Alt Title

Penambahan Izin Ekspor, Rakyat Makin Tersungkur

Penambahan Izin Ekspor, Rakyat Makin Tersungkur

Islam memandang bahwa seluruh barang tambang, minyak, emas, termasuk gas adalah masuk dalam harta kepemilikan umum. Tak boleh dikuasai oleh individu atau kelompok baik dalam ataupun luar negeri. Kekayaan tersebut akan dikelola negara dengan tanggung jawab penuh. Ekplorasi serta eksploitasi dilakukan pula oleh negara untuk kemudian hasilnya dikembalikan kepada masyarakat seluruhnya. Kemudian negara dalam hal ini mempunyai kuasa penuh untuk melarang negara lain melakukan pengambilan SDA yang ada di negaranya

________________________


Penulis Mulyaningsih

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Pemerhati Masalah Anak dan Keluarga




KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Negeri ini rasanya belum puluh seutuhnya dari hantaman Covid-19. Masyarakat masih menata dari sisi ekonomi, perlahan untuk bangkit dan berupaya berdiri dengan tegak. Walaupun pada kenyataannya tetap saja harus bersusah payah demi menjaga kestabilan ekonomi keluarga. Karena fakta yang ada, beberapa bahan pokok harganya merangkak naik, apalagi saat momen penting seperti Idulfitri lalu. 


Ya, pil pahit yang berkaitan dengan kenaikan harga tentu mau tak mau wajib diterima oleh seluruh masyarakat. Kini, pil pahit itu kembali harus ditelan. Negara dengan jelas telah berpihak kepada kepentingan asing. Lewat Undang-Undang No.3 Tahun 2020 tentang Minerba, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah ketok palu memberikan izin terhadap PT. Freeport Indonesia (PTFI) untuk memperpanjang waktu dalam kegiatan mengekspor konsentrat tembaga sampai dengan Mei 2024. Padahal rencana sebelumnya kegiatan tersebut berakhir pada Juni 2023. Perpanjangan izin ekspor tersebut diberikan sebagai bentuk respon atas proyek pembangunan fasilitas pemurnian smelter PTFI di wilayah Gresik, Jawa Timur yang belum selesai. Sebenarnya target penyelesaiannya Desember 2023, tetapi ternyata harus mundur sampai tahun depan. (republika[dot]co[dot]id, 28/04/2023)


Berdasarkan katadata[dot]co[dot]id (14/04/2023) PTFI melaporkan jika negara menghentikan kegiatan ekspor konsentrat tembaga maka akan ada potensi kerugian bagi penerimaan negara sebesar lima puluh tujuh triliun rupiah. Potensi kerugian dihitung dalam bentuk deviden, pajak, dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).


Pemerintah seharusnya bisa bersikap tegas dan bijak terhadap peristiwa ini. Sanksi dapat dilayangkan kepada pihak PTFI karena sudah melakukan pelanggaran terhadap kesepakatan dan kebijakan yang ada. Yaitu dalam hal pembangunan fasilitas smelter di Gresik serta PTFI tidak patuh pada larangan ekspor mineral mentah. Batas waktu yang berlaku hanya sampai Juni 2023. Akan tetapi, pemerintah sendiri bersikeras untuk memberikan penerbitan izin kepada PTFI dalam kegiatan ekspor tadi dengan dalih potensi kerugian yang akan diterima negara. Yaitu dengan cara menyiapkan Peraturan Menteri (Permen). Dan PTFI nantinya hanya akan diberikan sanksi berupa denda atas keterlambatan pembangunan smelter. 


Dari sikap yang ditunjukkan oleh pemerintah saat ini, begitu jelas tampak bahwa selalu kalah dengan orang-orang atau badan yang mempunyai kepentingan terhadap negeri ini. Hal ini terlihat dari kebijakan yang tertuang. Lagi-lagi, hal ini menjadi bukti nyata bahwa keberpihakan terhadap asing begitu tinggi. Sementara rakyat kembali harus menelan pil pahitnya. Kecewa dan sedih tentu dirasakan. Pemerintah tidak memperhatikan kepentingan masyarakat secara luas. Namun mereka justru lebih memihak pada kepentingan asing.


Inilah wajah yang tampak ketika sistem kapitalis diterapkan di dunia. Semua akan ditimbang dan diatur dengan mengatasnamakan kerugian atau keuntungan. 


Di sisi lain, tampak jelas pula oleh kita bagaimana hukum dipermainkan dengan suatu dalih. Hukum layaknya dagangan yang bisa diorder kapan saja dan oleh siapa saja. Tentunya oleh orang-orang yang mempunyai modal serta kepentingan tertentu. Sehingga ketok palu undang-undang ataupun peraturan menteri dapat dengan mudah dibuat agar terwujudnya keinginan si pemodal tadi. Begitulah adanya sistem saat ini, peraturan dibuat demi kepentingan suatu golongan saja. Lagi-lagi masyarakat yang dirugikan. 


Kapitalisme memungkinkan terjadinya kerja sama antara negara dengan korporasi dengan landasan keuntungan materi dan bisnis semata. Tentulah pada akhirnya korporasi dengan mudah mendikte penguasa negeri ini untuk taat dan patuh terhadap semua keinginannya. Termasuk pula jika mereka menginginkan Sumber Daya Alam, maka pemerintah mau tidak mau harus memberikannya.


Padahal, kekayaan alam negeri ini harusnya mampu dirasakan oleh seluruh masyarakat. Namun, fakta membuktikan bahwa semua itu masuk ke golongan tertentu saja (korporat asing). Ini yang kadang tak disadari oleh kita bahwa mereka ternyata telah menjajah negeri ini dengan halus. Meraup keuntungan besar dengan cara mengambil seluruh sumber daya alam (SDA) yang ada. Dengan dalih ketidakmampuan negeri untuk mengelolanya, menjadikan mereka bergerak leluasa untuk mengeruknya.


Kondisi ini sangat berbeda dengan sistem Islam ketika diterapkan dalam kehidupan manusia. Negara dalam hal ini pemerintah dengan tujuan mengharap rida Allah Swt. maka akan berusaha dengan segenap tenaga untuk menjalankan amanah dengan baik. Termasuk bersungguh-sungguh untuk mengelola SDA yang akan dikembalikan secara menyeluruh kepada masyarakat. Baik dalam bentuk penyediaan seluruh sarana dan prasarana umum (publik) atau untuk memenuhi kebutuhan pokok masyarakat per individu. Karena SDA yang ada adalah termasuk pada kepemilikan umum sebagaimana sabda Rasulullah saw., "Manusia berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api." (HR. Abu Dawud)


Islam memandang bahwa seluruh barang tambang, minyak, emas, termasuk gas adalah masuk dalam harta kepemilikan umum. Tak boleh dikuasai oleh individu atau kelompok baik dalam ataupun luar negeri. Kekayaan tersebut akan dikelola negara dengan tanggung jawab penuh. Ekplorasi serta eksploitasi dilakukan pula oleh negara untuk kemudian hasilnya dikembalikan kepada masyarakat seluruhnya. Kemudian negara dalam hal ini mempunyai kuasa penuh untuk melarang negara lain melakukan pengambilan SDA yang ada di negaranya. 


Seharusnya, negara ini mampu bertindak tegas dan mempunyai keputusan yang mandiri. Tidak takut terhadap negara lain dengan ancaman ataupun kebijakannya. Dengan begitu, maka negara ini akan mampu mengelola SDA yang ada dengan baik dan dikembalikan untuk kemaslahatan umat. Tentunya semua itu bisa terwujud ketika negara mempunyai kemandirian dalam hal pengelolaan sebuah negeri. Mempunyai visi dan misi yang hanya tertuju pada rida Allah Swt. yaitu dengan menerapkan sistem Islam secara sempurna dan menyeluruh dengan bingkai institusi Daulah Khilafah. Dengan begitu, maka  kesejahteraan dan kemakmuran dapat terwujud. Kehidupan kita akan dipenuhi dengan keberkahan. Termasuk persoalan pengelolaan SDA dapat teratasi demi terwujudnya kesejahteraan. Dan rakyat (masyarakat) tak lagi tersungkur akibat persoalan demi persoalan yang terus datang. Wallahualam bissawab. []