Alt Title

Nasionalisme Campakkan, Khilafah Tegakkan

Nasionalisme Campakkan, Khilafah Tegakkan

Nasionalisme juga adalah penyakit yang menyebabkan rezim muslim mengusir muslim yang putus asa mencari perlindungan di tanah mereka, menolak mereka mendapatkan tempat perlindungan dan kewarganegaraan

Itu terjadi karena mereka memandang pengungsi sebagai orang asing yang berbeda bangsa

_________________________________


Penulis Neneng Sriwidianti

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Pengasuh Majelis Taklim



KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Sekat nasionalisme telah menjadikan negeri-negeri muslim tidak mau menolong saudaranya sendiri. Padahal, di dalam beberapa hadis disebutkan bahwa muslim dengan muslim lainnya adalah saudara. Tetapi, hukum kapitalisme yang diterapkan saat ini telah mengikis rasa persaudaraan yang sudah berakar semenjak Rasulullah saw. membangun sebuah peradaban di Madinah.


Sejumlah pihak yang  menolak ratusan muslim Rohingya dan meminta pengembalian mereka ke tempat asal, adalah tindakan yang tidak bertanggung jawab, hal tersebut dinyatakan oleh Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid. Dia juga menilai, penolakan tersebut dianggap sebagai kemunduran keadaban bangsa ini.


Menurut catatan Amnesty, perahu berisi 194 pengungsi Rohingya berlabuh ke Pidie, Aceh. Keesokan harinya datang pula perahu berisi 147 pengungsi lagi ke Pidie. Perahu lain yang berisi sekitar 247 pengungsi Rohingya, mencoba turun di Bireun, Aceh. Lagi-lagi mereka ditolak. Hingga kemarin, Sabtu (18/11/23), perahu pengungsi Rohingya tersebut masih terombang-ambing di perairan Aceh. (tirto[dot]id, 19/11/2023)


Betapa mirisnya melihat nasib muslim Rohingya. Demi menyelamatkan nyawa, mereka pun naik kapal untuk mencari negeri yang mau menerimanya. Karena di negara asalnya, mereka hendak dihabisi. Dengan kapal yang tidak memadai karena banyaknya penumpang, juga bekal seadanya, mereka terapung-apung di tengah lautan selama 11 hari.


Mereka akhirnya mendarat di Indonesia yang diklaim sebagai mayoritas muslim. Namun, harapan mereka untuk bisa diterima, seperti punguk merindukan bulan. Tidak ada yang menyambut uluran tangan mereka, yang ada hanyalah penolakan.


Bukan hanya rakyat yang menolak, pemerintah pun menolak dengan alasan Indonesia tidak ikut meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951, yang isinya mengakui hak-hak orang yang mencari suaka untuk menghindari penindasan di negeri-negeri lain. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri, Muhammad Iqbal menyebutkan, "Indonesia tidak memiliki kewajiban dan kapasitas untuk menampung pengungsi, apalagi untuk memberikan solusi permanen bagi para pengungsi tersebut."


Rasanya, tidak berlebihan kalau muslim Rohingya berharap kepada Indonesia, sebagai negeri yang mayoritas muslim. Berharap saudaranya akan menolong dari kesusahan. Namun, rezim penguasa telah terbelenggu oleh paham nasionalisme yang rusak.


Meskipun muslim Indonesia khususnya Aceh mau menolong muslim Rohingya, tetapi negara tidak mengurus para pengungsi dengan baik. Masyarakat Aceh tidak bisa menolong secara permanen, butuh kekuatan negara, bukan kekuatan individu atau masyarakat.


Muslim Rohingya bukan hanya butuh tempat tinggal, pekerjaan, pendidikan, kesehatan, keamanan, energi, sandang, pangan, dan lainnya. Lebih dari itu, mereka membutuhkan status kewarganegaraan. Semuanya itu hanya bisa dilakukan oleh negara. Lagi dan lagi, nasionalisme telah merampas hak mereka untuk mendapatkannya.


Nasionalisme (paham kebangsaan) yang dianut oleh negeri-negeri kaum muslimin adalah racun yang menghalangi kaum muslim bersatu, untuk saling tolong-menolong. Nasionalisme adalah penyakit yang membuat mereka memandang penderitaan umat Islam di negeri lain sebagai masalah asing yang tidak berhubungan dengan mereka.


Nasionalisme juga adalah penyakit yang menyebabkan rezim muslim mengusir muslim yang putus asa mencari perlindungan di tanah mereka, menolak mereka mendapatkan tempat perlindungan dan kewarganegaraan, karena mereka memandang pengungsi sebagai orang asing yang berbeda bangsa.


Ditambah lagi, negara pasti akan berhitung untung rugi sebab terbayang besarnya rupiah yang harus mereka gelontorkan untuk membantu muslim Rohingya. Bagaimana mengurusi para pengungsi, meriayah rakyatnya sendiri mereka tak peduli, yang ada dalam pikiran rezim adalah bagaimana mendapatkan untung bukan malah buntung.


Sesungguhnya muslim dengan muslim lainnya adalah saudara. Jeritan permintaan tolong mereka harus dijawab oleh muslim di mana pun berada. Kewajiban untuk menyambut permintaan tolong mereka ada di pundak muslim terdekat dengan Rohingya yaitu Bangladesh.


Ketika Bangladesh tidak bisa menolong, maka wajib bagi negeri yang lain, termasuk negeri ini untuk menolong. Belenggu nasionalisme telah menjadikan persaudaraan mereka terputus, tidak peduli terhadap saudaranya. Umat Islam bagaikan satu tubuh hanyalah ilusi.


Maka, solusi hakiki untuk muslim Rohingya adalah mencampakkan paham nasionalisme (sekat bangsa) dan segera menggantinya dengan sistem kepemimpinan umum bagi umat Islam seluruh dunia (khilafah).


Khilafah dan seorang khalifah akan menerima muslim Rohingya dan menjadikan mereka bagian dari warga negaranya. Khilafah akan memenuhi seluruh kebutuhan mereka serta memberikan pekerjaan bagi para lelaki yang sudah punya kewajiban untuk menafkahi (diri dan keluarganya).


Oleh karena itu, kewajiban umat Islam sekarang adalah melipatgandakan perjuangan untuk segera tegaknya khilafah. Karena khilafah yang akan mengakhiri penderitaan panjang mereka. Khalifah akan menjawab permintaan tolong mereka seperti halnya seorang muslimah yang dizalimi rezim Romawi. Khalifah Al-Mu'tashim Billah mengerahkan pasukan untuk membebaskan. Wallahu alam bissawab. [SJ]