Alt Title

Menggantung Asa di Langit Istambul Bagian 2

Menggantung Asa di Langit Istambul Bagian 2

 


"Bermata tetapi tak melihat." Itulah yang terjadi hari ini. Banyak orang memahami Al-Qur'an tetapi tidak bisa menancapkannya ke dalam hati sanubari, membentuk keyakinan dan pribadi yang indah

 Ditambah lagi, sejak lahir mereka tidak pernah diajarkan bahwa masuk ke dalam Islam itu harus kafah, tidak pilah dan pilih

_________________________


Penulis Rumaisha

Kontributor Tetap Media Kuntum Cahaya 


KUNTUMCAHAYA.com, CERBUNG - Hari masih gelap, ketika Umar pulang dari masjid setelah melaksanakan salat Subuh berjamaah. Memulai hari dengan salat Subuh, sudah pasti akan membuatnya menjadi hari yang penuh berkah. Sengaja ia pulang duluan, tanpa menunggu abahnya. Hubungannya selama ini tidak terlalu baik, setelah tahu dirinya mengaji secara khusus.


Umar menghampiri ibunya yang sedang memasak air di dapur. Tungku perapian (hawu) sudah menyala.


"Ibu, Umar mau bakar singkong ya, mumpung baranya bagus," katanya sambil mengupas singkong yang kemarin ia ambil di kebon belakang rumah.


"Iya, sekalian buat Abahmu."


"Bu, itu si Teteh sudah bangun untuk salat Subuh, belum?"


"Sudah Ibu bangunkan, tapi tetap tidak bergeming." 


"Ibu itu harus bersikap tegas, kalau sayang. Jangan biarkan dia meninggalkan kewajibannya yaitu salat. Ibu juga wajib mengingatkan agar dia menutup aurat."


Irma tidak menjawab. Tangannya sibuk mengocek kopi untuk suaminya. Kopi dan singkong bakar adalah paduan yang nikmat dimakan kala pagi ketika matahari mulai menampakkan sinarnya. Kebiasaan ini sudah berlangsung sejak lama dalam keluarga dan tidak lekang dimakan zaman.


"Mar, kenapa sih kamu enggak mengikuti apa kata Abahmu, untuk tidak mengaji di kelompok itu. Kan masih banyak pengajian-pengajian yang kamu bisa ikuti. Islam yang biasa aja, jangan terlalu fanatik. Fokus saja pada tugasmu sebagai guru," ucap Irma sambil memandang kepada anak bungsunya itu.


Umar mendengarkan apa yang dikatakan ibunya. Hatinya bimbang. Satu sisi, ia sangat menghormati dan mencintai ibunya. Di sisi yang lain, ia jauh lebih mencintai Allah dan Rasul-Nya.


"Ibu ... Umar akan memenuhi  semua permintaan Ibu, tapi mohon dengan sangat jangan meminta sesuatu yang hal itu menjadi harga mati buat Umar. Dakwah adalah kewajiban bagi seluruh kaum muslimin. Umar tidak akan meninggalkan jalan dakwah ini, Bu. Seperti juga Rasulullah, ketika dipaksa kaum Qurais untuk meninggalkan dakwah mengajak kepada Islam. Tapi apa kata beliau, "Sekalipun matahari diletakkan di tangan kanan dan bulan di tangan kiri, Aku tidak akan meninggalkan dakwah, sampai Islam dimenangkan atau aku binasa karenanya." Begitulah, Umar ingin mencontoh beliau, Bu walaupun masih jauh dibandingkan dengan Rasulullah ataupun para sahabat," kata Umar dengan suara gemetar dan berat. 


Irma hanya terdiam. Tanpa disadari, kata-kata anaknya membuatnya merinding. Ia tahu, anaknya yang satu ini mempunyai tekad yang kuat dan pantang menyerah.


Umar kembali memperhatikan singkong bakarnya. Pikirannya melayang ke sosok sahabat Rasulullah saw. yang menjadi duta Islam pertama ke Madinah. Mus'ab bin Umair, sosok pemuda yang tampan, pintar, dan kaya, namun ia rela meninggalkan kekayaan demi untuk berjuang menyebarkan Islam. Setelah ibunya tidak menyetujui aktivitas yang dilakukan, hal itu tidak menyurutkan tekad Mus'ab. Umar tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Mus'ab kala itu.


Inilah yang menguatkan Umar. Ia yakin Allah tidak akan membebani hambanya di luar kemampuan. Tetap berdoa, semoga kedua orang tuanya akan menyadari dan mendukung dakwahnya. Tidak ada yang tidak mungkin kalau Allah sudah berkehendak.


"Aku siap-siap dulu ya, Bu."


Sebelum sampai ke kamarnya, Umar harus melewati kamar kakaknya. Ia melihat ke arah pintu yang sedikit terbuka, kakaknya masih tidur pulas dibalut selimut bulu kesukaannya. Ia pun sedikit berteriak, "Teh, sudah salat Subuh, ini sudah pukul 06.00?"


"Ah, aku ngantuk."


"Makanya, jangan keluyuran aja, kayak kupu-kupu malam saja."


"Berisik, kamu. Anak kecil sok tahu."


"Yey, diingatkan bukannya berterima kasih," gerutu Umar sambil masuk ke kamarnya.


Umar bersiap-siap. Hari ini, adalah hari pertama dia mengajar di sebuah sekolah tingkat pertama yang tak jauh dari rumahnya. Walaupun masih berstatus guru honorer, Umar begitu menikmati. Semoga dengan menjadi guru, ia bisa mengajak murid-muridnya untuk memahami Islam secara benar. Dengan amanah yang diembannya sebagai guru, rasanya ini jalan mudah ke arah sana.


Dari hasil obrolan dengan ustaz nya dan pengamatannya selama ini, Umar belajar menganalisa bahwa, banyak orang mempelajari Al-Qur'an, tetapi hanya sedikit sekali yang mampu menjadikannya sebagai sesuatu yang bermanfaat untuk membentuk kepribadian yang indah, seindah manusia agung, Rasulullah saw.


"Bermata tetapi tak melihat." Itulah yang terjadi hari ini. Banyak orang memahami Al-Qur'an tetapi tidak bisa menancapkannya ke dalam hati sanubari, membentuk keyakinan dan pribadi yang indah. Ditambah lagi, sejak lahir mereka tidak pernah diajarkan bahwa masuk ke dalam Islam itu harus kafah, tidak pilah dan pilih. 


Umar menarik nafas, "Ya Rabb, istiqamah kan hamba di jalan dakwah ini." [GSM]


-Bersambung-