Adakah Delik Tegas dan Berefek Jera untuk Penista Agama?
Opini
Sangat berbahaya ketika penistaan dibiarkan liar tanpa tindakan tegas
Akan sangat mungkin kesesatan demi kesesatan diadopsi oleh generasi
__________________
Penulis Rizka Adiatmadja
Kontributor Media Kuntum Cahaya, Penulis Buku dan Praktisi Homeschooling
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Penistaan agama terus berulang dan kasusnya tidak pernah berkurang. Sepertinya, sudah menjadi pemandangan biasa bahkan atas nama kebebasan berkeyakinan ada sebagian yang membela. Banyak yang kontra dan sering dilabeli mabuk agama. Padahal tegas kepada penista agama adalah bagian dari mencegah kemungkaran agar tidak merajalela.
Dikutip dari tvonenews.com, seorang laki-laki bernama Abuya Ghufron Al-Bantani, pemilik nama sapaan Abuya Mama Ghufron yang viral sebagai "sang wali" dan diragukan warganet. Ia mengeklaim sudah merilis 500 kitab berbahasa Suryani. Bahasa Suryani atau bahasa Suriah yang memiliki definisi bahasa Aram Timur di zaman Siria Kuno. (13 Juni 2024)
Jika banyak umat Islam yang berpemahaman lemah, tentu peristiwa viral Abuya Mama Ghufron ini akan membahayakan akidah. Terlebih dengan gigihnya ia dalam mempertahankan pendapatnya.
Seorang aktivis Islam menegaskan bahwa pemahaman yang dimiliki Abuya Mama Ghufron ini tentu meresahkan karena menyesatkan. Bahkan, harus ada tindakan hukum yang disegerakan agar kondisi tersebut tidak berlarut-larut berkembang di permukaan.
Dikutip dari suaranasional.com – Farid Idris selaku aktivis Islam memberikan pernyataan. Jika ajaran Abuya Mama Ghufron isinya sangat menyesatkan. Ia mengimbau agar Kemenag segera bertindak. (19 Juni 2024)
Kasus Penistaan yang Terus Berulang
Indonesia sebagai negara mayoritas muslim terbesar di dunia, memiliki potret buram terkait penistaan agama. Tak satu pun kasus selesai sampai akar. Sehingga gerakan penista tetap ada bahkan memiliki pengikut yang tersebar.
Kasus nabi palsu menggegerkan Donggala Maret 2023. Di Probolinggo, Juni 2022 seorang laki-laki mengaku nabi pula dan menyeru untuk berjihad kepada warga. Bahkan, Lia Eden yang berkali-kali melakukan penistaan. Beberapa kasus di atas yang menjadi sebagian kecil penistaan agama yang terjadi di Indonesia. Klaim sebagai wali, nabi, malaikat, mungkin tak segan mengaku titisan Tuhan.
Pasal 156a KUHP yang memberikan hukuman kepada penista agama dengan ganjaran penjara selama enam tahun. Ternyata, aturan tersebut tak sedikit melahirkan efek jera. Penistaan agama terus muncul dan beruntun.
Semua membuktikan jika negara masih gagal menangkal para penista agama yang bebal. Ditambah dengan kondisi pemahaman umat dalam lingkar kuat kebebasan beragama dan berkeyakinan. Banyak sekali yang rentan berpindah keyakinan karena melihat cara beribadah yang instan. Bagi yang malas berpikir kondisi tersebut seperti sebuah alternatif untuk memenuhi naluri ketuhanan yang tidak lagi bersandar pada kemurnian iman (berpondasi akidah Islam).
Bahaya Penistaan Agama
Menjadi sebuah keniscayaan, penistaan agama sulit sekali dientaskan. Semakin dibasmi malah kian bersemi. Mengapa demikian? Jawabannya, semua sangat jelas bahwa kerusakan tersebut begitu sistemis. Seperti penyakit menular yang kronis. Karakteristik sekularisme memang menyuburkan penodaan terhadap apa pun atas nama kebebasan, termasuk ranah agama dan keyakinan. Terlebih demokrasi yang menjadi biang dari banyaknya kelahiran kebebasan.
Sangat berbahaya ketika penistaan dibiarkan liar tanpa tindakan tegas. Akan sangat mungkin kesesatan demi kesesatan diadopsi oleh generasi. Apakah kita akan rela melihat generasi yang memimpin kelak ternyata memiliki pemahaman salah terkait agama?
Bukankah agama dan kekuasaan tidak bisa dipisahkan? Artinya ketika kekuasaan tidak bersandar pada agama hancurlah semua tatanan. Untuk sebuah institusi negara sangat perlu pemimpin sejati, yang memiliki sandaran hakiki dan ketakwaan murni.
Urgensi Menjaga Akidah
Islam dengan sistem pemerintahannya sangat tegas menjaga akidah umat. Tak ada aturan yang membebaskan pemahaman. Semua dibentuk agar umat memiliki pemahaman lurus yang menenteramkan jiwa dan memuaskan akal.
Langkah awal untuk membuat semua kondusif adalah kewajiban menerapkan hukum Islam secara menyeluruh dalam naungan sistem Islam. Mengapa harus sistem Islam? Karena hanya sistem Islam yang bisa menjalankan syariat Islam secara kafah (kompatibel/selaras).
Hal yang tidak kalah penting adalah membentuk kurikulum pendidikan yang berbasis akidah Islam. Sedari dini umat dipahamkan dengan hal yang hak dan batil, perbuatan halal atau haram. Baik dan buruk yang tidak hanya dilihat dari kacamata manusia, tetapi bersandar sepenuhnya pada pandangan Sang Pencipta.
Kalangan pendakwah tak akan bermudah-mudah memberikan hujah kecuali hal yang benar-benar dipahami dan digali dari hukum-hukum syarak. Tak akan ada yang berani bertausiah atas dasar nafsu sendiri yang ingin dipandang sebagai wali atau nabi.
Jika penistaan itu ada, seorang khalifah akan menindak tegas. Ketegasan dalam menegakkan aturan akan melahirkan efek jera bagi pelaku pelanggaran atau penistaan tersebut. Tentu penistaan tersebut ada di beberapa zaman kekhilafahan, tetapi kondisinya tidak akan berlarut-larut seperti hari ini. Sebab, satu kasus yang terjadi akan diselesaikan hingga tuntas bahkan tidak menyisakan bekas.
Hanya sistem Islam yang mampu menjaga akidah umat, menutup pintu-pintu yang bisa membuka aliran sesat. Sejatinya, akidah harus dijaga agar tauhid murni tertata. Wallahualam bissawab. [Dara]