78 Tahun Kemerdekaan RI, Sudahkah Merdeka Hakiki?
OpiniSebagian rakyat memahami kemerdekaan sebatas terbebasnya penjajahan secara fisik saja. Tak menyadari bahwa sejatinya mereka dijajah dari segi pemikiran. Dimana bentuk kesejahteraan rakyat itu dipropagandakan dari segi pencapaian kepemilikan harta
Seiring dengan itu SDAanyak dikuasai asing dan segelintir orang yang dekat dengan asing. Hal tersebut merupakan bentuk penjajahan secara fisik berkedok kerjasama sementara rakyat dibiarkan
____________________________
Penulis Irni Irhamnia
Kontributor Media Kuntum Cahaya
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Agustus 2023 ini, Indonesia memasuki usia kemerdekaan yang ke 78 tahun. Banyak warga negara yang menyambutnya dengan berbagai bentuk euforia. Dimulai dengan membuka donasi di hampir setiap tempat atau mendadak berjualan air mineral yang, katanya hasil penjualan untuk biaya perayaan kemerdekaan negeri Indonesia ini.
Sayang seribu sayang, faktanya, kondisi rakyat justru semakin banyak yang terpuruk. Bahkan, di segala lapisan dan segala bidang. Mulai dari masalah ekonomi dengan semakin meningkatnya kemiskinan, generasi dengan pergaulan bebasnya, hingga korupsi yang tak kunjung tuntas. Dan yang baru-baru ini beredar di tengah keterpurukan rakyat telah dilaksanakan prosesi “pernikahan" hewan anjing milik Stafsus (Staff Khusus) Presiden, dengan adat Jawa, yang menelan biaya hingga 200 juta rupiah.
Miris, betapa kemerdekaan dipahami sebagai kebebasan yang malah membuat kebablasan dalam segala aspek kehidupan. Kondisi itu semua tidak dijadikan objek yang diperhatikan oleh penguasa selaku pemimpin negeri ini. Justru, mereka sendiri memberikan contoh yang buruk pada rakyat, alih-alih mengajak dan mengingatkan rakyat pada kebaikan.
Sejatinya pemimpin bukan hanya sekadar memberikan fasilitas tapi kemudian rakyat dibebani berbagai biaya atas penggunaan fasilitas umum. Apalagi sampai ada Stafsus Presiden yang justru mengutamakan kepentingan pribadinya yang sangat tidak manusiawi. Lantas jika sudah begini, apakah cukup hanya dengan mengganti sosok pemimpin saja? Sementara, pergantian pemimpin sudah terjadi berulang dan jelas hasilnya semakin buruk. Namun sayang, banyak rakyat yang masih tetap meyakini bahwa kehidupan akan lebih baik dengan bergantinya pemimpin yang digadang-gadang lebih baik.
Maka dari sini, jelas bahwa sebagian rakyat memahami kemerdekaan sebatas terbebasnya penjajahan secara fisik saja. Tak menyadari bahwa sejatinya mereka dijajah dari segi pemikiran. Dimana bentuk kesejahteraan rakyat itu dipropagandakan dari segi pencapaian kepemilikan harta. Seiring dengan itu SDA (sumber daya alam) banyak dikuasai asing dan segelintir orang yang dekat dengan asing. Hal tersebut merupakan bentuk penjajahan secara fisik berkedok kerjasama sementara rakyat dibiarkan.
Dalam perbuatannya, hanya sedikit orang-orang yang memastikan harta yang didapatnya halal. Itu menandakan bahwa perkara yang berkaitan dengan agama, dalam bentuk keimanan, maka menjadi urusan pribadi masing-masing. Dalam hal ini, Islam hanya menjadi sekadar status dalam KTP saja. Tak ada pemikiran bahwa dengan status Islam menjadi sebuah konsekuensi harus taat pada setiap aturan Islam. Bahkan, tak sedikit yang menganggap bahwa aturan Islam itu mengekang kehidupan manusia sehingga mengurangi kemerdekaan diri, sebab tak sejalan dengan konsep kapitaslis sekuler yang tak memedulikan halal haram.
Sejatinya, Islam sebagai agama yang sempurna telah menjadi jalan perubahan manusia dari kondisi yang buruk dan jahil serta berada dalam kegelapan. Menjadi baik dan penuh dengan cahaya keberkahan. Sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw. yang mendakwahkan Islam sejak diturunkan oleh Allah melalui Malaikat Jibril hingga sampai penerapan syariat Islam secara menyeluruh di segala aspek kehidupan.
Jelas bahwa sesungguhnya, makna kemerdekaan dalam Islam adalah terbebas dari penghambaan terhadap sesama makhluk. Menjalankan apa yang diwajibkan, memaksimalkan yang disunahkan dan memilih aktivitas mubah. Yang makruh ditinggalkan dan yang haram dijauhi sesuai dengan yang telah dituliskan oleh Allah melalui kitab suci Al-Qur’an . Semua itu dilakukan tanpa ada tekanan dari manusia mana pun. Bahkan penguasa menjadi manusia yang taat dan senantiasa memiliki rasa rakut pada Allah sehingga selalu merasa diawasi oleh Allah setiap saat.
Demikianlah, sebab utama yang menjadi permasalahan hidup hari ini adalah pada sistem hidup yang dijalankan oleh Indonesia, bahkan juga dunia, bukan menjalankan aturan Islam. Melainkan sistem kapitalis sekuler yang menyandarkan materi sebagai capaian utama dalam hidup dan memisahkan agama dari kehidupan. Sebagai umat yang meyakini kesempurnaan Islam, sudah semestinya mengembalikan standar aturan hidup pada Islam saja, dengan menjadikan Islam sebagai sistem kehidupan umat manusia. Niscaya akan terwujud rahmatan lil ‘aalamiin.
Siapapun yang menjadi pemimpin umat manusia dia akan senantiasa tunduk pada syariat Islam bahkan rakyat terjaga keimanannya. Kesejahteran hidupnya akan berstandarkan keridaan Illahi sebab dunia sudah dijadikan fasilitas dalam beribadah kepada-Nya, bukan yang mesti dimilikinya. Pemimpin benar-benar menjadi pelindung bagi rakyat, sebagaimana hadits berikut: "Sesungguhnya Imam/Khalifah adalah perisai orang-orang berperang di belakangnya dan menjadikannya pelindung. Jika ia memerintahkan ketakwaan kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan berlaku adil, baginya terdapat pahala dan jika ia memerintahkan yang selainnya maka ia harus bertanggung jawab atasnya." (HR. Muslim)
Demikianlah, sudah saatnya umat Islam kembali memperjuangkan kemerdekaan yang hakiki, yaitu memperjuangkan penerapan syariat Islam secara menyeluruh dalam segala aspek kehidupan. Karena hanya dengan Islam kafah kemerdekaan itu menjadi nyata adanya. Wallalualam bissawab. [Dara Hanifah]