Alt Title

Kesejahteraan Guru dalam Balutan Kapitalisme

Kesejahteraan Guru dalam Balutan Kapitalisme



Mereka digaji sesuai jam kerjanya mengikuti upah minimum regional (UMR)

yang besarannya berbeda-beda tiap daerah bahkan lebih rendah lagi

_________________________


Penulis Ni'matul Afiah Ummu Fatiya

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Pemerhati Kebijakan Publik 


KUNTUMCAHAYA.com,OPINI - Sungguh ironis, di satu sisi guru diberikan tugas mencetak generasi emas, tetapi di sisi lain jaminan kesejahteraan guru malah makin membuat mereka cemas.


Beberapa hari yang lalu ratusan massa dari Aliansi Guru menggelar aksi demo di depan Gedung Negara Provinsi Banten. Hal ini terjadi di tengah ricuhnya sistem pendidikan saat ini, mulai dari adanya kecurangan pada sistem penerimaan siswa baru, tingginya angka putus sekolah, serta tingginya biaya UKT perguruan tinggi. 


Ada 2 tuntutan yang mereka ajukan dalam aksi tersebut. Pertama, mengenai tunjangan tambahan (tuta) yang belum dibayarkan sejak Januari 2025. Kedua, adalah tentang pengangkatan pengawas sekolah dan pengangkatan guru honorer. Tunjangan tambahan adalah hak para tenaga pendidik baik ASN maupun non-ASN yang mendapat tugas tambahan dari kepala sekolah seperti wali kelas, guru BP/BK, pembina ekstrakurikuler, dan pengelola perpustakaan.


Meskipun beberapa wakil dari massa berhasil menemui Gubernur Andra Soni, tetapi pertemuan tersebut belum menghasilkan keputusan. Alasannya, akan dicek dulu kondisi keuangan dan akan dilakukan pengkajian lebih lanjut.


Kebijakan yang Kontraproduktif 


Ditundanya atau bahkan dihapuskannya tunjangan tambahan ini otomatis akan mengurangi pendapatan para guru. Terlebih, bagi mereka yang tidak punya penghasilan sampingan hanya mengandalkan gaji dari hasil mengajarnya. Hal ini juga akan berefek pada menurunnya kinerja guru.


Menanggapi hal tersebut, Kepala Badan pengelolaan keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Provinsi Banten Hj. Rina Dewiyanti menegaskan bahwa tunjangan tugas tambahan memang tidak lagi dimasukkan ke dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) tahun 2025. Itulah sebabnya mengapa tunjangan tambahan tersebut tidak kunjung dibayarkan sejak Januari lalu. (TangerangNews.co.id, 24-06-2025)


Penyesuaian penundaan tersebut, menurutnya masih merupakan hasil pembahasan tim anggaran pemerintah daerah (TAPD) dengan organisasi perangkat daerah (OPD) terkait, dengan merujuk Inpres No 1 Tahun 2025.


Sementara itu, Plh Sekda Deden Apriandhi menyatakan bahwa alasan dihapuskannya tuta dari APBD karena adanya peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan riset, serta Teknologi (Permendikbud Ristek) bahwa jabatan wakil kepala sekolah, terus ke bawah merupakan tupoksi para guru sehingga tak diperkenankan lagi mendapat tunjangan tambahan.


Harum Namamu Tidak Seharum Gajimu


Permasalahan gaji atau upah memang sering kali menjadi pemicu unjuk rasa di negara-negara yang menerapkan kapitalisme. Hal ini mencerminkan bahwa kebijakan pemerintah terutama yang berkaitan dengan gaji atau upah masih bermasalah.


Seharusnya pemerintah lebih memperhatikan kesejahteraan guru. Tugas seorang guru atau pendidik tidaklah mudah. Di pundak mereka beban dan tanggung jawab besar untuk mencetak generasi emas. Di tangan mereka pula nasib generasi mendatang ditentukan. Maka sudah selayaknya mereka mendapat gaji yang besar sehingga fokus pada tugas dan tujuan pendidikan. Tidak disibukkan mencari pekerjaan sampingan yang pada akhirnya malah mengesampingkan tugasnya sebagai pendidik dan pengajar.


Namun sayang, dalam sistem kapitalis saat ini posisi guru dianggap sama dengan posisi pekerja pada umumnya. Mereka digaji sesuai jam kerjanya mengikuti upah minimum regional (UMR) yang besarannya berbeda-beda tiap daerah atau bahkan lebih rendah lagi. Statusnya sebagai seorang guru pun harus dikotak-kotakan dengan perbedaan guru ASN, non-ASN, P3K, dan honorer. Semua itu berimbas pada besaran gaji yang diterimanya.


Sistem kapitalis telah menjadikan utang dan riba sebagai pijakan ekonomi negara. Maka, memberikan gaji besar untuk para guru dianggap hanya menambah beban negara.


Negara yang seharusnya mengurus masalah pendidikan, malah berlepas tangan. Sedikit demi sedikit, dengan memberikan otoritas pengelolaan pendidikan termasuk pembiayaan kepada sekolah swasta. 


Guru Sejahtera dalam Islam 


Dalam Islam, posisi guru sangat dihargai dan dihormati. Negara tidak segan-segan memberikan gaji yang besar mengingat peran strategis mereka dalam membina generasi dan memajukan peradaban. Hal ini bisa kita temukan dalam sejarah kekhil4fahan. Khalifah Umar bin Khattab misalnya, menggaji guru sebesar 15 dinar per bulan. 1 dinar setara dengan 4,25 gram emas, maka kalau dikonversikan sekarang nilainya mencapai puluhan juta rupiah.


Besarnya gaji guru yang diberikan tidak terlepas dari kondisi keuangan negara yang memiliki pemasukan dari berbagai sumber. Salah satunya adalah dari pengelolaan sumber daya alam. Islam telah mengatur kepemilikan SDA sebagai kepemilikan umum. Pengelolaannya diserahkan kepada negara, sementara hasilnya diperuntukkan bagi kesejahteraan masyarakat seperti untuk membiayai pendidikan.


Dengan pembagian kepemilikan harta yang jelas, Islam menetapkan mana harta yang bisa dimiliki oleh individu, dan mana harta yang menjadi milik umum, serta mana harta yang hanya boleh dimiliki oleh negara. Islam mengharamkan individu atau kelompok menguasai harta milik umum seperti SDA karena akan menghalangi individu lain untuk memperoleh manfaatnya seperti yang terjadi dalam sistem saat ini.


Khatimah 


Demikianlah Islam yang sempurna telah mengatur masalah kesejahteraan guru karena kesejahteraan guru akan berdampak pada kualitas pendidikan yang diberikan. Maka, kondisi perekonomian guru juga harus diperhatikan. Guru sejahtera bukan sekadar harapan, tetapi kenyataan. Semua itu hanya bisa didapatkan dalam sistem Islam. Wallahualam bissawab. [SM/MKC]