Kisah Pilu Ekspemain Oriental Sirkus Taman Safari Indonesia
Surat PembacaHidup di sistem kapitalis sekuler saat ini membuat kita berpikir
betapa lemahnya peran negara
_______________________
KUNTUMCAHAYA.com, SURAT PEMBACA - Dunia saat ini dibuat tercengang dengan kabar pemberitaan dari beberapa jebolan pemain sirkus Oriental Circus Indonesia (OCI) Taman Safari Indonesia (TSI). Mereka menyambangi Kementerian Hak Asasi Manusia (KemenHAM) terkait dugaan eksploitasi yang dialami saat bekerja di sana.
Berita yang menggemparkan tersebut, berdampak kepada Taman Safari Indonesia (TSI) yang kembali disorot masyarakat. Terutama oleh netizen di dunia maya.
Masyarakat jadi mengetahui betapa kejamnya perlakuan pihak Taman Safari. Mereka mengaku diperlakukan secara tidak manusiawi sejak mereka kecil tinggal dengan pemilik Taman Safari tersebut. Dalam pengakuannya eks pemain OCI kepada Wakil Menteri HAM Mugiyanto mengungkapkan ada praktik perbudakan dan kekerasan.
Dari laporan tersebut, Kementerian HAM pun memanggil pihak Taman Safari untuk memberikan tanggapan terkait kasus tersebut. Komisaris TSI Tony Sumampouw membantah tuduhan itu dan mengatakan tuduhan itu salah alamat. (detik.com, 20-04-2025)
Bantahan tersebut sangat kontras dengan hadirnya puluhan korban yang diasuh sejak balita. Mereka diambil dari tangan orang tua mereka, bahkan ada yang diambil dari tempat penampungan tidak jelas asal-usulnya. Mereka dijanjikan diberi pendidikan yang layak. Namun nyatanya, mereka dijadikan pemain sirkus dari sejak usia dini. Kekerasan fisik maupun verbal pun mereka alami.
Sistem Kapitalis Sekuler Pemicu Eksploitasi Anak
Sungguh sangat menyayat hati kita sebagai netizen merasa sangat geram. Terlebih pihak Taman Safari menyangkal perbuatan tersebut. Diadopsinya sistem kapitalis sekuler jadi pemicu utama terjadinya eksploitasi anak. Para oligarki tersebut dengan leluasanya memanfaatkan tenaga anak dari sejak dini bahkan tanpa bayaran.
Kurangnya ketahanan keluarga titik awal munculnya kerumitan kasus ini. Mereka dengan mudahnya melanggar syariat tidak mengindahkan aturan Islam. Namun saat terlahir seorang anak ke bumi, mereka dengan mudah pula menjualnya atau mengalihkan tanggung jawab kepada pihak lain. Gayung pun bersambut, saat pihak luar memanfaatkan peluang, terjadilah eksploitasi.
Lemahnya Peran Negara
Hidup di sistem kapitalis sekuler saat ini membuat kita berpikir, betapa lemahnya peran negara. Kasus yang jelas-jelas menimbulkan kekejaman dan menghilangkan kemerdekaan anak-anak dibiarkan berlangsung begitu saja bertahun-tahun tanpa ada sikap tegas negara padahal seharusnya penderitaan mereka bisa berakhir kalau negara dari dulu turun tangan pelakunya diadili dan dipidanakan.
Lemahnya sistem pendidikan di Indonesia juga jadi salah satu faktor penyumbang terjadinya eksploitasi anak ini. Negara gagal dengan program pendidikan yang diusungnya. Pendidikan yang bagus hanya bisa di terima bagi mereka yang berkecukupan. Tidak adanya jaminan pendidikan dari pemerintah sehingga orang tua dengan mudahnya melepaskan kehidupan anaknya ke pangkuan orang lain dengan diiming-imingi jaminan pendidikan yang layak.
Dalam aturan Islam itu sendiri harusnya pendidikan adalah tanggung jawab negara kepada rakyatnya. Bukan tugas individu apalagi pengusaha yang rentan untuk mengambil keuntungan.
Solusi Islam
Negara juga wajib membina masyarakat untuk tidak individual. Kebiasaan di masyarakat, mereka enggan melakukan pembelaan jika terjadi kekerasan yang melanggar hukum. Terlebih jika pelakunya para konglomerat. Lagi-lagi uang berbicara dan kebenaran jadi hal yang rancu. Benar dan salah sulit dibedakan karena sudah diperjualbelikan.
Kekacauan tersebut hanya bisa diselesaikan jika aturan Islam tegak di muka bumi ini. Karena hanya aturan Islamlah yang paling tegas bersifat preventif dan bikin efek jera bagi pelakunya. Wallahualam bissawab. [SM/MKC]
Siti Sopianti