Alt Title

Bullying Anak Cermin Rusaknya Sistem

Bullying Anak Cermin Rusaknya Sistem




Paradigma kapitalis sekuler yang diterapkan di negara kita dan di dunia pendidikan 

menghambat anak-anak untuk mengembangkan karakternya sejak dini

_______________________


Penulis Manna Salwa

Kontributor Media Kuntum Cahaya 


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI- Kasus perundungan anak di Bandung kembali menyita perhatian publik. Dikutip dari Kompas.com, (30-06-2025) seorang anak laki-laki berusia 13 tahun dilempar ke dalam sumur oleh teman-temannya, hanya karena tidak mau minum tuak. 


Kejadian ini sempat menjadi berita utama, tetapi sayangnya bukan yang pertama kali. Tahun lalu, beredar video di Bandung yang memperlihatkan seorang siswa SMP dipukuli oleh teman-temannya secara bergantian dan diancam dengan obeng. (Kompas.com, 10-06-2025)


Meski pihak sekolah dan kepolisian sudah turun tangan, perundungan tetap saja terjadi. Menurut data dari Kompas.tv (30-12-2024), Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI)  sepanjang tahun 2024 tercatat lebih dari 570 kasus kekerasan terjadi di sekolah yang sebagian besar bermotif perundungan. Ironisnya, angka ini meningkat hampir dua kali lipat dari tahun sebelumnya. Hal ini menjadi peringatan bahwa perundungan bukan hanya satu atau dua kasus, melainkan puncak gunung es, hanya sebagian kecil dari kenyataan yang ada.


Fenomena perundungan ini menunjukkan betapa rusaknya hubungan sosial anak. Dalam banyak kasus, pelakunya adalah teman sekelas korban, atau dalam beberapa kasus, teman sekelasnya. Jika anak-anak tidak ragu menggunakan kekerasan verbal atau fisik, bahkan memberikan obat-obatan terlarang seperti tuak kepada teman-temannya.


Kita harus mengakui dengan jujur bahwa bukan hanya tindakan mereka yang menyiksa, tetapi juga lingkungan dan sistem tempat mereka dibesarkan. Banyak korban tidak dapat berbicara karena takut akan pembalasan atau merasa tidak akan menerima penyelesaian yang adil.


Prosedur seperti mediasi, pengalihan, dan pelaporan wajib dianggap sebagai pencegah yang tidak efektif dan sering kali tidak meyakinkan keluarga korban. Maka tidak mengherankan jika jumlah kasus terus meningkat setiap tahunnya.


Sekularisme Kapitalisme Melahirkan Regulasi Tumpul


Jika ditelusuri lebih dalam, akar permasalahan ini bukan hanya terletak pada pelakunya, tetapi juga pada sistem yang menopang kehidupannya. Sistem yang berlaku saat ini gagal menanamkan pandangan hidup yang jelas kepada anak-anak. Paradigma kapitalis sekuler yang diterapkan di negara kita dan di dunia pendidikan menghambat anak-anak untuk mengembangkan karakternya sejak dini.


Dalam sistem ini, tidak ditetapkan batasan oleh standar halal atau haram, tetapi oleh hukum buatan yang terus berubah. Definisi "anak" juga hanya ditetapkan oleh standar administratif. Jika anak berusia di bawah 18 tahun, misalnya, ia tidak akan bertanggung jawab sepenuhnya. Oleh karena itu, anak-anak dinilai hanya berdasarkan usianya, meskipun mereka belum siap menjadi orang dewasa dalam hal karakter.


Akibatnya, meskipun melakukan kekerasan, mereka tidak merasa bertanggung jawab moral karena secara hukum mereka masih "anak-anak." Sanksi yang diterapkan juga cenderung lemah dan administratif. Prinsip keadilan restoratif yang saat ini marak digalakkan, kedengarannya baik di permukaan, tetapi sering kali dimaknai sebagai toleransi, dan perundungan akan terus terjadi tanpa adanya pencegah yang kuat.


Sementara itu, sistem pendidikan yang ada lebih mengutamakan persaingan akademis dan orientasi pasar daripada pengembangan karakter. Kurikulum terus berubah, pendidikan agama semakin terpinggirkan. Anak-anak mudah mengakses konten kekerasan, pornografi, dan minuman beralkohol seperti tuak. Jauh dari menciptakan suasana yang mendidik, lingkungan ini hanya menumbuhkan budaya kekerasan. Sistem kapitalis yang menumbuhkan persaingan yang ekstrem juga memengaruhi perilaku anak-anak. Dalam dunia yang menghargai popularitas dan kesuksesan materi, kekuatan fisik dan keunggulan sering kali dianggap sebagai sesuatu yang membanggakan.


Pendidikan Akidah dan Sanksi Syar’i Cegah Perundungan


Sebaliknya, Islam memiliki pendekatan yang lebih mendalam dan sistematis dalam pencegahan perundungan. Dalam Islam, setiap tindakan manusia akan dimintai pertanggungjawaban setelah menginjak usia remaja. Oleh karena itu, pendidikan Islam dimulai sejak usia dini untuk mendidik anak-anak agar mereka dapat menjadi pribadi yang matang saat menginjak usia remaja. Pendidikan ini bukan hanya menjadi tanggung jawab orang tua, tetapi juga masyarakat dan negara.


Dalam Islam, negara merancang kurikulum pendidikan berdasarkan keyakinan Islam. Bertujuan untuk membesarkan generasi yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga bermoral, dan saleh. Negara juga bertanggung jawab atas pendidikan di rumah, dan nilai-nilai Islam ditanamkan dari rumah.


Sistem informasi Islam juga bertujuan untuk mendukung pengembangan kepribadian Islam. Konten kekerasan, pornografi, dan gaya hidup permisif tidak ditoleransi. Negara memastikan bahwa media, kurikulum, dan lingkungan publik semuanya kondusif bagi pengembangan kepribadian Islam. Sanksi dalam Islam juga memainkan peran edukatif dan pencegah. Anak-anak yang belum mencapai usia pubertas tidak dikenakan hukuman berdasarkan hukum syariah, tetapi dapat dikenakan takzir (hukuman) pendidikan oleh hakim.


Hal ini membuat anak bertanggung jawab atas tindakannya. Islam tidak menoleransi perilaku buruk menjadi kebiasaan. Seluruh sistem kehidupan Islam ditujukan untuk melindungi kehidupan dan martabat manusia, termasuk anak-anak.


Frekuensi penindasan terhadap anak-anak dan kekejamannya semakin meningkat menunjukkan bahwa sistem yang ada sangat tidak berfungsi. Sekadar memperketat peraturan atau memperkuat sanksi administratif saja tidak cukup.


Solusi nyata hanya dapat dicapai dengan negara kembali ke sistem kehidupan yang berdasarkan wahyu, bukan hanya kesepakatan manusia. Sudah saatnya untuk kembali ke Islam yang tidak hanya melarang penindasan, tetapi juga menyediakan sistem pendidikan, hukuman, dan lingkungan yang dapat mencegah penindasan dari akarnya.


Wallahualam bissawab. [SM]