Alt Title

Menggantung Asa di Langit Istanbul (Bagian 7)

Menggantung Asa di Langit Istanbul (Bagian 7)

Ayla dan suaminya bukanlah pemeluk Islam yang taat. Ia sama seperti penduduk Turki kebanyakan, sekuler. Sebutan yang identik dengan Turki sekarang

Kemal Attaturk telah mengubah Turki menjadi sekuler setelah sebelumnya berhasil menghapuskan kekhilafahan Utsmani di Istanbul. Itu yang ia dengar dari orang tuanya dulu

_____________________________________


Penulis Rumaisha

Kontributor Media Kuntum Cahaya 



KUNTUMCAHAYA.com, CERBUNG - Umur manusia adalah musim tanam di dunia untuk memetik hasilnya kelak di akhirat nanti. Irma masih tidak percaya umur suaminya begitu singkat. Tapi ia yakin, selama ini Ahmad adalah orang yang saleh. Semoga semua amal kebaikannya diterima di sisi Allah Swt..


Kalaulah tidak ingat kepada qada, rasanya ia ingin menyusul Ahmad, pergi bersama-sama menuju Rabb Pencipta semesta alam. Meninggalkan segala beban yang menghimpit dada. Entah bagaimana hidupnya nanti tanpa pendamping, sementara di depan ada batu besar yang menghadang. Apakah ia sanggup, kalau suatu saat nanti handai taulan dan tetangganya menanyakan perihal anak sulungnya.


"Ibu, ada Hamzah dan ibunya," panggil Umar di depan pintu kamar yang terbuka sedikit.


Irma merapikan pakaian sebelum menemui para tamunya. Sebelumnya ia berpesan kepada Umar, agar Nurul tidak keluar kamar sampai para tamu pulang.


Umar hanya menganggukkan kepala. Ia tahu perasaan ibunya. Tapi sampai kapan harus bersikap seperti ini. Nasi sudah menjadi bubur.


"Ibu, turut berduka cita ya. Semoga almarhum husnul khatimah. Maaf, baru ke sini," kata Aisyah ibunya Hamzah.


"Enggak apa-apa, Bu. Maafkan, Abah, ya Hamzah, kamu suka digoda sama almarhum."


"Iya, Bu. Saya bersaksi bahwa beliau orang baik, orang saleh. Alhamdulillah, Abah punya anak yang saleh, pejuang syariah dan khilafah," sahut Hamzah sambil melirik kepada sahabat kecilnya.


Irma hanya terdiam. Dalam hatinya ia menyesal telah memperlakukan Umar dengan tidak baik.


"Oh, iya, Nurul kemana enggak kelihatan?" tanya Aisyah.


Sebelum menjawab pertanyaan Aisyah, tiba-tiba tamu jauh berdatangan. Irma sibuk menerima ucapan bela sungkawa didampingi Umar. Semuanya menanyakan penyebab kematian Ahmad. Walaupun semua memahami, semuanya sudah qada. Irma menjawab seperlunya.


Tamu terakhir yang datang adalah Ustaz Lutfi. Setelah menemui Irma, Ustaz Lutfi memisahkan diri bersama Umar dan Hamzah. Mereka menganggukkan kepala kepada para tamu yang datang dan pulang. Setelah itu, mereka asyik dengan obrolannya. 


Tiba-tiba, Nurul muncul dari dapur sambil menggendong seorang bayi perempuan. 


"Itu anakmu, Nduk?" Seorang ibu sepuh bertanya dengan tatapan heran. Ia tahu siapa Nurul. Nurul tidak pernah suka kepada anak kecil. 


Nurul tidak menjawab. Ia keburu mendapat isyarat dari ibunya dengan tatapan tidak suka. 


Para tamu yang hadir pun saling bertatapan. Ada juga yang berbisik-bisik dengan teman di kiri kanannya. Kesunyian pecah ketika Ustaz Lutfi berpamitan pulang. Umar pun mengantarkan sampai depan rumah. Satu per satu para tamu pun berpamitan pulang. 


Sepandai-pandainya menyimpan bangkai, baunya akan tercium juga. Itulah yang dialami Nurul. Ia tidak mungkin terus-menerus menutupi dosa yang telah diperbuatnya. Apalagi sekarang ada bidadari kecil yang tidak berdosa bersamanya. 


Malam semakin larut. Nurul tidak bisa tidur nyenyak. Sambil rebahan ia memandangi langit-langit kamarnya. Di sinilah, masa kanak-kanaknya yang penuh kasih sayang ia lalui. Suara jangkrik bersahutan di kebun pisang belakang rumahnya. Jiwa dan pikirannya benar-benar tidak bisa tenang. 


"Mar, boleh Teteh masuk?" Nurul mengetuk pintu kamar adiknya dengan pelan. 


"Iya, masuk aja." 


Nurul duduk di atas tempat tidur, berhadapan dengan Umar. 


"Dek, apa yang harus dilakukan untuk menebus dosa-dosaku selama ini? Benar kata Ibu, Abah meninggal gara-gara, Teteh. Apakah Allah akan mengampuni, Teteh, Mar?" Bulir-bulir bening yang mulai turun tak kuasa ia bendung. 


Sejenak, Umar menatap kakaknya dalam-dalam, seakan ingin menembus isi hatinya untuk mengetahui kesungguhan ucapannya. Setelah itu, ia berkata lirih. 


"Teh, sebesar apa pun dosa seorang hamba selama bukan syirik, pasti Allah akan mengampuninya. Asalkan hamba tadi benar-benar taubat." 


"Teteh, enggak bakalan sanggup menghadapi sanksi yang akan diberikan masyarakat, seandainya mereka tahu keadaan yang sebenarnya." 


Umar pun membesarkan hati kakaknya. Apa pun yang terjadi mereka akan hadapi bersama. Umar yakin ada hikmah dibalik musibah. 


"Tetapi, bagaimana dengan Ibu, Mar? Ibu, begitu marah. Sampai detik ini, tidak pernah menyapa teteh dan si kecil."


"Wajar Teh. Hati Ibu mana yang tidak hancur, anak yang sangat dicintainya telah melakukan kesalahan yang fatal, dosa besar." 


"Apa yang harus Teteh, lakukan?" 


"Temui Ibu, bersujudlah di kakinya. Mohon ampunlah kepada beliau." 


Dengan sisa-sisa air mata yang masih membasahi pipi, Nurul menghampiri kamar ibunya yang letaknya paling ujung. Nurul berhenti sejenak. Hatinya ragu. Apakah ibunya mau memaafkan dia atas segala yang telah dilakukan. Ia tahu, semenjak pulang ke rumah, ibunya tidak pernah berbicara dan selalu membuang muka. 


"Ibu ... maafkan Nurul, karena telah membuat menderita dan malu. Apa yang bisa Nurul lakukan untuk menebus dosa-dosa ini?" Nurul menubruk tubuh ibunya dan bersujud. 


"Angkat kaki dari rumah ini. Aku tidak mau melihat kamu lagi." 


***


Seorang wanita dengan jaket tebal dan sepatu bootnya baru saja memasuki rumah. Seperti hari kemarin, hari ini, adalah hari yang putih. Jalan putih, dedaunan putih, sepanjang mata memandang hanya ada pemandangan yang putih. Salju baru saja beberapa hari turun di Yenisehir, Kota Bursa, Istanbul. 


"Baru pulang, Ayla?" 


"Iya, Anne. Belum tidur?" 


"Nungguin kamu, Nak." 


Setelah mencium tangan ibunya, Ayla minta izin untuk masuk ke kamar. 


"Anne, istirahatlah."


Setelah suaminya meninggal lima tahun yang lalu, Ayla hanya hidup berdua dengan ibu mertuanya. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya, ia bekerja di sebuah silk market di Kota Bursa. Aneka macam oleh-oleh khas Istanbul dijual di sini, mulai dari keramik, pashmina, sutra, dan mata biru (evil eye). Harganya pun terjangkau mulai dari yang murah sampai jutaan rupiah. 


Ayla dan suaminya bukanlah pemeluk Islam yang taat. Ia sama seperti penduduk Turki kebanyakan, sekuler. Sebutan yang identik dengan Turki sekarang. Kemal Attaturk telah mengubah Turki menjadi sekuler setelah sebelumnya berhasil menghapuskan kekhilafahan Utsmani di Istanbul. Itu yang ia dengar dari orang tuanya dulu. 


Ayla tidak terlalu paham dengan apa yang terjadi di masa lalu, yang ia tahu semenjak lahir, Turki sudah seperti hari ini. Sampai-sampai, ia pun tidak memahami bahwa seorang muslimah wajib menutupi seluruh tubuhnya kecuali muka dan kedua telapak tangan. Orang tuanya pun (semoga Allah meridai mereka) tidak pernah mengajarkan bagaimana menjadi seorang muslimah sejati. [SJ] 


- Bersambung -