100 Hari dan Kredibilitas Pemimpin
Opini
Pada dasarnya keberhasilan pemerintah membutuhkan waktu yang lebih dari angka 100
untuk menunjukkan hasil nyata apalagi yang memberikan dampak besar
_________________________
Penulis Ria Nurvika Ginting,SH,MH
Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Dosen FH
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Bupati Deli Serdang dr. Asri Ludin Tambunan dan Wakil Bupati (Wabup) Lom Lom Surwondo, SS dalam 100 hari kerjanya menciptakan beragam program yang diselaraskan dengan Asta Cita Pemerintahan Presiden dan Wakil Presiden. Program yang sudah dibuat, antara lain Pelayanan Administrasi Secara Elektronik (Paten Kali) demi memberikan pelayanan publik yang Cepat, Transparan, dan Mudah (CTM).
Bupati Bekerja Bertemu Rakyat (Berjemur) menjemput aspirasi masyarakat dan memastikan pelayanan publik terdistribusi merata. Kemudian Program layanan Call Center Deli Serdang Tangguh (Delta) 112, Public Safety Center (PSC) 119, dan Program Berobat Pakai Jempol (Pas Jempol), di mana pelaporan kejadian, penanganan kecelakaan, pelayanan kesehatan lebih cepat dan langsung tertangani.
Dalam meningkatkan sumber daya manusia (SDM) dibuatkan program Satu Desa Satu Sarjana. Hal ini dikarenakan pendidikan merupakan hal yang fundamental. Selain itu, program ini didukung dengan inovasi lain, yakni program Guru Sejahtera, Nyaman, Mengajar, Berkualitas dan Membanggakan (Guru Senyum) untuk meningkatkan kesejahteraan guru, menciptakan lingkungan belajar yang nyaman, serta memastikan guru bisa mengajar dengan berkualitas dan membanggakan serta Pendidikan Murah dan Berkualitas (Pemula). Pengembangan potensi olahraga dan seni budaya dan keagamaan pun terkemas apik dalam program Evoria. (desernews.com, 18-06-2025)
Politik Pencitraan dalam Sistem Demokrasi
100 hari merupakan jangka waktu yang diberikan dalam hal pembuktian kerja politik bagi pejabat/pemerintahan yang telah terpilih. Angka ini digunakan sebagai patokan untuk mengevaluasi kerja nyata dari pemerintah, apakah ada pertanda baik atau buruk dari kepemimpinan tersebut.
Namun, pada dasarnya keberhasilan pemerintah membutuhkan waktu yang lebih dari angka 100 untuk menunjukkan hasil nyata apalagi yang memberikan dampak besar. 100 hari menjadi tekanan bagi pemerintah baru melakukan kejar tayang untuk menunjukkan hasil kerjanya. Wajar akhirnya pemerintah mengambil langkah-langkah cepat yang bersifat “kosmetik”.
Karut marut program hasil terbaik cepat 100 hari ini kita bisa lihat terjadi di tengah berbagai kebijakan struktural yang makin hari makin mengimpit kehidupan rakyat. Namun, semua tampak aman karena dibungkus glorifikasi media, salah satunya lewat tik tok.
Tekanan 100 hari membuat akhirnya pemerintah berupaya tampak baik-baik saja dengan mengambil kebijakan yang memiliki hasil instan dan membesarkan pencapaian kecil hanya untuk mengesankan publik. Pencitraan yang dipoles sedemikian rupa padahal akar masalah rakyat Deli Serdang tidak tersentuh untuk dapat dituntaskan.
Pada faktanya, apa yang dilakukan penguasa bisa jauh berbeda dari apa yang diharapkan rakyat karena penguasa dalam sistem kepemimpinan saat ini bukan pengurus rakyat. Kepemimpinan mereka tidak hanya dalam waktu 100 hari saja. Namun, dalam waktu singkat tersebut mereka terpicu untuk menunjukkan citra baik sedangkan untuk jangka panjangnya belum tentu begitu.
Hal ini bisa dilakukan dengan modal kekuatan politik yang dimiliki sehingga rakyat yang masih berpikiran pragmatis akan terkecoh dengan berbagai program pencitraan dan populis yang digadang-gadangkan sehingga kepemimpinan yang bercorak kapitalis-sekuler ini tidak mampu mereka baca.
Sistem kapitalis-demokrasi yang dari awal pemilihan pemimpin kita ketahui bahwa membutuhkan modal yang besar. Modal yang besar ini pun didapatkan dari para pengusaha atau pemilik modal sehingga ketika duduk di pemerintahan, pemimpin terpilih bukan bekerja untuk mengayomi rakyat, tetapi bekerja sesuai dengan kebutuhan pengusaha (pemilik modal).
Hal ini menyebabkan munculnya banyak persoalan yang sejatinya menjauhkan masyarakat dari mimpi kesejahteraan. Seluruh lini dikapitalisasi, dari layanan publik, krisis ekonomi, politik dan moral makin hari makin menguat. Korupsi makin menjadi-jadi, kriminal makin meningkat, judol dan pinjol makin tidak terkendali, tetapi tidak pernah tuntas terselesaikan.
Selain itu, bencana pun terjadi di mana-mana, sedangkan mitigasi benar-benar seadanya. Rakyat berjuang sendiri dengan kehidupan yang makin hari makin sulit. Mencari lapangan kerja sulit di tengah biaya kebutuhan hidup yang semakin serba mahal. Dengan kondisi ini, negara tidak hadir di tengah-tengah masyarakat untuk mengurusi urusan mereka, melainkan sibuk dengan urusan sendiri.
Negara tidak hadir sebagai pelindung rakyat, tetapi hadir sebagai penjaga kepentingan pemilik modal yang telah memberikan modal untuk menjabat. Hal ini tidak akan tuntas selama sistem yang diterapkan adalah sistem kapitalis-demokrasi. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan hanya merupakan tambal sulam untuk semua persoalan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.
Kepemimpinan dalam Islam
Imam al-Mawardi di dalam Al-Ahkam as-Sulthaniyah mendefenisikan Imamah/Khilafah (Pemimpin) sebagai mawdhu’ah li khilafati an-nubuwwah fii harasati ad-din wa siyasati ad-dunya (topik untuk khalifah [pengganti] kenabian dalam urusan memelihara agama dan mengatur dunia). Pengganti kenabian dalam urusan memelihara agama dan mengatur dunia sesuai dengan apa yang dicontohkan baginda Rasulullah, yakni dengan syariat Islam yang diterapkan secara sempurna dalam seluruh lini kehidupan.
Sosok Imamah/khalifah/pemimpin yang seperti ini sudah pastinya bukan sosok yang suka bermaksiat karena pemimpin seperti ini pemimpin yang taat dan akan menerapkan syariat secara kafah (menyeluruh) saat ia memimpin.
Allah telah berjanji pada kita akan memberikan keberkahan dari langit maupun bumi agar kita hidup aman, sejahtera dan tentram (QS. Al-A'raf ayat 96). Tentu saja keberkahan ini akan kita dapat dengan menerapkan syariat-Nya secara kafah melalui sang pemimpin hingga kita hidup penuh berkah.
Politik dalam sistem Islam merupakan sesuatu yang agung dan mulia. Politik bukan hanya sekadar meraih kekuasaan. Politik dalam Islam adalah mengurusi urusan umat di mana kelak amanah/jabatan tersebut akan diminta pertanggungjawaban di hari akhir kelak. Jelas bahwa politik dalam Islam bukan hanya masalah duniawi saja, tetapi juga memiliki sisi akhirat.
Islam mengajarkan kepemimpinan ditujukan untuk menerapkan syariat secara kafah dan untuk kemaslahatan umat sehingga penting untuk memilih pemimpin sesuai dengan syarat dan ketentuan dari syariat yang telah ditetapkan oleh Sang Khalik serta mendapatkan dukungan penuh dari umat.
Umat menyadari benar dalam kepemimpinannya terdapat ketakwaan dan memiliki kapasitas yang memadai dalam menjalankan seluruh perintah syariat. Kepala negara dalam Islam yakni khalifah dipilih dan dibaiat oleh umat sehingga sistem pemerintahan Islam merupakan sistem yang unik, khas, dan berbeda dari sistem mana pun.
Pemimpin dalam sistem Islam merupakan pemimpin yang berintegritas yang memiliki kepribadian Islam dan memiliki kemampuan dan kelayakan menjadi penguasa. Jelaslah sistem demokrasi merupakan sistem yang lemah dari konsepnya. Tentu dalam pelaksanaannya lebih bobrok lagi.
Sementara Khil4fah adalah sistem sahih yang berasal dari Sang Pencipta, walaupun pada pelaksanaanya tentu akan tetap ada kelemahan karena Khil4fah merupakan negara manusiawi yang dijalankan oleh manusia yang lemah dan terbatas. Sudah saatnya kita kembali pada sistem yang akan melahirkan pemimpin yang meriayah/mengurusi urusan umat sesuai dengan fitrahnya, yakni dengan syariat. Wallahualam bissawab. [GSM/MKC]


