Alt Title

Nasionalisme dan Negara Bangsa Menghalangi Perjuangan Membebaskan P4lestina

Nasionalisme dan Negara Bangsa Menghalangi Perjuangan Membebaskan P4lestina



Apa yang terjadi di P4lestina saat ini bukanlah sekadar isu kemanusiaan

melainkan konflik politik global yang menuntut solusi politik pula

______________


Penulis Sri Wulandari 

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Aktivis Dakwah


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI- Hingga saat ini, penderitaan yang dialami rakyat G4za belum menunjukkan tanda akan berakhir. Setiap hari, dunia menyaksikan penyerangan brutal yang dilakukan oleh penjajah Zion*s Isra*l.


Anak-anak syahid dalam pelukan ibu mereka, bangunan runtuh tak tersisa, rasa aman berubah menjadi mimpi yang jauh dari kenyataan. Dunia internasional bersuara, tetapi tak didengar. Sementara, penguasa negeri-negeri muslim justru hanya terpaku pada pernyataan dan kecaman, tanpa aksi nyata.


Kondisi ini menyentuh hati ribuan manusia, sehingga membuat para aktivis dari berbagai negara menggelar aksi yang menuai banyak sorotan publik yaitu gerakan Global March To G4za (GMTA). Hadirnya gerakan Global March To G4za (GMTA) bukan hanya bentuk solidaritas kemanusiaan global terhadap penderitaan rakyat G4za, tetapi juga bentuk dari kegagalan lembaga-lembaga internasional dan penguasa saat ini, terutama dari negeri-negeri muslim.


Mereka datang dari berbagai negara seperti Maroko, Eropa, Asia, Libya, Amerika, Tunisia, termasuk Indonesia. Mereka berlatar belakang pensiunan, jurnalis, perawat, dokter, pegiat HAM, termasuk anak-anak muda biasa yang ingin berbuat sesuatu yang lebih dari kata-kata, mereka tak tahan lagi melihat berita dari G4za. Gelombang nuranilah yang menuntun langkah mereka.


Aksi yang dilakukan oleh puluhan aktivis ini, meski dipenuhi semangat dan pengorbanan, justru memperlihatkan bahwa kekuatan moral tanpa dukungan politik yang kuat dan tegas akan selalu dihadang oleh tembok kekuasaan yang dibangun atas dasar kepentingan nasionalistik dan konsep negara bangsa. Gerakan Global March to G4za yang berlangsung dari Al-Arish menuju Gerbang Rafah menjadi sorotan dunia internasional sebagai bentuk estafet nurani kolektif yang menolak diam atas krisis kemanusiaan di P4lestina.


Namun, kenyataannya Pemerintah Mesir dilaporkan mendeportasi 30 lebih aktivis yang berencana mengikuti konvoi kemanusiaan dengan tujuan melawan blokade Isra*l di Jalur G4za. Penyelenggara Global March To G4za melaporkan kurang lebih 170 peserta ditahan dan diusir ketika berada di Kairo. Dikutip kompas.com (17-06-2025)


Kenyataan pahit bahwa para aktivis ditahan dan diusir di gerbang Rafah oleh otoritas Mesir, negeri yang dikenal mayoritas penduduknya muslim, menyingkap tabir bahwa nasionalisme dan konsep negara bangsa telah menjelma menjadi alat penjajahan baru. Pintu Rafah, yang seharusnya menjadi jalan masuk bantuan dan dukungan ke G4za, malah berubah menjadi simbol nyata pengkhianatan terhadap ukhuwah Islamiah karena tunduk pada kepentingan geopolitik dan tekanan dari kekuatan adidaya, seperti Amerika Serikat.


Paham nasionalisme yang ditanamkan setelah keruntuhan Khil4fah Utsmaniah telah memecah belah dunia Islam menjadi negara-negara kecil yang masing-masing menjaga batas wilayah dan kekuasaan sendiri. Ikatan kebangsaan lebih dikedepankan daripada ikatan akidah sehingga penderitaan umat di satu bagian dunia Islam tidak lagi dirasakan sebagai bagian dari penderitaan sendiri. Inilah warisan kolonial yang berhasil menghancurkan satu-satunya kepemimpinan politik Islam yang dahulu mampu menjadi perisai bagi kaum muslim.


Nasionalisme telah mematikan hati nurani para penguasa negeri-negeri muslim kepada rakyat muslim itu sendiri. Jiwa nasionalisme mereka telah tertanam di hati mereka. Bahkan mereka lebih taat kepada batas-batas imajiner yang diciptakan penjajah daripada ikatan akidah dengan saudara seiman.


Bahkan, mereka tanpa berpikir panjang membantu kepentingan Amerika dan Isra*l demi legitimasi kekuasaan semu mereka. Tentara-tentara yang seharusnya membela kehormatan dan darah umat Islam justru menjaga perbatasan dan mengusir saudara-saudaranya yang ingin membela G4za.


Persoalan ini seharusnya umat Islam sadar bahwa hal yang dialami P4lestina saat ini bukanlah sekadar isu kemanusiaan, melainkan konflik politik global yang menuntut solusi politik pula. Jadi, segala upaya penyelesaian yang terbatas pada aspek diplomasi atau bantuan kemanusiaan akan selalu terbentur oleh tembok legalitas negara bangsa yang telah dikuasai oleh sistem kapitalisme global.


Umat Islam harus tahu bahwa hanya dengan menghapus batas-batas negara buatan ini dan menyatukan kembali kaum muslim di bawah satu kepemimpinan politik Islam—Khil4fah—maka perjuangan membebaskan P4lestina akan menemukan arah dan kekuatan sejatinya.


Maka, untuk menyelesaikan persoalan P4lestina umat Islam harus membuang nasionalisme dan menggantinya lagi dengan spirit ukhuwah Islamiah. Karena Islam menetapkan sesama muslim adalah saudara yang diibaratkan satu tubuh, harus saling peduli, menyayangi, dan berempati.


Dari An-Nu’man bin Bisyir dia berkata, bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:


"Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam hal saling mencintai, mengasihi, dan menyayangi di antara mereka adalah ibarat satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh tubuhnya akan ikut terjaga (tidak bisa tidur) dan panas (turut merasakan sakitnya)." (HR. Muslim No 4685)


Umat beserta penguasa negeri-negeri muslim tidak boleh lagi diam dengan kondisi P4lestina yang makin memburuk, basa-basi atau hanya membantu atas nama kemanusiaan. Akan tetapi, harus dengan kekuatan militer yang dimiliki oleh umat Islam. Karena sesungguhnya umat Islam sudah memiliki semua potensi, baik dari SDA maupun SDM. Tinggal disatukan dalam satu kepemimpinan global, yakni kembalinya kekhilafahan Islamiah. Wallahualam bissawab. [EA/MKC]