Alt Title

Mengatasi Sikap Menunda-nunda

Mengatasi Sikap Menunda-nunda

 


Islam memandang kemalasan itu merupakan penyakit yang bisa menghalangi dalam mendapatkan kebaikan-kebaikan

Yang boleh jadi kebaikan itu sudah ada di hadapan kita

______________________________


Bersama Ustazah Dedeh Wahidah Achmad


KUNTUMCAHAYA.com, TSAQAFAH - Kajian tsaqafah keluarga yang tayang dalam channel youtube Muslimah Media Hub (MMH) sangat menarik untuk kita ikuti. Ustazah Dedeh Wahidah Achmad akan menjelaskan, bagaimana caranya agar kita bisa mengatasi rasa malas. Sehingga kita tidak menunda-nunda suatu amalan. Karena bisa saja amalan tersebut bernilai pahala yang melimpah di sisi Allah Swt.. Nah, berikut penjelasan lengkapnya.


Kita semua pasti pernah mengalami malas, kemudian sulit untuk bersegera melakukan kebaikan, atau dengan kata lain menunda-nunda suatu amal. Dan, baru menyesali setelah kita mengalami kerugian, merasakan dampak dari penundaan tersebut. 


Lantas bagaimana Islam memandang, serta apa yang harus kita lakukan agar kita tidak terjerumus kepada menunda-nunda amal.


Ustazah Dedeh menjelaskan, Islam memandang kemalasan itu merupakan penyakit yang bisa menghalangi dalam mendapatkan kebaikan-kebaikan. Yang boleh jadi kebaikan itu sudah ada di hadapan kita. Kebaikan yang sudah dijanjikan oleh Allah Swt. kepada kita. Namun karena kita tidak melakukannya dengan segera, tidak menjemputnya, akhirnya kebaikan itu menjadi jauh bahkan hilang begitu saja. 


Karena itu, kita harus mengetahui apa saja penyebabnya, sehingga kita malas melakukan bahkan menunda amal tersebut. Supaya kita bisa melakukan antisipasi serta mencari solusi. Setidaknya ada 4 hal yang bisa memengaruhi rasa malas pada diri seseorang sehingga dia  menunda-nunda amal yaitu:

 

Satu, tidak mengetahui hakikat amal. Amal, sering kali dianggap sebagai hal yang biasa. Sehingga mau dilakukan ataupun tidak, ya tidak apa-apa, tidak ada pengaruhnya.


Dua, tidak memahami urgensi suatu amalan. Ketika kita tidak tahu bahwa sebuah amal itu urgen, penting, status hukumnya wajib, kalau kita lakukan ada pahala yang melimpah, ada keridaan Allah, ada kasih sayang Allah yang diberikan kepada kita, maka dorongan untuk melakukan amalan tersebut tidaklah kuat. 


Tiga, tidak mengetahui cara (kaifiyah) beramal.

Contoh, ketika seorang ibu ingin memasak sesuatu, tapi dia tidak tahu cara memasaknya, padahal bahan-bahan sudah tersedia, alat-alat memasak sudah ada, tapi karena tidak tahu cara memasak, akhirnya dia hanya termenung, malas untuk melakukan amalan tersebut.


Begitupun dengan berdakwah. Ketika kita sadar bahwa berdakwah itu wajib, amar makruf nahi mungkar itu wajib, tapi tidak sedikit orang yang tidak melakukan amalan tersebut karena mereka tidak tahu cara melakukannya. Cara bagaimana mengajak orang, bagaimana cara agar orang mau mendengarkan nasihat kita. 


Empat, sedang diuji oleh Allah Swt. terkait kehidupan. Keadaan ini ada pada diri kita. Mungkin karena capek, sedang sakit, atau ada aktivitas lain yang harus lebih didahulukan. Tidak sedikit orang yang dihadapkan dengan pekerjaan yang banyak sehingga timbul rasa malas, dan akhirnya menunda-nunda pekerjaan. Nanti lagi, nanti lagi, yang boleh jadi, bukannya pekerjaan berkurang tapi justru lebih kepada menumpuk pekerjaan.


Lantas bagaimana kita menghadapinya?

Malas adalah thobii, sesuatu yang wajar, tetapi begitu harus segera kita selesaikan. Caranya adalah kebalikan dari empat hal di atas, yaitu:


Pertama, harus memahami hakikat amal. Allah Swt. berfirman:

"Katakanlah (Muhammad), "Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, tuhan seluruh alam." (TQS. al-An'am (6): 162)


Dari ayat ini kita tahu bahwa salat kita, ibadah kita, hidup dan mati kita hanyalah untuk Allah. Di antara hidup dan mati itu ada rangkaian ibadah-ibadah yang lain. Bukan hanya salat, tetapi ada juga tholabul ilmi, berbakti kepada orang tua, mengurus anak, melayani suami, baik kepada tetangga, berdakwah, dan lain-lain.


Mulai dari kita dihidupkan oleh Allah, kemudian pencatatan masa baligh, sampai kita mati semuanya Lillahi Robbi a'lamiin, hanya untuk beribadah kepada Allah Swt.. Dengan keyakinan ini, seharusnya kita akan terdorong untuk mempersembahkan amalan terbaik di sisi Allah, bukan dengan bermalas-malas apalagi menunda-nunda. 


Meskipun hanya sekadar menuntut ilmu, namun bagi seorang muslim dia akan melakukannya dengan penuh semangat dan tanggung jawab. Karena dia yakin inilah amalan yang akan melahirkan rida Allah Swt..


Kedua, memahami urgensi amal. Di dalam Islam status amal manusia itu terikat dengan al-ahkam al- khamsah, lima macam hukum syarak. Ada mubah, artinya boleh memilih apakah amal tersebut mau dikerjakan ataukah tidak.


Ada sunnah dan juga wajib. Saat kita tahu suatu amalan itu hukumnya wajib, bisa melahirkan pahala melimpah, ketika kita tunda-tunda, atau kita malas melakukannya, maka di sinilah awal dari kerugian. Rugi mendapatkan kebaikan, rugi untuk meraih pahala di sisi Allah Swt..


Dengan pengetahuan tentang bagaimana status suatu perbuatan ini, jika tidak kita kerjakan bisa berakibat buruk, hilangnya pahala di sisi Allah Swt.. Bahkan secara manusia boleh jadi akan membebani kita di masa yang akan datang, maka dorongan untuk segera melakukan amalan pun menjadi kuat.


Ketiga, mempelajari kaifiyah, bagaimana cara melakukan suatu amal.

Mungkin kita pernah menyaksikan seorang koki atau ahli memasak. Dia bisa memasak beragam menu dalam waktu singkat, dengan rasa yang enak, tampilan yang menarik. Sementara kita hanya memasak, yang mungkin satu menu masakan saja, sudah kerepotan bahkan tidak jarang yang berakhir dengan kegagalan. Itu semua karena kita tidak tahu, dan tidak menguasai teknik bagaimana memasak. 


Begitupun dengan dakwah. Kenapa orang malas berdakwah? Itu bisa jadi karena tidak tahu cara berdakwah, tidak tahu cara menyampaikan, cara komunikasi yang efektif, bagaimana bisa menarik orang untuk mau mendengarkan. Bahkan ada yang mengatakan, "Ah sudahlah dakwah urusan anda saja, saya mendukung."


Padahal dia dikasih kemampuan oleh Allah Swt., bisa berbicara, punya mulut, ada akal untuk berpikir, ada kaki untuk melangkah, tetapi dia enggan melakukannya. Bukan karena dia tidak mau, tetapi karena tidak tahu.


Di sinilah pentingnya untuk senantiasa tholabul ilmi, meningkatkan penguasaan ilmu. Ketika kita menguasai ilmu, tahu cara melakukan amal, maka kita akan semangat melaksanakan amal tersebut dalam rangka ibadah kepada Allah Swt..


Keempat, menghadapi ujian. 

Ujian bukan untuk dihindari tetapi diselesaikan. Ketika kita sakit maka yang harus kita lakukan segera menyembuhkan penyakit tersebut. Saat kita sakit kita tidak semangat untuk melakukan apa pun. Jangankan untuk pergi menuntut ilmu, jangankan ke majelis taklim, jangankan ke medan pertempuran, bahkan ketika kita sedang sakit makanan enak pun tidak disentuh, tidak nyenyak tidur.


Oleh karena itu, saat kita diuji oleh apa pun, kalau sakit segera berobat. Kalau capek, mungkin kita butuh istirahat sejenak, jangan dipaksakan, karena bisa jadi secara fisik justru menzalimi diri sendiri. 


Dampak berikutnya, secara mental bisa berpotensi menghadirkan trauma berkepanjangan. Ketika badan capek, lalu dipaksa untuk melakukan sesuatu di luar batas kemampuan, boleh jadi dia akan menganggap bahwa pekerjaan itu tidak mungkin bisa dia lakukan. Mengurus anak tidak mungkin dia lakukan, maka akibatnya seperti saat ini terjadi. 


Banyak orang yang tidak mau repot memiliki anak, bahkan ada yang memilih untuk tidak punya anak. Karena dianggap memiliki anak itu penuh dengan penderitaan. Oleh karena itu, kita harus menyelesaikan kendala-kendala tersebut. Rasulullah membimbing kita untuk senantiasa memohon kepada Allah Swt. agar dijauhkan dari rasa malas.

"Ya Allah jauhkan kami dari kemalasan, dari menunda-nunda amal." (HR. Imam Bukhari).


Namun dalam kondisi sekarang tidak bisa kita lakukan sendiri-sendiri, solusi-solusi dari yang empat hal tadi karena beberapa hal:

Pertama, ada yang merusak keyakinan tentang amal perbuatan, yakni paham kapitalisme dan sekularisme. Di mana segala sesuatu dorongannya bukan untuk ibadah kepada Allah Swt., tetapi hanya untuk meraih kenikmatan dunia. Karena itu, bagaimanapun kita harus mengganti ideologi kapitalisme dengan ideologi Islam.


Kedua, susahnya memahami status hukum suatu amal itu karena paham liberalisme. Hak asasi manusia, yang menganggap bahwa segala sesuatu itu dilakukan hanya karena suka atau tidak suka. Dalam syariat Islam segala sesuatu itu terikat dengan hukum syarak, karena itu jauhilah paham liberalisme.


Ketiga, terkait kaifiyah ini ada kaitannya dengan sistem pendidikan. Sistem pendidikan yang orientasinya hanya untuk mencari uang, tidak akan bisa melahirkan individu-individu yang semangat untuk beramal saleh. Dan sistem pendidikan yang bisa melahirkan orang bersemangat untuk melakukan amal saleh hanyalah sistem pendidikan Islam. 


Semoga sistem pendidikan Islam segera terwujud di negeri ini, sehingga kita akan terus bersemangat, tidak lagi menunda-nunda amal. Karena kita yakin amalan yang kita lakukan senantiasa membawa kebaikan, serta menghadirkan rida Allah Swt.. Aamiin. Wallahualam bissawab. (Tinah Ma'e Miftah)