Alt Title

Road to 2024 (14): Oke Ganti!

Road to 2024 (14): Oke Ganti!

Oke ganti akan menjadi gerakan baru jika didasari oleh kesadaran yang benar. Melihat kerusakan yang ada disebabkan karena jauhnya dari aturan syariat. Lalu menyiapkan pengganti yang menjadi solusi. Bukan pengganti yang sifatnya pragmatis dan jangka pendek

Oke ganti bisa ditopang sebagai pemutus loyalitas kepada penguasa yang gagal mengurusi rakyat. Menjadi daya juang untuk mewujudkan sistem dan aturan pengganti yang sahih. Ini butuh panduan dari kelompok yang memiliki kesadaran ideologis

________________________________


Penulis Hanif Kristianto

Analis Politik dan Media



KUNTUMCAHAYA.com, ANALISIS - Kalau 2019 masih ingat #2019GantiPresiden. Kini muncul wacana OKE GANTI dan GANTIAN DONG. Sudah menjadi jamak, jika keinginan 2024 untuk bisa ganti kepemimpinan. Presiden Jokowi yang sudah dua periode diduga telah menimbulkan keresahan bagi publik. Terkhusus yang fokus pada kepemimpinan, kebangsaan, dan kenegaraan. Wacana publik ketika ingin terjadi perubahan, maka kepalanya perlu diganti. Apakah ini merupakan solusi fundamental? Sementara, kekhawatiran hanya bergantian dari satu kondisi ke kondisi lainnya. Bisa jadi stagnan dan mengalami kejumudan.


Jendral (Purn) Gatot Nurmantyo pun turut berwacana terkait kegentingan di tahun politik. Kondisi politik yang dipenuhi konflik dan polemik. Perlu publik ketahui, demokrasi sebagai platform politik banyak berubah dengan ragam jubah. Ada yang monarkhi, Machiavelli, anarkhi, hingga pelanggaran banyak konstitusi. Demokrasi telah benar-benar menjadi alat untuk melanggengkan kekuasaan. Seolah kekuasaan itu abadi dan tak tergantikan.


Gelora perubahan sejatinya sudah tertangkap semenjak 2019. Sayangnya, gelora itu yang awalnya menyala akhirnya pun padam. Kepadaman dengan masuknya sosok yang digadang-gadang bisa memberika keseimbangan, akhirnya masuk ke ruang kekuasaan. Kondisi rakyat pun akhirnya dalam kedukaan. Pembajakan rezim terhadap gelora perubahan bisa diredam. Alhasil di periode kedua inilah tampaknya sekelompok orang yang menginginkan perubahan mengumpulkan amunisi. Sembari itu, menunggu sosok sebagai pengganti.


Dari Resah ke Oke Ganti


Perubahan merupakan sebuah hal yang alami. Keresahan menjadi titik awal untuk mau melakukan perubahan. Tentu perubahan ke kondisi yang lebih baik dari sebelumnya. Bagaimana jika perubahan itu tidak seperti yang diidamkan? Sementara kondisi rakyat masih dalam keterbelakangan dan jauh dari kesejahteraan.


Perubahan ada yang memang didesain dengan apik. Ada pula yang secara emosional dan temporal. Beragam perubahan yang diinginkan tentu perlu dipandu secara benar agar tidak masuk ke lubang biawak kedua kalinya. Keresahan rakyat perlu diobati agar ada yang lebih baik sebagai pengganti.


Keresahan kondisi negeri ini dan keinginan perubahan biasanya muncul dari orang yang memiliki kesadaran. Setiap manusia memiliki kesadaran dengan pemikiran yang beragam. Tatkala keresahan dipandu oleh pemikiran yang benar tentu akan menuntun pada jalan perbaikan. Keresahan tak hanya dimiliki oleh seorang jendral, aktivis, atau politisi. Rakyat jelata pun merasakan hal sama. Karena rakyat menjadi objek dari semua kebijakan yang kadang menyengsarakan.


Kenapa dari keresahan ini lalu beralih ke oke ganti? Ada beberapa hal yang bisa dianalisis.


Pertama, rezim mampu mendesain kondisi akar rumput agar sibuk dengan urusan pribadinya. Melupakan kondisi negara yang sebenarnya tak baik-baik saja. Rakyat bawah kerap dihadapkan pada adu domba dan konflik sesama saudara. Alhasil, fokus peduli negara pun minim, bahkan bisa dikatakan tidak ada.


Beberapa kelompok yang memiliki keresahan yang sama akhirnya berkumpul. Satu visi dan misi untuk kepedulian. Kondisi rakyat pun bisa digolongkan menjadi dua: peduli versus apatis. Kondisi inilah yang menjadikan kelompok yang memiliki kesadaran melakukan sebuah gerakan.


Kedua, arah politik Indonesia sudah amburadul. Kekuasaan disesaki politisi yang tak mengerti esensi mengurusi rakyat. Oligarki dengan mudah mengangkangi lajur politik dan ekonomi. Rakyat masih dalam gulita kebodohan politik, ekonominya jauh dari sejahtera, dan nasibnya banyak yang merana.


Politik dipenuhi polemik dan konflik. Inilah yang akhirnya politik seolah kotor dan sekadar perebutan kekuasaan. Polemik diciptakan untuk manuver dan kepentingan kekuasaan. Sembari itu, menyusun cara untuk melanggengkan kekuasaan. Apakah itu demi menutupi kebobrokan rezim selama ini? Atau untuk terus bisa menggenggam negeri ini agar tak lari ke rezim lain dengan corak yang berbeda?


Ketiga, ketiadaan kontrol terhadap politik yang dijalankan rezim bisa jadi karena abainya rakyat. Bagaimana mungkin mengurusi negara jika rakyat masih dalam kemiskinan, kelaparan, dan keterbelakangan? Bukan berarti dalam kondisi ini abai pada perjuangan. Bisa jadi ini menjadi awal perjuangan ketika muncul ketidakpercayaan rakyat kepada penguasa.


Kontrol terhadap penguasa memang begitu penting. Ulama dari kalangan agawaman tidak hanya menyeru kepada ketaatan penguasa ketika tidak melanggar syariat. Lebih dari itu, juga mengoreksi jika sudah keluar dari relnya sebagai penguasa. Kritik ini menjadi penting sebagai bentuk kepedulian terhadap jalannya pemerintahan. Sebab pemerintahan menyangkut jutaan rakyat yang seharusnya diurusi kehidupannya dalam sandang, pangan, dan papan.


Keempat, oke ganti akan menjadi gerakan baru jika didasari oleh kesadaran yang benar. Melihat kerusakan yang ada disebabkan karena jauhnya dari aturan syariat. Lalu menyiapkan pengganti yang menjadi solusi. Bukan pengganti yang sifatnya pragmatis dan jangka pendek.


Oke ganti bisa ditopang sebagai pemutus loyalitas kepada penguasa yang gagal mengurusi rakyat. Menjadi daya juang untuk mewujudkan sistem dan aturan pengganti yang sahih. Ini butuh panduan dari kelompok yang memiliki kesadaran ideologis.


Rakyat yang inginkan pergantian harus fokus untuk mengamati segala manuver yang dilakukan rezim. Jangan mudah terkecoh dengan segala muka manis atau janji yang bisa saja ke depannya diingkari.


Jangan Terkecoh


Kekuasaan memang sering menyilaukan. Siapapun terdorong untuk berkuasa dengan alasan ingin membawa perubahan. Padahal belum tentu perubahan itu berasal dari atas kekuasaan. Memang jika keuasaan itu bisa dimanfaatkan sosok yang saleh dan taat kepada Allah, insya Allah berkah. Sementara ketika kekuasaan berada di sosok yang zalim dan lalim, tamat sudah riwayat hidup rakyat.


Keterkecohan kepada kekuasaan bisa diliputi oleh hilangnya kesadaran untuk berbuat manfaat demi rakyat. Jangan hanya di awal cukup ganti, lalu sistem operasionalnya masih sama. Ini bisa menandakan kekurangseriusan memikirkan dan memformulasikan sebuah pergantian yang cantik dan ciamik. Karenanya, perlu identifikasi sejak dini dengan mendiagnosis krisis pada sistem dan sosok dalam politik yang ada saat ini, yakni politik demokrasi.


Ketika sudah ditemukan titik kritis juga pada sistem politik, maka sistem politik ini pun perlu diganti. Apa gunanya mengganti sosok kepala tapi dalam tubuh yang sama? Sistem politik demokrasi selama ini ditengarai menjadi pangkal dari ketidakstabilan negara dan keruwetan mengurai masalah. Karenanya, butuh sistem politik yang berkeadilan, berkemanusiaan, dan berpijak pada aqidah Islam yang sahih.


Politik Islam menghadirkan ruang baru dengan nuansa yang penuh haru. Kehadiran sosok pemimpin membawa nafas ketakwaan, ketaatan pada syariat, kemampuan dalam mengelola negara, dan komitmen mengurusi rakyat sepenuh jiwa. Bukankah ini saat yang tepat untuk berbenah agar negeri ini mendapatkan berkah?