan tanpa hambatan, terutama di wilayah-wilayah padat seperti Armuzna.


Maka dari itu, ibadah yang dijalankan tanpa kepedulian pada keadilan, pelayanan, dan amanah hanya akan menjadi formalitas kosong. Sudah saatnya kita mengevaluasi ulang, bukan hanya pelaksanaan teknisnya, tetapi juga paradigma dasar pengelolaan ibadah haji itu sendiri. Apakah ini benar-benar ibadah, ataukah telah direduksi menjadi bisnis? Wallahualam bissawab. [GSM/MKC]