Ironi Perdagangan Bayi Negara Kian Tak Peduli
OpiniIroni perdagangan bayi berulang
Sejatinya, kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) ini bukti kegagalan negara dalam menjaga rakyatnya
_________________________
Penulis Ledy Ummu Zaid
Kontributor Media Kuntum Cahaya
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Anak sejatinya adalah anugerah dari Allah Subhanahu wa taala. Kehadirannya tentu dinantikan orang tua dan keluarga. Namun, apa jadinya jika sang anak tidak diinginkan? Banyak hal yang akhirnya nekat dilakukan orang tua maupun orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Misalnya yang baru-baru ini terjadi, yakni kasus perdagangan bayi ke Singapura.
Perdagangan Bayi Persoalan yang Sistemis
Dilansir dari laman kompas.id (18-07-2025) terungkap bahwa tidak hanya 25 bayi yang dijual ke Singapura, melainkan berjumlah 35 bayi. Sejauh ini, lima bayi yang berhasil diselamatkan tengah dirawat di Panti Asuhan Bayi Sehat Muhammadiyah di Kota Bandung. Kemudian, satu bayi lainnya dirawat di Panti Sosial Kementerian Sosial.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mendata 155 kasus pengaduan terkait penculikan, perdagangan, dan penjualan bayi. Hal ini terjadi dalam kurun waktu tahun 2021-2024. Adapun latar belakangnya beragam, mulai dari ekonomi, ketimpangan gender, kesengajaan orang tua sendiri hingga korban kekerasan seksual.
Pada mulanya, sindikat perdagangan bayi melihat kondisi ibu hamil yang putus asa dan akhirnya memanfaatkan situasi ini. Walhasil, banyak korban yang terjebak pada tawaran di media sosial. Lebih lagi, masih banyak yang memandang anak sebagai objek yang bisa menguntungkan. Mereka tidak dianggap sebagai subjek yang berhak mendapat kasih sayang.
Di sisi lain, ternyata sistem kependudukan juga terlibat dalam perdagangan bayi ini. Ada bayi yang dibuatkan paspor hingga orang tua palsu yang memasukkan korban dalam kartu keluarganya.
Anggota Komisi II DPR RI Muhammad Khozin memandang lemahnya sistem keamanan di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dispendukcapil) berpeluang adanya pemalsuan dokumen kembali, seperti yang dilansir dari laman mediaindonesia.com (18-07-2025). Oleh karenanya, ia mendesak Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk meningkatkan pengawasan di berbagai tingkatan Dispendukcapil dan mengusut tuntas pemalsuan dokumen ini.
Ia menyayangkan sudah ada digitalisasi data pada Dispendukcapil, tetapi mengapa pemalsuan dokumen tetap tidak dapat terhindarkan. Hal Ini seharusnya menjadi reminder bagi Kemendagri mengingat persoalan ini terus berulang. Khususnya, setelah pegawai Dispendukcapil berhasil ditangkap dan bergabung dengan 12 tersangka lainnya. Memang benar perdagangan bayi ini merupakan persoalan yang sistemis.
Perdagangan Bayi Tak Terelakkan
Ironi perdagangan bayi berulang. Sejatinya, kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) ini bukti kegagalan negara dalam menjaga rakyatnya. Dalam sistem kapitalisme sekuler, kasus semacam ini tentu tak terelakkan.
Kemiskinan yang membelenggu perempuan menjebak mereka dalam pengasuhan yang berat padahal kemiskinan sendiri adalah hasil dari keputusan politik dan arah pembangunan ekonomi Indonesia. Seperti yang kita ketahui, kemiskinan rentan menimbulkan kejahatan.
Dalam hal ini, perempuan dipaksa terlibat dalam kejahatan, khususnya untuk menghilangkan naluri keibuannya. Banyak anak tidak berdosa dijual sejak dalam kandungan. Inilah gambaran kapitalisme sekuler yang mencengkeram negeri ini. Nilai dan norma agama sengaja dipinggirkan dari kehidupan sehingga semua seolah tidak ada yang mengendalikan.
Banyak orang tua tak lagi melindungi anak-anaknya. Tatanan keluarga telah rusak dimakan zaman. Kemudian, negara juga tidak sungguh-sungguh mengatur kebutuhan dan kehidupan rakyat. Maka tak heran, tindak kriminal meningkat karena banyak orang terdesak menghalalkan berbagai cara untuk mendapatkan uang.
Tak ayal, pegawai pemerintahan juga terlibat dalam kasus perdagangan bayi ini. Sindikat penjualan bayi jaringan internasional pun tentu berperan penting dalam kasus TPPO ini. Inilah bukti kapitalisme menyengsarakan.
Hanya Islam yang Melindungi Umat
Ketika aturan Sang Pencipta, Allah Subhanahu wa taala tidak dijalankan, maka fitrah dan akal manusia akan hilang perlahan. Akhirnya, anak-anak yang tidak berdosa itu dijadikan objek bagi orang tuanya sendiri untuk meraup keuntungan yang besar padahal di dalam Al-Qur’an Allah Subhanahu wa taala jelas mengatakan:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…” (TQS. At-Tahrim: 6).
Dalam sistem Islam, anak dijadikan sebagai aset negara yang strategis karena disiapkan untuk menjadi generasi penerus peradaban yang mulia, sedangkan bagi orang tuanya, anak menjadi titipan Sang Pencipta yang berharga. Dengan demikian, anak akan dilindungi dengan penuh tanggung jawab untuk kebahagiaan dunia dan akhiratnya.
Keluarga muslim akan senantiasa menjaga anak-anak mereka, bahkan sejak dalam kandungan. Dalam hal ini, penjagaan terhadap nasab anak sangat penting karena Islam melarang mendekati perbuatan zina, maka bayi-bayi tidak akan lahir dari pernikahan yang tidak sah.
Di sisi lain, negara menjamin kesejahteraan dan memenuhi semua kebutuhan rakyat dengan baik. Sebagai contoh, sistem pendidikan harus berbasis akidah Islamiah dan dapat dijangkau seluruh rakyat. Sistem ekonomi yang mengatur sumber daya alam (SDA) dengan benar sesuai syariat Islam, tentu dapat menyerap banyak tenaga kerja.
Sistem sanksi dalam Daulah (negara) sudah pasti tegas dan menjerakan, yakni bersifat jawabir (penebus dosa) dan zawajir (pencegahan). Segala aturan kehidupan harus disandarkan pada Al-Quran dan As-Sunah. Dengan demikian, setiap individu rakyat hingga khalifah (penguasa) akan berhati-hati dalam berperilaku karena semua akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah subhanahu wa taala.
“Imam atau khalifah itu laksana penggembala, dan hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap gembalanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Khatimah
Sistem Islam akan membentuk syakhsiyah islamiah (kepribadian Islam) bagi setiap individu rakyat. Oleh karenanya, umat akan bertanggung jawab melindungi diri, keluarga, masyarakat hingga negara. Tidak seperti hari ini, ketika syariat Islam tidak diterapkan secara kafah (menyeluruh) dalam kepemimpinan Islam, yakni Khil4fah Islamiah, maka kerusakan moral terus terjadi. Ironi perdagangan bayi berulang, bukti negara kian tak peduli. Wallahualam bissawab. [GSM/MKC]