Alt Title

Waspada Perpecahan Rakyat dalam Masa Kampanye

Waspada Perpecahan Rakyat dalam Masa Kampanye

Polarisasi politik kerap terjadi di alam demokrasi sekuler. Dalam sistem ini, pemilu merupakan ajang kontestasi dalam mencapai kekuasaan

Suara rakyat menjadi legitimasi pemenang kontestasi. Benar dan salah tidak menjadi standar dalam meraih dukungan masa, hanya kepentingan politik dan jabatan yang menjadi tujuan. Maka wajar jika pemilu dalam sistem ini dipenuhi dengan berbagai intrik politik, menebar janji-janji manis, dan lain sebagainya demi mendulang suara

____________________________________


Penulis Ummi Nissa

Kontributor Media Kuntum Cahaya & Pegiat Literasi



KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Pesta demokrasi yang akan diselenggarakan pada Februari tahun 2024, kini memasuki tahapan kampanye. Terkait kampanye pemilu ini, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengeluarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 15 Tahun 2023 yang mengatur masa kampanye selama 75 hari terhitung mulai 28 November 2023 sampai 10 Februari 2024.

 

Ketua Bawaslu Rahmat Bagja meminta kepada seluruh jajaran pengawas pemilu untuk meningkatkan intensitas kerja dalam melakukan pengawasan Pemilu 2024. Terlebih lagi katanya, saat tahapan kampanye bagi peserta pemilu telah dimulai. (bawaslu.go,id, 27 November 2023) 


Pada tahapan kampanye, peserta pemilu mulai menarik perhatian masyarakat dengan berbagai cara untuk meraih suara terbanyak. Meskipun sesungguhnya, jauh sebelum kampanye peserta pemilu khususnya capres dan cawapres telah berlomba-lomba meningkatkan elektabilitas masing-masing melalui berbagai kegiatan seperti jalan santai, silaturahmi ke pondok pesantren, bertemu dengan tokoh-tokoh nasional, disertai dengan iming-iming  hadiah kepada masyarakat, dan lain sebagainya. 


Sebelum kampanye saja, lembaga-lembaga survei dapat mengukur sejauh mana elektabilitas dari capres dan cawapres. Lembaga Survei Indonesia (LSI) merilis hasil survei terbaru salah satunya calon presiden yang masuk bursa Pilpres 2024. Hasilnya, Prabowo Subianto menempati posisi teratas disusul Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan. (detik.com, 19 Oktober 2023) 


Meski hasil survei belum menunjukkan kepastian, tetapi hal tersebut dapat menjadi pijakan para kandidat masing-masing pasangan capres dan cawapres untuk membuat berbagai strategi demi mendulang suara rakyat. Terdapat hal yang patut untuk diwaspadai di masa kampanye ini yaitu munculnya perpecahan di tengah rakyat. Sebab tidak jarang saat kampanye, masing-masing kontestan dan pendukungnya menggunakan berbagai cara mulai dari pencitraan sampai pada black campaign (kampanye hitam) dengan saling serang, saling menjelekkan, melempar fitnah, dan lain sebagainya. Akibatnya bentrok antar kubu pun kerap terjadi. Namun parahnya yang jadi korban adalah rakyat, ketika pemilu sudah usai dimana pemenang dengan rivalnya sudah saling berangkulan, rakyat di bawah masih gontok-gontokan.


Publik tentunya masih ingat, bagaimana awal mula munculnya panggilan cebong dan kampret. Pada masa pemilu tahun 2014 lalu, dimana kemenangan diraih kubu jokowi dengan raihan suara yang berbeda tipis dari lawannya Prabowo. Hal ini mendorong kubu Prabowo enggan menerima kekalahan. Sehingga kondisi ini membuat keberlangsungan segregasi (pemisahan) politik sepanjang masa pemerintahan Jokowi 2014-2019. Tidak lama kemudian pendukung masing-masing kubu menemukan istilah untuk memanggil kubu lawannya dengan istilah cebong dan kampret. Tidak berhenti sampai di sini, perpecahan rakyat terus berlanjut pada masa Pemilu 2019. Sementara kini menghadapi Pemilu 2024 tentu potensi perpecahan tetap ada mengingat politik saat ini hanya dimaknai sebagai upaya untuk mendapatkan kedudukan dan jabatan pemerintahan. 


Polarisasi politik kerap terjadi di alam demokrasi sekuler. Dalam sistem ini, pemilu merupakan ajang kontestasi dalam mencapai kekuasaan. Suara rakyat menjadi legitimasi pemenang kontestasi. Benar dan salah tidak menjadi standar dalam meraih dukungan masa, hanya kepentingan politik dan jabatan yang menjadi tujuan. Maka wajar jika pemilu dalam sistem ini dipenuhi dengan berbagai intrik politik, menebar janji-janji manis, dan lain sebagainya demi mendulang suara. 


Dalam sistem demokrasi, suara rakyat hanya menjadi rebutan saat jelang pemilihan. Perang antara kubu pun tak dapat dielakkan. Rakyat yang satu dengan yang lainnya berseteru karena berbeda dukungan. Nahasnya, setelah selesai kompetisi tak jarang aspirasi rakyat malah diabaikan. Sebab pemenang pemilu sibuk bagi-bagi kue kekuasaan.

 

Selama sistem demokrasi sekuler diberlakukan, kondisi demikian  terus berulang setiap jelang pemilu dilaksanakan. Sebab jabatan dan kekuasaan menjadi tujuan dalam berpolitik. Dalam sistem sekuler ini, nilai-nilai agama disingkirkan.

 

Berbeda hal jika dalam sistem Islam. Kepemimpinan dan jabatan bukan hanya sekadar kontrak sosial antara seorang pemimpin dengan rakyat. Namun, kepemimpinan adalah amanah (titipan Allah Swt.) untuk menerapkan syariat Islam yang akan diminta pertanggungjawabannya sampai ke akhirat nanti. 


Selain itu, seorang pemimpin juga wajib mengurusi urusan rakyatnya, sebagaimana sabda Rasulullah saw.: "Imam (Pemimpin) adalah raa'in (pengurus), ia akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya." (HR.Bukhari) 


Dari hadis di atas menggambarkan bahwa seorang pemimpin pada hakikatnya wajib memberikan pelayanan dan kemudahan dalam urusan rakyatnya. Bukan sebaliknya, kekuasaan digunakan untuk memperkaya diri sendiri. 


Dalam Islam, pemilihan pemimpin akan dilaksanakan atas dorongan akidah Islam. Oleh karena itu jabatan dan kekuasaan bukan sesuatu yang diminta, dikejar, terlebih diperebutkan. Dalam Islam, rakyat secara sukarela menyerahkan kepemimpinan kepada orang yang memenuhi syarat sebagai seorang pemimpin.


Sekalipun perlu adanya sosialisasi terkait calon pemimpin, maka secara teknis akan diatur tanpa melanggar ketentuan syariat. Sebab aturan Islam menjadi standar baik dan buruk dalam semua aktivitas termasuk mekanisme pemilihan pemimpin. 


Dengan demikian, pelaksanaan pemilihan dapat dilaksanakan dengan tertib, lancar, dan penuh kebaikan termasuk dalam interaksi warga. Sehingga potensi perpecahan antara rakyat dapat diminimalisasi. Wallahualam bishawab. [By]