Alt Title

Akankah Subsidi Pupuk Jadi Solusi Kesejahteraan Petani?

Akankah Subsidi Pupuk Jadi Solusi Kesejahteraan Petani?

Pemberian pupuk bersubsidi dari pemerintah memang patut diapresiasi. Hanya saja kebijakan ini tak akan menyelesaikan persoalan petani begitu saja

Butuh pengaturan secara sistemik dari negara untuk membantu petani setelah tanggung jawab pokoknya terpenuhi

____________________________________


Penulis Oom Rohmawati

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Member Akademi Menulis Kreatif 



KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Masyarakat selalu antusias menyambut bantuan dari pemerintah, termasuk subsidi pupuk. Sebagaimana yang dirasakan oleh Aceng Anwar, salah satu anggota kelompok tani Girilaya asal Kampung Ciheulang Tinggi RT 03/RW 17 Desa Ciheulang Kecamatan Ciparay Kabupaten Bandung. Dirinya bersyukur dan mengucapkan terima kasih kepada Bupati Bandung Dr. H.M. Dadang Supriatna, yang telah memberikan bantuan melalui program Kartu Tani Sibedas. 


Dengan diluncurkannya Kartu Tani Sibedas, Pemkab Bandung bermaksud untuk meningkatkan hasil  produksi pertanian sekaligus menyejahterakan petani dengan berbagai inovasi. Kartu Sibedas ini tidak hanya untuk mendapatkan bantuan pupuk bersubsidi saja. Tapi, diharapkan bisa berfungsi sebagai solusi dari berbagai permasalahan yang dihadapi oleh para petani, seperti akses terhadap sarana dan prasarana pertanian, permodalan, dan pemasaran hasil pertanian. Lebih jauhnya diharapkan pengadaan pupuk meningkatkan IPM (Indeks Pembangunan Manusia) di Kabupaten Bandung, khususnya dalam bidang daya beli atau keberlangsungan ekonomi masyarakat. (Jabar[dot]viva[dot]co[dot]id Sabtu, 25 November 2023)


Permasalahan petani memang kian kompleks. Selain, persoalan cuaca dan bencana alam petani juga dihadapkan pada masalah lain seperti pupuk yang langka serta mahal, kesulitan modal, lahan garapan yang terbatas, sulitnya akses distribusi, para tengkulak yang mematok harga sangat rendah dalam pembelian, serta kebijakan impor dari pemerintah. Kemudian saat tiba panen raya para petani harus dihadapkan pada realita yang berulang yaitu anjloknya harga di pasaran. Hal ini mengakibatkan hasil panen acap kali tidak bisa menutup biaya pengeluaran. Tentu, hal ini akan menghambat petani untuk memulai kembali usahanya terlebih jika berharap mereka sejahtera seakan hanya mimpi.


Pemberian pupuk bersubsidi dari pemerintah memang patut diapresiasi. Hanya saja kebijakan ini tak akan menyelesaikan persoalan petani begitu saja. Butuh pengaturan secara sistemik dari negara untuk membantu petani setelah tanggung jawab pokoknya terpenuhi. Baik sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan atau keamanan. Sementara, untuk meningkatkan hasil yang diharapkan negara harus memastikan ketersediaan lahan garapan, bibit, akses distribusi, memberantas calo/tengkulak dan membatasi kebijakan impor.


Indonesia adalah negeri yang telah Allah Swt. berkahi dengan berlimpahnya SDA, termasuk tanah subur. Namun,  persoalan keterbatasan sarana produksi seperti benih hingga permasalahan subsidi pupuk, menjadikan petani kian sulit. Selain banyaknya infrastruktur jalan dan perumahan menyebabkan lahan pertanian kian menurun. Dengan adanya infrastruktur, banyak sawah dan perkebunan rakyat yang tergusur. Padahal nilai kebermanfaatannya tidak sebanding dengan kerusakan yang diperoleh.


Ironisnya, penguasa kerapkali mengatasi kelangkaan produk pangan dengan impor. Dalam jangka pendek impor mungkin bisa menjadi solusi, namun jika dalam jangka panjang tentunya dapat membahayakan kedaulatan pangan negara. Di sisi lain bisa mematikan gairah petani untuk mengelola lahan dan mewujudkan ketahanan pangan dalam negeri. Seharusnya, negeri yang kaya akan SDA ini bisa mandiri dalam mengelola kekayaan tersebut tanpa bergantung pada negara luar apalagi statusnya sebagai negara imperialis seperti AS dan Cina.


Inilah jika sistem yang diterapkan masih kapitalisme sekuler. Negara berlepas tangan dari kewajibannya mengurusi rakyat bahkan sebaliknya rakyat dikorbankan demi korporasi dan keuntungan diri sendiri. Peran negara dalam sistem ini hanya sebatas regulator bagi para kapital sehingga hampir seluruh pengurusan umat dialihkan pada swasta, baik lokal maupun asing. Keberadaan mereka tentu saja merenggut hak rakyat yang seharusnya dipenuhi negara sebagai pelayan dan pengurus. Alih-alih mengatur agar rakyat mendapatkan haknya, penguasa justru bergandengan mesra dengan pengusaha dalam lingkar oligarki.


Karena itu, kita tidak bisa berharap pada sistem kapitalisme meski berbagai program yang ditawarkan cukup baik. Nyatanya bukan untuk kesejahteraan umat melainkan menguntungkan korporat.  


Dalam Islam, negara bertanggung jawab penuh untuk memfasilitasi produksi dan distribusi agar sektor pertanian berjalan dengan baik serta memperhatikan bidang pertanian yang sangat penting bagi umat manusia juga makhluk hidup lainnya. Karena, negara akan melakukan berbagai kebijakan untuk memajukan sektor pertanian dalam negeri secara masif.


Diantaranya, tersedianya lahan yang baik dan produktif, peran aktif para ahli pertanian dengan inovasinya yang akan dibiayai negara dalam melakukan berbagai riset semisal cara menghasilkan bibit unggul, riset berbagai jenis pupuk dan obat-obatan, menjamin pemasaran serta pendistribusiannya sampai ke tangan konsumen sehingga tidak terjadi kesenjangan dan diskriminasi di kalangan mereka. Lalu menginventarisasi berbagai jenis komoditas pangan yang diperlukan, jenis pupuk yang sesuai, termasuk jenis lahan serta status lahan tersebut. Ada kepemilikan individu, masyarakat, dan negara. Masing-masing harus dikelola berdasarkan arahan syariat.


Negara dalam sistem Islam tentu mampu merealisasikan konsep ini karena penguasa memiliki keuangan yang berbasis baitul mal, yaitu dana dan pos negara yang berasal dari harta kharaj, fa'i, usyur, ghanimah dan lainnya. Pos ini lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan individu masyarakat dan menopang biaya di sektor pertanian. Sehingga, permasalahan yang dirasakan petani dalam sistem kapitalisme seperti sekarang tidak akan terjadi. Semua daerah pertanian di Daulah Islam akan berproduksi sepanjang tahun dengan jenis tanaman bervariasi. Bahkan akan memungkinkan negara untuk ekspor ke luar negeri saat panen berlebih (melimpah), dan kebutuhan warga masyarakat seluruhnya sudah terpenuhi. 


Demikian, pengelolaan sektor pertanian dalam Islam ketika fungsi pemimpin terwujud nyata, yaitu sebagai raa’in (penanggung jawab) dan junnah (pelindung rakyat). Rasulullah saw, bersabda: “Imam (pemimpin) adalah pengurus/penggembala dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.” (HR. Ahmad dan Bukhari)


Hadis lainnya tentang tanggung jawab pemimpin sebagai penjaga adalah: “Khalifah itu laksana perisai tempat orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya.” (HR. Muslim)


Dari dua hadis di atas sudah jelas bahwa penguasa adalah pihak yang paling bertanggung jawab menjamin seluruh kebutuhan umat, terutama kebutuhan pangan, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas. Negara wajib melindungi warganya termasuk ancaman hegemoni ekonomi yang datang dari  Barat. Negara tidak akan membiarkan kapitalis dan korporasi mana pun untuk menguasai hak publik dan mengintervensi kebijakan negara. Negara justru akan menjamin produksi pertanian dalam negeri berjalan optimal dengan berbagai langkah diantaranya seperti disebutkan di atas. Wallahualam bissawab. [Dara]