Alt Title

Rempang Bergolak, Demi Oligarki?

Rempang Bergolak, Demi Oligarki?

Jika penguasa bisa meyakinkan bahwa proyek ini memberikan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat, tentu tidak akan ada reaksi penolakan yang keras. Artinya ada masalah

Masyarakat mungkin melihat bahwa banyak proyek itu sesungguhnya bukan untuk kepentingan masyarakat, tapi untuk kepentingan oligarki yang justru mengorbankan rakyat

_______________________________

Bersama Ustaz Ismail Yusanto 



KUNTUMCAHAYA.com, ANALISIS - Ustaz Ismail Yusanto dalam channel youtube pribadinya, membahas bentrokan yang terjadi di Pulau Rempang, Kepulauan Riau. (19/09/2023) 
"Ketika rakyat begitu keras menolak, pasti ada sesuatu yang tidak beres berlangsung di sana. Orang menyebut investasi, investasi itu kan penanaman modal. Itu artinya akan ada kegiatan   ekonomi, yang kegiatan ekonomi itu kita sudah bisa membayangkan dia akan memberikan nilai tambah kepada kegiatan ekonomi di wilayah itu dan akan memberikan kemakmuran kepada warga di situ. Artinya ini berita baik mestinya," ungkapnya. 


"Ketika ada penolakan, pasti ada suatu masalah," tambahnya. 


Lebih lanjut Ustaz menjelaskan bahwa ada ketidakadilan. Pemerintah menegaskan bahwa penduduk Pulau Rempang harus pindah. Sedangkan ketika harus pindah tempat, pasti menyangkut banyak hal. Pertama, menyangkut aspek sosiologis, psikologis, dan finansial. 


Berpindah berarti meninggalkan semua sejarah kehidupan mereka. Apalagi ini kampung yang   sudah sangat lama dihuni. Itu tidak mudah karena ini menyangkut historis. Sesuatu yang bersifat sejarah, kadang-kadang bersifat sangat emosional. 


Kedua, ketika dipindahkan ada kompensasi yang harus diterima. Kompensasi ini harus bisa menutupi semua kebutuhan sosiologis maupun psikologis.


"Pernah ada satu rencana pembangunan proyek di daerah Cilacap. Itu didemo juga oleh penduduk, tapi demonya itu bukan menolak, tetapi ingin disegerakan," ucapnya. 


"Artinya bahwa rakyat itu merasa ini memberikan kebaikan dan keuntungan buat mereka, ketika yang terjadi adalah sebaliknya seperti yang  kita lihat di Pulau Rempang ini, maka penting bagi kita untuk mengkaji ulang," imbuhnya. 


Ustaz mengungkapkan, pemerintah beralasan bahwa penduduk di sana tidak mempunyai legalitas tanah. Ini justru akan menambah masalah. Negara seharusnya menghargai rakyatnya, bukan sekadar pada aspek formalitas administratif. Indonesia lahir pada tahun 1945, sedangkan penduduk Pulau Rempang sudah ada sejak tahun 1834 di bawah Kerajaan Riau Lingga. 


"Seperti yang telah dijelaskan, investasi ini untuk rakyat. Ketika rakyat menolak, sebenarnya untuk siapa investasi ini?" tanya Ustaz. 


Jika ditelisik, ketika ada investasi di suatu tempat maka seharusnya ada kebaikan, kemakmuran, kesejahteraan di wilayah tersebut. Tetapi pada faktanya, proyek-proyek besar itu tidak berpengaruh secara signifikan terhadap rakyat. Tidak memberikan implikasi positif secara langsung kepada masyarakat. Contohnya seperti di Papua dan Kalimantan. 


"Banyak muncul ironi, di tengah gemerlapnya Freeport ada banyak rakyat yang jauh dari fasilitas pendidikan, jauh dari kesejahteraan. Kalau itu dipaksakan sangat mungkin terjadi juga di Rempang. Karena itulah maka meletakkan warga khususnya di lokasi proyek strategis itu di   dalam kerangka investasi itu penting sekali," bebernya. 


Ustaz menambahkan, bukan hanya orang-orang di Rempang saja yang protes, tapi seluruh umat bahkan dari pulau-pulau lain ikut memprotes. Itu menunjukkan bahwa mereka bukan orang yang tidak tahu apa-apa. 


"Saya kira pemerintah tidak bisa lagi mengatakan bahwa 80 persen setuju. 80 persen itu seperti apa? Kalau memang setuju, mungkin tidak akan seperti ini. Kemudian menuduh adanya provokator. Provokator itu kalau tidak benar, tapi kalau benar itu namanya bukan provokator. Memang dia menyampaikan hak-haknya," ujarnya. 


Ustaz menegaskan jika memang investasi ini untuk rakyat, pasti rakyat yang diutamakan. Bukan timeline mengejar waktu karena kekuasaannya hanya tinggal setahun lagi. Kalau dalam pandangan Islam, sangat mungkin terjadi negara membutuhkan tempat untuk membangun sekolah atau tempat-tempat strategis yang dibutuhkan oleh rakyat. 


"Agar konflik seperti ini tidak terjadi, Islam memberikan petunjuk. Maka yang pertama dilakukan adalah meneliti sebenarnya tanah ini milik siapa. Milik individu, milik umum, atau milik negara. Jika lahan atau wilayah itu milik negara boleh diserahkan kepada siapa pun. Tetapi ketika itu milik umum apalagi milik individu, negara tidak boleh semena-mena menyerahkan kepada investor," terangnya. 


"Pelanggaran terhadap kepemilikan pasti akan menimbulkan reaksi. Jika ini milik pribadi adanya kepemilikan budaya, maka mesti minta izin kepada pemiliknya. Jadi istilah yang tepat bukan ganti rugi, tapi ganti untung. Dan yang punya tanah boleh menolak. Tapi saya kira dengan pendekatan yang rasional, pendekatan yang baik, apalagi benar-benar bisa melihat keuntungan yang bisa didapatkan, masyarakat umumnya akan menerima," cakapnya. 


Ustaz menerangkan, Islam mempunyai aturan dalam menyelesaikan permasalahan ini. Pertama, proyek itu adalah proyek yang penting untuk umat dan kemudian memberikan kemaslahatan-kemaslahatan bagi umat. Kedua, dia mendapatkan ganti rugi yang sepadan dan tidak ada tindak kezaliman. 


Ustaz menceritakan, pada masa Khalifah Umar bin Khattab ada tanah orang Yahudi yang digusur untuk membangun masjid. Mendengar kabar tersebut, Khalifah memerintahkan untuk mengembalikan tanah tersebut kepada pemiliknya. Akhirnya, orang Yahudi merasa terkesan dengan keadilan Islam dan malah menyerahkan tanahnya untuk dibangun masjid. 


Dengan pendekatan yang baik seperti itu, maka akan memperoleh simpati. Simpati itulah yang akan memperlancar proses. "Tentu kita mengecam kriminalisasi yang justru dilakukan oleh negara terhadap rakyat dengan   menuding mereka macam-macam, bahkan ada yang ditangkap. Alih-alih mendapatkan hak, yang ada malah justru mereka mendapatkan sanksi," jelasnya. 


"Jika penguasa bisa meyakinkan bahwa proyek ini memberikan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat, tentu tidak akan ada reaksi penolakan yang keras. Artinya ada masalah. Masyarakat mungkin melihat bahwa banyak proyek itu sesungguhnya bukan untuk kepentingan masyarakat, tapi untuk kepentingan oligarki yang justru mengorbankan rakyat," pungkasnya. Wallahualam bissawab. [Siska]