Pendidikan Elit di Keadaan Sulit
Opini
Jadi, kegagalan pengadaan infrastruktur pendidikan tidak bisa dilepaskan dari sistem yang saat ini diterapkan, yaitu demokrasi kapitalisme
Sangat jauh berbeda dengan kondisi saat Islam diberlakukan dan pernah jaya selama 13 abad
______________________________
Penulis Umi Lia
Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Anggota AMK
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Kabupaten Bandung masih membutuhkan 48 sekolah baru. Hal ini menjadi program prioritas pemerintah setempat. Dan peran swasta pun sangat diharapkan dalam membantu terwujudnya program ini. Untuk itu, izin pendirian sekolah dipermudah sebagai bentuk keseriusan pemerintah.
Dalam waktu dekat akan berdiri SD dan SMP Al-Azhar yang dibangun di wilayah perumahan Podomoro Kecamatan Bojongsoang, Kabupaten Bandung. Peletakan batu pertama pembangunan sekolah tersebut dihadiri oleh Bupati Bandung. (Detik[dot]Jabar, 01/08/2023)
Negara saat ini belum mampu memenuhi kebutuhan rakyat dalam bidang pendidikan. Jangankan untuk membangun sekolah-sekolah baru, faktanya banyak lembaga pendidikan lain yang kekurangan dana dalam menyelenggarakan proses belajar mengajar.
Akhirnya bantuan pun diminta melalui komite. Padahal menurut anggota DPR RI Komisi VI Dedi Mulyadi, seandainya Pemprov Jabar membuat rencana pembangunan dengan skala prioritas dan mengutamakan pendidikan, maka fasilitas sekolah akan cukup.
Di negara demokrasi menjadi suatu keniscayaan adanya investasi swasta dalam pengelolaan pendidikan. Hal ini sudah diatur dalam UU no. 20 Tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional, di situ disebutkan bahwa pendidikan diselenggarakan oleh pemerintah dan masyarakat (swasta).
Karena faktanya, alokasi dana pendidikan yang diambil dari APBN tidak cukup membiayai kebutuhan seluruh penyelenggaraan pendidikan. Sementara dari sisi kaca mata investasi, penanaman modal apapun pasti akan selalu mencari keuntungan. Dari sini jelas bahwa peran pemerintah yang diperlukan untuk melindungi kepentingan masyarakat, justru tidak ada.
Sekilas investasi memang menggiurkan, dengan keuntungan yang besar atau minimal tidak pernah rugi. Baik pendidikan dan kesehatan adalah dua hal yang sangat dibutuhkan masyarakat dan bersifat pokok/mendasar. Seharusnya dijamin oleh negara dari mulai sarana dan prasarananya sampai ke pelayanannya.
Tetapi hal itu tidak berlaku di negara yang menerapkan demokrasi kapitalisme. Rakyat harus merogoh kocek yang dalam untuk mendapatkan fasilitas yang dibutuhkan. Pemerintah hanya berfungsi sebagai regulator dan administrator saja, tak ubahnya seperti penjual dan pembeli. Siapa yang kuat secara materi, dialah yang layak mendapat pelayanan.
Berdirinya sekolah-sekolah swasta sejatinya bisa meringankan negara dalam memenuhi hak-hak rakyat. Sayangnya, hal ini semakin mempertegas peran negara yang abai terhadap kewajibannya. Ironisnya, justru hal ini dilegalkan dan diperkuat dengan undang-undang yang sengaja dibuat oleh para wakil rakyat.
Menurut penilaian PBB, Indonesia sudah terkategori sebagai negara gagal sistemik karena bunga pinjaman utangnya lebih besar daripada anggaran pendidikan atau kesehatannya. Kegagalan di sini mengandung maksud bahwa pembangunan-pembangunan yang tengah berjalan lambat laun ke depannya akan gagal karena jumlah utang yang dimiliki sudah terlalu besar.
Lain halnya dengan negara yang menerapkan syariat Islam, kebutuhan rakyat menjadi hal prioritas yang sangat diperhatikan. Para pemimpin akan bertanggung jawab terhadap keselamatan, kesejahteraan dan kenyamanan masyarakat. Mereka menyadari bahwa amanahnya kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah Swt.. Dengan demikian mereka akan berlaku adil terhadap apa yang dipimpinnya.
Begitu pula terkait minimnya infrastruktur sekolah yang dapat menghambat pelaksanaan kewajiban menuntut ilmu, tentu akan menjadi perhatian tersendiri untuk segera disolusikan. Seperti yang terjadi pada era di mana Islam berkuasa, lembaga-lembaga pendidikan banyak didirikan bahkan universitas pertama dan tertua di dunia pun masih ada sampai sekarang.
Bukan hanya bangunan tempat belajar, perpustakaan-perpustakaan juga didirikan lengkap dengan asramanya. Selain gratis, para pelajar juga diberi beasiswa setiap bulannya, sehingga mereka betah menimba ilmu. Dari sanalah lahir ilmuwan-ilmuwan muslim yang menjadi pelopor dalam penemuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pembiayaan pendidikan dalam sistem Islam diperoleh dari kas negara yang disebut baitulmal. Pos pemasukannya berasal dari zakat, hasil pengelolaan sumber daya alam dan dari harta milik negara (fai, jizyah, kharaj dan lain-lain). Semua itu lebih dari cukup untuk membiayai pendidikan dan kebutuhan masyarakat lainnya.
Jika kas dalam keadaan kosong, seorang pemimpin Islam akan bersegera memenuhi kebutuhan pendidikan dengan tetap tidak membebani orang tua siswa. Pun jika harus bayar, tidak akan mahal dan membebani, karena diatur pengelolaannya oleh negara. Dengan demikian, pendidikan akan merata tidak akan ada sekolah kelas elit atau rakyat biasa.
Jadi, kegagalan pengadaan infrastruktur pendidikan tidak bisa dilepaskan dari sistem yang saat ini diterapkan, yaitu demokrasi kapitalisme. Sangat jauh berbeda dengan kondisi saat Islam diberlakukan dan pernah jaya selama 13 abad.
Apa yang terjadi di dunia pendidikan saat ini harusnya cukup untuk menumbuhkan kesadaran umat bahwa Islam adalah satu-satunya yang terbukti bisa mengatur kehidupan dan menyejahterakan rakyat. Penerapannya dalam sebuah naungan kepemimpinan akan menyelamatkan umat di dunia dan akhirat. Allah Swt. berfirman:
"Dan seandainya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan." (QS. Al-A'raf ayat 96)
Wallahualam bissawab. [SJ]