Alt Title

Tarif Tol Naik Lagi, Efek Domino Mengintai!

Tarif Tol Naik Lagi, Efek Domino Mengintai!

 


Jika sudah begini, kepada siapa lagi rakyat bisa menggantungkan harapan untuk dapat hidup sejahtera? 

Karena, slogan negara sebagai abdi masyarakat sepertinya sudah lama terabaikan

__________________


Penulis Ummu Zhafran

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Pegiat Literasi


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Keberadaan jalan tol harus diakui sangat berperan mengurangi kemacetan. Lambat laun akhirnya tol jadi kebutuhan vital, utamanya di daerah urban dan metropolitan. Sayangnya, ada kabar buruk bagi pengguna setia jalan tol, tarifnya bakal naik lagi. Seperti yang diberitakan, sejumlah ruas yang mengalami kenaikan jelang Ramadan 2024, di antaranya Tol Jakarta-Cikampek dan Jalan Layang Mohamed Bin Zayed (MBZ), Pasuruan-Probolinggo, Serpong-Cinere, dan Surabaya-Gresik. (kompas.com, 9/3/2024)


Memprihatinkan, seolah belum cukup masyarakat ditimpa kemalangan dengan melambungnya harga beras. Masih harus pula menanggung penyesuaian tarif tol ini. Bukan apa-apa, masalah ke depan bisa dibayangkan efek dominonya yang berimbas naiknya harga-harga barang yang dibutuhkan masyarakat dalam sehari-hari termasuk kebutuhan pokok lainnya. Sebab, pengangkutan alias transportasi menggunakan jalan tol. Jika sudah demikian, biaya angkut bakal mempengaruhi biaya produksi. Hal itu, berdampak pada komponen harga semua barang yang sampai di tangan masyarakat, tentu akan meningkat pula. Persis seperti peribahasa, sudah jatuh tertimpa tangga. 


Apalagi yang bisa dikatakan terhadap kebijakan ini selain menegaskan satu hal. Bahwa inilah yang terjadi ketika kebutuhan vital diserahkan tata kelolanya pada pihak selain negara alias swasta. Mengutip laman berita CNBC Indonesia, tidak kurang terdapat lima pemain raksasa dalam BUJT (Badan Usaha Jalan Tol) yang menguasai bisnis jalan tol yaitu PT Jasa Marga, PT Hutama Karya, PT Waskita Karya, PT Astra Infra dan PT Citra Marga Nusaphala Persada.(cnbcindonesia.com, 17/9/2022)


Dari sini terlihat Negara tidak memegang kendali sepenuhnya melainkan hanya sebagai regulator dan fasilitator. Ibarat wasit dalam sebuah pertandingan sepak bola, negara tidak mengambil peran secara langsung menjaga dan menjamin pemenuhan kemaslahatan rakyat. Sementara, ketika pihak swasta yang mengelola, profit sudah tentu yang menjadi tujuan. Dari sisi pengguna, pada akhirnya hanya orang berduit  yang mampu lewat di atasnya. Hidup bertetangga dengan jalan tol juga tak menjamin bisa memetik keuntungan dari keberadaannya. Sungguh situasi yang menggambarkan tipikal penerapan kapitalisme berikut turunannya, neoliberalisme.


Jika sudah begini, kepada siapa lagi rakyat bisa menggantungkan harapan untuk dapat hidup sejahtera? Karena, slogan negara sebagai abdi masyarakat sepertinya sudah lama terabaikan. Wajar, bila sebagian besar kalangan rakyat kemudian menyeru untuk berpaling pada syariah Islam. Hasil jajak pendapat yang dilakukan Pew Research Center menunjukkan setidaknya dua dari tiga orang yang disurvei atau sekitar 64 persen penduduk Indonesia mendukung penerapan hukum syariat.(cnbcindonesia.com, 14/9/2023) 


Tentu angka di atas bukan jumlah yang sedikit. Hal tersebut wajar, selain karena Islam agama yang mayoritas dianut di negeri ini. Sejak lama, Islam telah membuktikan perbedaan mendasarnya dengan Kapitalisme. Antara lain, orientasi pembangunan yang berbasis kemaslahatan rakyat adalah salah satu prinsip bernegara yang ditetapkan Islam, sangat jauh berbeda dengan sistem kapitalis.


Rasulullah saw. bersabda, "Imam (kepala negara) itu laksana penggembala, dan dialah penanggung jawab rakyat yang digembalakannya."(Sahih Bukhari


Satu lagi, syariat menetapkan penyediaan infrastruktur termasuk jalan tol menjadi tanggung jawab negara dan harus dilakukan secara independen, jauh dari ketergantungan asing.


Penerapan Islam secara menyeluruh telah memberikan contoh terbaik sepanjang sejarah. Selama 13 abad menorehkan kecemerlangan di semua bidang, termasuk infrastruktur. Seperti di masa akhir Kekhalifahan Utsmaniy, dunia Islam berupaya dipersatukan dengan jalur kereta api Hijaz. Atas mandat dari Khalifah Sultan Abdul Hamid II pada tahun 1900, jalur kereta api Hijaz dibangun untuk memudahkan jemaah haji saat menuju Makkah. Setelah sebelumnya, mereka harus menempuhnya dengan menunggangi unta selama berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan.


Sungguh peradaban yang sangat layak dirindukan untuk tegak kembali pada saatnya nanti sesuai janji Allah Swt. Kini tiada pilihan lain, seharusnya bagi umat muslim untuk terus mengkaji, memahami dan mendakwahkan Islam, sebagaimana yang dicontohkan para sahabat Nabi Muhammad saw. yang mulia. Wallahuallam bissawab. [Dara]