Alt Title

LPG Non Subsidi Diluncurkan, Bukti Gagalnya Kapitalisme

LPG Non Subsidi Diluncurkan, Bukti Gagalnya Kapitalisme

 


Semua ini terjadi akibat regulasi yang tidak tepat sasaran. Di mana, setiap kebijakan yang dibuat hanya menyasar para korporasi saja

Wajar, jika kesejahteraan tidak pernah merata dirasakan oleh masyarakat. Sehingga, terdengar oleh masyarakat sebuah slogan orang kaya semakin kaya dan orang miskin semakin miskin

____________________


Penulis Siti Nurtinda Tasrif

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Aktivis Dakwah Kampus


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - LPG, salah satu bahan bakar yang saat ini sangat dibutuhkan oleh seluruh masyarakat. Mengingat, sudah diterapkan penggunaan kompor gas, berarti bahan bakar berupa gas dibutuhkan. Sehingga, masyarakat akan merogoh kocek untuk membelinya karena gas sudah menjadi kebutuhan primer bagi kehidupan masyarakat.


Hal ini sesuai dengan keinginan pemerintah, yang menghimbau kepada seluruh masyarakat untuk menggunakan kompor gas. Pada awalnya, untuk menunjang penggunaan kompor gas negara memberikan LPG bersubsidi untuk masyarakat, terkhusus bagi yang kurang mampu. Dan ini adalah awal yang baik ketika menetapkan sebuah peraturan.


Namun entah bagaimana, seiring berjalannya waktu negara mulai menunjukkan ketidakberpihakannya kepada rakyat. Bahkan, mengeluarkan kebijakan yang dapat melemahkan kehidupan masyarakat. Sebagaimana yang penulis kutip dari Media Fajar[dot]co[dot]id (28/07/2023) bahwa, pemerintah meluncurkan produk LPG 3 kg non subsidi bermerek Bright dengan harga yang lebih mahal di tengah masyarakat yang kesulitan mendapatkan gas LPG 3 kg bersubsidi.


Langkah ini menuai kritikan tajam dari berbagai kalangan. Salah satunya, datang dari Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto menilai kebijakan tersebut sebagai sebuah tindakan super tega pada masyarakat. “Kebijakan itu akan membuat pengadaan dan pendistribusian LPG 3 kg bersubsidi semakin terbatas dan sulit. Ujung-ujungnya masyarakat dipaksa membeli LPG 3 kg non subsidi,” ungkap Mulyanto. Ia memperkirakan hadirnya LPG 3 kg non subsidi itu akan meningkatkan tindak penyalahgunaan LPG 3 kg bersubsidi oleh pihak tertentu.


Langkah di atas sudah tentu, menoreh luka lebih besar ke dalam hati masyarakat. Mengingat, masyarakat hanya bisa berharap dari belas kasih kebijakan pemerintah. Namun, jika sebaliknya yang terjadi, kepada siapa masyarakat akan berharap? Sungguh miris, makin lama negara sudah menunjukkan wajah aslinya, di mana setiap kebijakannya tidak memihak rakyat melainkan korporasi dan oligarki.


Rakyat semakin lama, semakin sengsara saja. Bahkan, bingung harus bagaimana menerima kebijakan yang tidak pro rakyat ini. Kemudian, menjalaninya dengan tertatih-tatih. Betapa sulitnya mendapatkan penghasilan. Tidak sedikit yang bekerja sebagai pemulung hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.


Itu pun hanya cukup untuk makan saja, belum lagi untuk beli gas, bayar listrik dan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Jika kebijakan ini dilaksanakan bukannya tidak mungkin rakyat akan semakin kesulitan dengan mahalnya berbagai kebutuhan. Bahkan, untuk membiayai sekolah anak-anaknya saja tidak mampu. Ditambah LPG non subsidi yang pasti semakin mahal harganya.


Semua ini terjadi akibat regulasi yang tidak tepat sasaran. Di mana, setiap kebijakan yang dibuat hanya menyasar para korporasi saja. Wajar, jika kesejahteraan tidak pernah merata dirasakan oleh masyarakat. Sehingga, terdengar oleh masyarakat sebuah slogan orang kaya semakin kaya dan orang miskin semakin miskin.


Hal ini diperparah oleh para oligarki yang terus menerus menancapkan kekuasaannya melalui sistem yang sesuai dengan kepentingan. Yakni sekulerisme kapitalisme yang lahir dari kompromi antara kaum agamawan dan cendekiawan. Di mana, kompromi ini menghasilkan pemisahan agama dari kehidupan. Kemudian, meniscayakan adanya pemisahan agama dari negara.


Sehingga, dapat dilihat dan dirasakan bahwa semua kebijakan yang ditetapkan tidak pernah berkaitan dengan agama. Yang ada agama milik pribadi bukan rakyat apalagi negara. Tidak heran jika selama penerapannya, tidak terlalu besar kemaslahatan dirasakan umat, hanya untuk oligarki dan korporasi saja, bahkan mengenai gas LPG sekalipun.


Jika melihat kegagalan sistem sekulerisme kapitalisme ini, haruslah kembali kepada sistem yang berasal dari wahyu Allah Swt. yaitu sistem Islam kafah. Sistem yang meniscayakan keimanan dan perbuatan harus berdasarkan hukum Allah Swt. semata. Kemudian, Islam menjamin segala keamanan, kebutuhan, dan pendidikan menjadi kewajiban bagi negara untuk segera dipenuhi tanpa ditunda barang sehari pun.


Islam juga memiliki tata kelola, di mana kedaulatan berada di tangan syarak, karena di dalam Islam satu-satunya yang memiliki otoritas membuat hukum dan syariat hanyalah Allah Swt. Dari sini dapat dipastikan bahwa setiap regulasi yang ditetapkan akan memiliki manfaat bagi seluruh umat bukan bagi individu saja. Bahkan, para pejabat dalam Islam tidak memiliki ketertarikan dalam harta dunia apalagi ingin melakukan korupsi.


Karena setiap pejabat yang ada menjalankan seluruh amanah berdasarkan ketakwaan dan rasa takut yang teramat besar kepada Allah Swt. disertai ketundukkan dan kepatuhan. Dan senantiasa menjadikan Rasulullah sebagai tauladan dalam menjalankan tugas-tugasnya. Sehingga, segala amanah maupun tugas dijalankan dengan seadil-adilnya dan tentu saja diniatkan untuk menggapai rida-Nya semata.


Jika umat menghendaki adanya kebaikan bagi diri dan seluruh umat dunia, hendaklah kembali kepada sistem Islam. Namun jika hanya Islam saja, tidak akan bisa diterapkan dengan baik tanpa adanya negara yang mau menerapkan seluruh syariatnya.


Dengan menerapkan syariat Islam dalam bingkai negara, maka Islam rahmatan lil 'alamin bisa terwujud. Dan umat bisa merasakan bagaimana karunia dan rahmat dari Allah Swt.. 

Wallahualam bissawab. [Dara]