Kasus Vina dan Aksi Kejahatan yang Tak Diselesaikan
OpiniHukum di negeri ini diselenggarakan seolah tanpa keadilan
Banyak rakyat merasakan hukum negeri ini makin tumpul ke atas dan tajam ke bawah
___________________
Penulis Aan Daryani
Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Pendidik generasi
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Viralnya film “Vina: Sebelum 7 hari” mengundang pro dan kontra di tengah masyarakat. Film ini diangkat dari kisah nyata tragedi pembunuhan dan pemerkosaan Vina Dewi Arsita dan kekasihnya Muhamad Rizky yang terjadi pada tanggal 27 Agustus 2016 silam di Cirebon oleh para pemuda anggota geng motor Mooonraker. Pada mulanya, kasus ini dinyatakan sebagai kasus kecelakaan, tetapi selanjutnya berkembang menjadi pembunuhan hingga terakhir menjadi kasus pembunuhan dan pemerkosaan.
Kejadian dramatis pemerkosaan beserta pembunuhan dengan pelaku anak-anak geng motor ini teramat keji. Hal ini menunjukkan bahwa ada yang salah pada perilaku dan pemikiran mereka. Anggy Umbara, sang sutradara film menyatakan bahwa tujuan diangkatnya kisah pembunuhan Vina Cirebon adalah untuk membantu menguak kasus pembunuhan Vina yang sudah 8 tahun tenggelam, sekaligus sebagai kampanye anti-bullying.
Hingga hari ini, kasus Vina ternyata masih menyisakan beberapa pelaku yang belum dihukum. Menurut informasi yang beredar, setidaknya masih ada tiga pelaku utama yang masih menghirup udara segar hingga kini dan termasuk DPO.
Akhirnya, salah satu DPO dinyatakan tertangkap oleh pihak kepolisian. Polda Jawa Barat mengklaim telah berhasil menangkap Pegi Setiawan atau Pegi, salah satu DPO kasus pembunuhan dan pemerkosaan tersebut. Pada Selasa (21/5/2024) di Bandung, Jawa Barat dilakukan penangkapan.
Sayangnya, masyarakat banyak yang meragukan kebenarannya karena banyak kejanggalan yang ada. Netizen merasa aneh pada beberapa hal. Bagaimana bisa menghabiskam waktu delapan tahun buron padahal profesinya hanya sebagai buruh bangunan? Mengapa pihak kepolisian seperti kesulitan untuk membekuk pelaku utama yang masih buron hingga kini? Ada apa sebenarnya?
Menurut Johnson Panjaitan ada indikasi proses penegakkan hukum yang sesat (TVOne, 21/5/2024). Mencermati kasus ini, hukum di negeri ini diselenggarakan seolah tanpa keadilan. Banyak rakyat merasakan hukum negeri ini makin tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Tumpul ke atas karena kita bisa menyaksikan bagaimana mereka yang merupakan kalangan atas bisa menikmati kenyamanan penegakkan hukum bukan berdasarkan keadilan tapi berdasarkan kekuatan uang dan lobi yang mereka lakukan.
Sedangkan sebaliknya, hukuman bagi kalangan "bawah" sangat tajam dan terkesan tidak ada ampun. Bahkan, sering kali langsung saja dieksekusi. Semakin miris dengan adanya fenomena “tumbal hukum”. Hal ini disebabkan banyak sekali kasus menimpa orang-orang yang tidak bersalah tetapi harus ketiban jerat hukum.
Di sisi lain, persoalan kasus Vina ini membuktikan adanya krisis multi dimensi pada generasi muda. Satu-satunya krisis moral yang menimpa bangsa kita adalah karena terabaikannya “pendidikan moral” (dalam pengertian pendidikan agama, budi pekerti, akhlak dan nilai moral) bagi generasi penerus. Apa akibatnya? Generasi muda sangat agresif sehingga hobi tawuran, membegal, membunuh, memperkosa, dan lain sebagainya. Naudzubillah.
Semua itu merupakan buah dari diterapkannya sistem demokrasi kapitalisme. Sebab, sistem ini yang kemudian melahirkan generasi-generasi sekuler. Mereka tidak mengenal aturan agama sehingga beraktivitas bebas tanpa batas. Sedangkan hukum juga bisa "dipermainkan" karena ketidaktegasan hukum yang berlaku. Penegak hukum lemah karena pemikiran yang diembannya juga sekuler kapitalis. Sungguh miris.
Agar kasus-kasus serupa tidak lagi terjadi maka dalam pendidikan kita penting untuk mengutamakan aspek nilai-nilai agama dan akhlak untuk anak sejak usia dini. Hal utama yang perlu ditanamkan dalam mendidik anak tidak lain adalah akhlak dan keimanan. Sebab, keimanan adalah pilar utama dalam pembentukan kepribadian seorang manusia. Jika manusia tidak memiliki keimanan, maka sikapnya akan buruk. Begitu pun jika seorang manusia tidak memiliki pemahaman agama yang baik, maka tujuan hidupnya tidak akan jelas.
Berbeda dengan hasil belajar (output) pendidikan Islam, dia akan menghasilkan peserta didik yang kukuh keimanannya dan mendalam pemikiran Islam (tafaqquh fiddin). Pengaruhnya (outcome) adalah keterikatan peserta didik dengan syariat Islam. Dampaknya (impact) adalah terciptanya masyarakat yang bertakwa, yang di dalamnya tegak amar makruf nahi mungkar dan tersebar luasnya dakwah Islam.
Kasus Vina dan kasus-kasua lainnya tidak akan terselesaikan secara tuntas dalam sistem demokrasi sekular. Berbeda dengan hukum Islam, kasus pembunuhan merupakan bagian dari hukum pidana. Hukum pidana Islam memiliki sifat jawâbir dan zawâjir.
Bersifat jawâbir karena penerapan hukum pidana Islam akan menjadi penebus dosa bagi pelaku kriminal yang telah dijatuhi hukuman secara syar’i. Sedangkan dia juga bersifat zawâjir, yaitu penerapannya akan memberikan efek jera bagi pelakunya serta membuat masyarakat lainnya takut untuk melakukan tindak kemaksiatan yang sama. Dengan begitu, hal ini akan memberikan kemaslahatan di dunia dan akhirat bagi seluruh masyarakat.
Untuk itu, penerapan hukum pidana Islam ini akan benar-benar memberikan jaminan kelangsungan hidup untuk masyarakat secara umum. Allah Swt. berfirman,
وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Dalam qisas itu ada jaminan kelangsungan hidup bagi kalian, hai orang-orang yang berakal, supaya kalian bertakwa.” (TQS Al-Baqarah [2]: 179)
Dengan hukum pidana Islam, masyarakat akan terlindungi dari berbagai tindak kejahatan. Keamanan dan rasa aman bagi semua orang akan terwujud sedangkan jumlah pelaku tindak kejahatan di masyarakat akan bisa diminimaliskan. Wallahualam bissawab. [Dara]