Alt Title

Pentingnya Jaminan Halal: Negara Wajib Memfasilitasi

Pentingnya Jaminan Halal: Negara Wajib Memfasilitasi

 


Sangat berbeda dengan paradigma Islam dalam memberikan pelayanan terhadap rakyatnya

Islam memandang bahwa negara merupakan pelayan dan pengurus urusan rakyat

______________________________


Penulis Ummu Rufaida ALB

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Pegiat Literasi


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Jaminan halal terhadap sejumlah bahan makanan dan minuman bukan lagi kewajiban tetapi sudah menjadi kebutuhan mendesak masyarakat Indonesia. Bagaimana tidak, bagi konsumen kehalalan suatu produk merupakan hal yang harus dipertimbangkan saat melakukan transaksi. Sementara, bagi produsen jaminan halal menjadi salah satu daya tarik untuk mendapat konsumen baik dalam atau luar negeri.


Gayung bersambut, Muhammad Aqil Ilham sebagai Kepala Badan Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama mengatakan, semua produk makanan dan minuman yang diperdagangkan di tanah air wajib mengurus sertifikasi halal paling lambat tanggal 17 Oktober 2024. Termasuk juga seluruh pedagang, dari kalangan pelaku usaha mikro dan kecil (UMK) semisal pedagang kaki lima.


Jika didapati pedagang yang tidak mempunyai sertifikat halal, maka akan dikenai sanksi. Sanksi yang diberikan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal, bisa berupa peringatan tertulis, denda administratif hingga penarikan barang dari peredaran. (www.tirto.id)


Sekilas nampak tak ada yang perlu dipersoalkan. Namun, apakah kebijakan sertifikasi halal ini akan berpihak pada pedagang kaki lima dan pelaku usaha kecil lainnya? Meski pemerintah melalui BPJPH, sejak 2023 telah menyediakan kuota 1 juta sertifikasi halal gratis bagi pelaku usaha. Namun, menurut data yang disampaikan Ketua Umum Asosiasi Pedagang Kaki Lima (APKLI), Heru Juwono, perkiraan kasar jumlah PKL mencapai 22 juta orang. (www.bisnis.com)


Artinya, masih ada 21 juta yang tidak bisa mengurus sertifikasi secara gratis. Lantas, bagaimana nasib usaha mereka kedepannya? Bukankah mereka juga berhak mendapatkan sertifikat jaminan halal gratis?


Jika tetap dipaksakan mereka harus mengurus sertifikasi halal tersebut, ini justru akan semakin membebani kehidupannya. Bagaimana tidak, biaya yang perlu dikeluarkan sekitar Rp650.000. Biaya permohonan sertifikat halal Rp300.000, ditambah biaya pemeriksaan kehalalan produk UMK oleh LPH maksimal sebesar Rp350.000. Jumlah ini tentu besar jika dibandingkan dengan pendapatan mereka yang tidak menentu setiap harinya.


Apakah ini artinya pemerintah sedang melakukan komersialisasi jaminan halal? Inilah akibat diterapkannya aturan yang berpihak hanya pada para kapitalis. Ya saat ini sedang diberlakukan sistem sekularisme kapitalis, yang meniscayakan negara hanya sebagai regulator dan fasilitator.


Apa pun yang mendatangkan keuntungan akan diperjualbelikan, negara berbisnis dengan rakyat sendiri. Termasuk jaminan halal, jaminan kesehatan, jaminan sosial, jaminan pendidikan dan sebagainya. Ironis. 


Sangat berbeda dengan paradigma Islam dalam memberikan pelayanan terhadap rakyatnya. Islam memandang bahwa negara merupakan pelayan dan pengurus urusan rakyat. Pelayan artinya negara memosisikan rakyat layaknya anak yang harus diurusi segala kebutuhan hidupnya, tak ada istilah berjual beli dengan anak. Negara juga harus mengurus serta memfasilitasi rakyat mendapatkan kemudahan akses dalam memenuhi kebutuhan hidup, baik primer, sekunder atau tersier. 


Maka, Islam akan mengatur jaminan halal terhadap produk makanan dan minuman dengan memastikan pelaku usaha menggunakan bahan pangan yang halal dan tayib. Selanjutnya, negara akan melakukan uji produk halal secara gratis serta pengawasan secara berkala. Kalaupun jika negara tidak mampu memberikan gratis, maka negara akan memastikan administrasi yang akan dilalui dengan proses cepat, mudah dan terjangkau.  


Dari mana dananya? Dalam Islam ada konsep baitulmal, dengan beberapa sumber pemasukan.


Pertama, bagian fa'i dan kharaj yang meliputi ganimah (harta rampasan perang), anfal, fa'i, khumus, kharaj, status tanah, jizyah dan daribah (pajak). Dalam Islam, pungutan pajak merupakan opsi terakhir dan ini hanya diambil dari rakyat yang mampu saja. 


Kedua, kepemilikan umum yang meliputi minyak, gas bumi, listrik, pertambangan, laut, sungai, perairan, mata air, hutan serta aset-aset yang dilindungi negara untuk keperluan khusus. 


Ketiga, sedekah yang disusun berdasarkan jenis harta zakat, yaitu zakat uang dan perdagangan, zakat pertanian dan buah-buahan, zakat unta, sapi dan kambing. Untuk pos zakat, dibuatkan tempat khusus agar tidak tercampur dengan harta yang lain. 


Dengan sumber pemasukan negara yang sangat melimpah, tentu memberikan pelayanan jaminan halal kepada rakyat menjadi mudah. Semua ini akan bisa terwujud jika Islam diterapkan secara kafah dalam sebuah peradaban Islam. Wallahualam bissawab. [SJ]