Korupsi Membudaya Bukti Gagalnya Sistem Kapitalisme
OpiniSelama kapitalisme sekuler masih menjadi panglima
Demokrasi transaksional masih dijadikan sistem politik
_____________________
Penulis Vina
Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Nutritionist
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Di tengah kondisi ekonomi rakyat yang kian tertekan dan pemangkasan berbagai pos anggaran oleh pemerintah, masyarakat kembali dikejutkan oleh terungkapnya kasus korupsi besar senilai Rp2,1 triliun yang terjadi di salah satu bank milik negara.
Skandal ini berkaitan dengan dugaan penyimpangan dalam pengadaan perangkat Electronic Data Capture (EDC) selama kurun waktu 2020 hingga 2024, yang kini tengah dalam proses penyelidikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tak tanggung-tanggung, sebanyak 13 orang dicegah untuk bepergian ke luar negeri oleh KPK karena diduga terkait dengan kasus besar ini. (beritasatu.com, 30-06-2025)
Ironisnya, skandal ini muncul di saat pemerintah tengah menggembar-gemborkan efisiensi anggaran. Pemotongan dana dilakukan di berbagai sektor strategis: tunjangan kinerja guru dikurangi, program bantuan sosial (bansos) dipangkas, dana riset dikerdilkan, belanja militer ditunda, hingga penonaktifan kepesertaan BPJS Kesehatan (PBI) bagi jutaan rakyat miskin.
Layanan dasar yang seharusnya dijamin negara justru dikorbankan. Namun di sisi lain, triliunan rupiah uang rakyat menguap begitu saja karena ulah segelintir elite yang korup. Tak berhenti sampai di situ, praktik manipulasi dan kongkalikong dalam pengadaan barang dan jasa juga terungkap di berbagai daerah.
KPK mengungkap adanya indikasi manipulasi dalam sistem e-katalog pada proyek pembangunan jalan di Sumatera Utara yang menunjukkan adanya pola penyimpangan kekuasaan secara sistematis demi keuntungan pribadi maupun kelompok tertentu. (kumparan.com, 04-07-2025)
Menilik berbagai fakta tersebut, dapat disimpulkan satu hal, yaitu korupsi telah menjadi budaya. Tak hanya di tingkat pusat, tetapi hingga ke daerah dan berbagai institusi strategis negara. Pertanyaannya, mengapa korupsi terus berulang? Apakah solusinya cukup hanya dengan memperbaiki moral individu? Jelas tidak.
Sumber Kerusakan: Kapitalisme Demokrasi
Realitas ini adalah buah dari sistem sekuler kapitalistik demokrasi yang kini dijalankan di negeri-negeri muslim, termasuk Indonesia. Sistem ini memisahkan agama dari kehidupan, menjadikan hukum sebagai produk manusia yang dapat diubah, dibeli, atau dimanipulasi oleh pemilik kuasa dan modal.
Demokrasi yang kerap dipandang sebagai sistem pemerintahan ideal, ternyata tak hanya sekadar sarana transaksi politik. Kursi kekuasaan diperjualbelikan, jabatan dijadikan investasi politik, dan kebijakan disusun untuk kepentingan elite saja. Ketika kekuasaan dijadikan komoditi, bukan hal mengherankan jika praktik korupsi merajalela karena sistem yang ada memang membuka lebar peluang tersebut.
Negara hanya hadir sebagai regulator, bukan pelayan umat. Tugas utamanya adalah menjamin kelancaran mekanisme pasar dan pertumbuhan ekonomi, bukan memastikan hak-hak rakyat terpenuhi secara menyeluruh. Dalam sistem ini, rakyat tidak dipandang sebagai amanah. Itulah sebabnya pemangkasan anggaran publik lebih mudah dilakukan ketimbang menciduk para koruptor.
Islam dan Solusi Sistemik
Berbeda dengan sistem Islam. Islam bukan sekadar agama, tetapi juga sistem hidup paripurna (kafah). Dalam Islam, kepemimpinan dipandang sebagai amanah syar’i, bukan komoditas politik. Seorang pemimpin bertanggung jawab di hadapan Allah Swt. atas seluruh kebijakan yang diambil. Kepemimpinan dalam Islam dibangun atas akidah Islam, bukan nafsu politik atau kesepakatan elite.
Sistem pemerintahan Islam memiliki perangkat yang mampu mencegah dan menindak korupsi secara sistemik. Misalnya, pengawasan terhadap pejabat dilakukan oleh lembaga hisbah dan kadi mazalim. Seluruh arus pemasukan dan pengeluaran keuangan negara diawasi secara transparan.
Gaji pejabat ditetapkan agar mencukupi kebutuhan hidup secara wajar, tetapi tidak berlebihan. Apabila ditemukan kepemilikan aset mencurigakan oleh pejabat, negara berhak menyita. Bila pelanggaran terbukti, sanksi hukum diberlakukan tanpa pengecualian.
Lebih jauh, Islam menjamin kesejahteraan rakyat secara langsung. Pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan pokok dijamin negara tanpa syarat. Negara membiayai sektor publik dari sumber-sumber harta milik umum dan Baitulmal, bukan dari sistem pajak yang zalim. Ketika kebutuhan pokok rakyat dipenuhi dan pemimpin memiliki kesadaran penuh akan tanggung jawab pada Rabb-nya, maka peluang terjadinya korupsi dapat ditekan semaksimal mungkin.
Fakta sejarah menunjukkan bahwa penerapan sistem Islam benar-benar efektif dan tak terbantahkan. Pada masa Kekhil4fahan, praktik korupsi dapat ditekan hingga nyaris tidak terjadi. Salah satu contoh teladan adalah Khalifah Umar bin Abdul Aziz, seorang pemimpin yang dikenal akan keadilan dan kesederhanaannya.
Saking menjaga amanah, ia memilih memadamkan lampu yang dibiayai negara saat membahas urusan pribadi. Pada masa kepemimpinannya, masyarakat hidup dalam kecukupan hingga sulit menemukan orang yang bersedia menerima zakat karena seluruh kebutuhan mereka telah terpenuhi.
Selama hampir 13 abad, Khil4fah Islam menjadi institusi politik yang konsisten menjaga keadilan dan amanah kekuasaan. Para penguasa didukung oleh masyarakat yang terbiasa dengan suasana amar makruf nahi mungkar. Sistem ini berlandaskan akidah yang kuat, bukan sekadar aturan buatan manusia yang mudah berubah dan rapuh.
Kasus demi kasus korupsi, dari e-KTP, bansos, hingga EDC bank BRI, adalah bukti nyata bahwa sistem kapitalisme demokrasi telah gagal total. Umat tak boleh terus-menerus berharap pada tambal sulam perbaikan sistem yang rusak dari akarnya. Sudah saatnya umat kembali kepada Islam, bukan hanya sebagai ajaran spiritual individu, tetapi sebagai pedoman dalam berkehidupan.
Islam dengan sistemnya telah terbukti mampu menghadirkan kepemimpinan yang adil, bersih, dan menyejahterakan. Maka sudah seharusnya umat bersatu dan bergerak untuk menegakkan kembali sistem Islam secara kafah sebab itulah satu-satunya jalan untuk mencabut korupsi hingga ke akar dan menghadirkan keadilan yang selama ini hanya jadi harapan.
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.” (QS. An-Nisa: 58)
Selama kapitalisme sekuler masih menjadi panglima, demokrasi transaksional masih dijadikan sistem politik. Selama itu pula korupsi akan terus tumbuh dan rakyat akan terus jadi korban. Sudah saatnya kita berubah. Bukan sekadar reformasi, tetapi transformasi total menuju sistem Islam kafah. Wallahualam bissawab. [Dara/MKC]