Alt Title

Ancaman Minyak Goreng Langka Datang dari Pengusaha

Ancaman Minyak Goreng Langka Datang dari Pengusaha


Lagi-lagi ciri khas sistem kapitalisme tampak jelas dalam hal pengelolaan pendistribusian minyak goreng untuk rakyat ini. Negara seolah-olah angkat tangan dalam menyelesaikan tanggung jawab mereka kepada para pengusaha ritel. Namun sebaliknya, negara tampak serius menangani tiga perusahaan yang bermasalah dan mencari keuntungan dari mereka

Inilah gambaran jelas sistem kapitalisme demokrasi hari ini yang mana pemilik suara terbanyak atau pemilik modal terbesar yang menjadi pemenangnya. Mereka bebas membuat aturan sendiri yang tentu menguntungkan pihaknya

_________________________


Penulis Ledy Ummu Zaid

Kontributor Media Kuntum Cahaya 


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Minyak goreng atau yang lebih dikenal dengan istilah ‘migor’ pasti menjadi sebuah barang yang wajib ada di dapur bagi para ibu atau emak-emak. Bagaimana tidak, masyarakat Indonesia kebanyakan memang suka sekali dengan masakan yang berminyak seperti gorengan maupun makanan berkuah kental yang tentu kaya akan minyak. Oleh karena itu, jika keberadaan minyak goreng langka atau susah didapat, maka kondisi ini jelas akan memengaruhi kesejahteraan keluarga. 


Baru-baru ini terdengar kabar bahwasanya minyak goreng akan langka kembali. Dilansir dari laman Detik (19/08/2023), pengusaha ritel mengancam mengurangi pembelian hingga menyetop pembelian dari produsen minyak goreng jika utang pemerintah yang sebesar Rp344 miliar tak kunjung dibayar. Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) menyebut pembayaran selisih harga minyak goreng atau rafaksi dalam program satu harga minyak goreng pada 2022 lalu belum dibayar pemerintah. Dilansir dari laman CNBC Indonesia (18/08/2023), terdapat 31 perusahaan ritel yang bergabung dengan Aprindo yang mana terdiri dari 45.000 gerai toko di seluruh Indonesia, seperti Alfamart, Indomaret, Hypermart, Transmart, hingga Superindo. Mereka mengancam akan menghentikan pembelian minyak goreng dari para produsen. Hal ini dikhawatirkan memengaruhi stok minyak goreng di pasaran.


Di lain sisi, Wakil Menteri Perdagangan (Wamendag), Jerry Sambuaga percaya diri bahwasanya ancaman para peritel tersebut tidak akan membuat minyak goreng langka di pasaran. "Dibilang minyak goreng nanti tiba-tiba jadi langka ya tidak begitu. Intinya medium kita untuk memperoleh minyak goreng itu kan tersebar di mana-mana sehingga sekali lagi ini bukan kekhawatiran," kata Jerry, dikutip dari laman CNN Indonesia (20/08/2023). Hal tersebut diungkapkan dengan dasar bahwasanya minyak goreng, seperti merk ‘Minyakita’, curah, hingga yang premium, tidak hanya dijual di gerai ritel, tetapi juga dijual di pasar serta melalui perdagangan online sehingga masyarakat masih punya banyak akses untuk mendapatkan minyak goreng.


Ironi, melihat fakta karut marutnya pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) kelapa sawit ini. Di negeri yang kaya raya akan SDA-nya malah dihantui dengan kondisi langka maupun harga yang melambung tinggi dari hasil bumi yang ada. Jika kita telisik lebih dalam, kondisi yang mengancam kesejahteraan rakyat ini tentu tidak serta merta terjadi secara alamiah begitu saja karena faktor alam yang tidak mendukung. 


Sebaliknya, kondisi ini dipengaruhi oleh sistem ekonomi kapitalisme yang amburadul dalam pengelolaan SDA tersebut. Mau ulai dari pemerintah yang berutang kepada para pengusaha ritel, para peritel yang mengancam akan mogok melakukan pembelian stok minyak goreng, hingga tiga perusahaan kelapa sawit yang diduga korupsi izin ekspor minyak sawit mentah yang mana sampai saat ini tidak dibekukan dengan alasan mengkhawatirkan kerugian negara jika mereka berhenti beroperasional.  


Dilansir dari laman Kompas (18/08/2023), Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung (Kejagung), Ketut Sumedana mengatakan lebih baik tiga perusahaan yang menjadi tersangka ini tetap dibiarkan beroperasional, tetapi keuntungan yang didapat diserahkan kepada negara. "Lebih baik kita operasionalkan, uangnya diambil untuk negara, diserahkan kepada negara," imbuhnya. 


Lagi-lagi ciri khas sistem kapitalisme tampak jelas dalam hal pengelolaan pendistribusian minyak goreng untuk rakyat ini. Negara seolah-olah angkat tangan dalam menyelesaikan tanggung jawab mereka kepada para pengusaha ritel. Namun sebaliknya, negara tampak serius menangani tiga perusahaan yang bermasalah dan mencari keuntungan dari mereka. Inilah gambaran jelas sistem kapitalisme demokrasi hari ini yang mana pemilik suara terbanyak atau pemilik modal terbesar yang menjadi pemenangnya. Mereka bebas membuat aturan sendiri yang tentu menguntungkan pihaknya.


Berbeda dengan sistem ekonomi Islam yang mana pengelolaan SDA harus diatur dengan baik dan benar oleh negara sesuai syariat Islam. Negara memiliki andil terbesar sebagai pemangku kebijakan dalam urusan mengatur kehidupan rakyatnya agar sejahtera dunia dan akhirat.


Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam sebuah hadis,

Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput dan api; dan harganya adalah haram.” (HR. Ibnu Majah).


Berdasarkan hadis tersebut, SDA seharusnya wajib dimiliki hanya oleh umum atau rakyat yang mana negara harus mengelolanya dengan baik dan tidak semena-mena. Adapun individu apalagi pihak swasta haram memilikinya sendiri. 


Adanya kasus ini menunjukkan salah kelola penyediaan minyak goreng untuk rakyat yang merupakan kewajiban negara atas rakyat dan juga menunjukkan besarnya atau berkuasanya para pengusaha swasta dalam mengelola stok minyak goreng bagi rakyat. Padahal dalam Islam, negara memiliki kewajiban menyediakan bahan pokok yang berlimpah dan berkualitas untuk memenuhi kebutuhan rakyat, termasuk dalam hal ini ketersediaan minyak goreng dengan harga murah, bahkan gratis. Islam memiliki mekanisme pengelolaan dan kebijakan politik ekonomi yang adil dalam mewujudkannya dan tidak mungkin dikuasai oleh para pengusaha saja. 


Dalam Islam, negara akan memastikan ketersediaan pasokan barang dalam negeri. Kemudian, mengoptimalkan para petani dalam memproduksi hasil bumi yang berkualitas. Jika terpaksa harus impor, negara pun akan mengontrol dengan baik rantai perdagangan luar negeri sehingga harga barang tetap akan terjaga dan mudah didapat oleh rakyat. Oleh karena itu, pasar yang sehat dan jauh dari monopoli perdagangan para kapitalis pengusaha swasta seperti para ritel tersebut akan hadir di tengah-tengah rakyat. Akhirnya, ancaman minyak goreng langka yang datang dari pengusaha tentu tidak akan terdengar di telinga rakyat dalam peradaban Islam yang mulia.

Wallahualam bissawab. [GSM]