Alt Title

KEBIJAKAN KONTRADIKTIF ALA KAPITALIS

KEBIJAKAN KONTRADIKTIF ALA KAPITALIS



Inilah kebijakan sekuler kapitalistik yang diambil dari asas paling mendasar Kapitalisme yakni manfaat dan keuntungan


Jika ada manfaat, kebijakan akan diberlakukan, meski masyarakat menjadi korban. Terlebih kebijakan tersebut absen dari agama alias sekuler (memisahkan agama dari kehidupan) sehingga tidak mempertimbangkan ada tidaknya dosa


Penulis Ummu Kholda 

Komunitas Rindu Surga, Pegiat Literasi 



KUNTUMCAHAYA.com-Menjelang bulan Ramadan seperti biasa pemerintah melalui aparat keamanan melakukan razia miras (minuman keras) di berbagai daerah di Indonesia. Seperti yang baru-baru ini diberitakan, bahwasannya Kepolisian Resor Kota (Polresta) Kendari berhasil menyita 95 liter minuman keras tradisional ketika melakukan patroli bersama timnya. 


Kapolresta Kendari Kombes Pol Muhammad Eka Fathurrahman mengatakan personil Satuan Reserse Narkoba (SatResnarkoba) bersama Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) kota Kendari melakukan cipta kondisi dengan sasaran narkotika, minuman keras beralkohol dan tempat-tempat penjualan minuman keras tradisional, serta indekos di wilayah hukum Polresta Kendari. (Antaranews[dot]com, 19/2/2023) 


Di tempat lain, razia yang sama pun dilakukan. Satuan Samapta Polresta Situbondo Jawa Timur menyasar  dan merazia warung-warung yang ditengarai menjual minuman keras berdasarkan laporan dari masyarakat yang merasa resah. Tak hanya warung, rumah warga yang terindikasi menjual miras pun ikut dirazia dan digeledah petugas. Dari razia tersebut, petugas berhasil mengamankan 20 botol minuman keras di salah satu rumah warga di Kecamatan Panarukan. Polisi tidak hanya mengamankan barang bukti, tetapi menindak tegas pemilik atau penjual  dengan tindak pidana ringan. Serta mengimbau masyarakat agar tidak menperjualbelikan serta mengonsumsi miras karena sangat berbahaya bagi kesehatan. (Antaranews[dot]com, 26/2/2023) 

 

Kondisi di atas seolah menjadi agenda rutin tahunan, dimana pihak kepolisian selaku aparat keamanan begitu bersemangatnya untuk melakukan razia miras. Namun yang menjadi pertanyaan, mengapa razia miras hanya dilakukan saat menjelang Ramadan saja? Bagaimana dengan bulan-bulan yang lainnya? Mengapa juga razia hanya menyasar warung-warung kecil dan rumahan? 


Kita sebagai masyarakat setidaknya cukup mengetahui bahwasannya miras adalah minuman yang dapat merusak akal dan jiwa manusia. Sebagaimana sabda Rasulullah saw. dari Abdullah bin Amr bin Ash yang artinya: "Miras (minuman keras) adalah induk kejahatan." (HR. Ath-Thabrani) 


Namun sayangnya, hari ini di negeri yang mayoritas penduduknya muslim, miras masih ditemukan di mana-mana. Bahkan maraknya kejahatan yang diakibatkan oleh miras pun tak terelakkan lagi dan terus memakan korban. Berbagai upaya yang dilakukan pemerintah dan aparat untuk memberantas miras juga belum membuahkan hasil. Seperti penerbitan Permendag Nomor 97 Tahun 2020 tentang Pengendalian dan Pengawasan Terhadap Pengadaan Bahan Baku Minuman Beralkohol hingga Peraturan Presiden atau Perpres Nomor 49 Tahun 2021. Ditambah lagi razia yang dilakukan menjelang Ramadan, juga belum berefek pada menghilangnya minuman haram tersebut di tengah masyarakat. 


Padahal, jika pemerintah mau serius memberantas peredaran miras, tidak harus menjelang bulan Ramadan saja dan di warung-warung atau rumah warga. Karena miras haram dikonsumsi bukan hanya pada bulan Ramadan saja, tetapi setiap bulannya juga tidak boleh dikonsumsi. Terlebih yang digeledah adalah warung-warung yang dinilai tidak memiliki izin, mengapa tidak pabriknya saja atau kran impor yang ditutup?


Apalagi jika kita tengok UU Minol yang menyebutkan bahwa miras masih boleh dijual di tempat-tempat tertentu, seperti tempat pariwisata dan klub malam. Bukankah ini menegaskan bahwa kebijakan yang dilakukan kian sekuler? Karena peredaran miras pada akhirnya diperbolehkan jika ada manfaat ekonomi. Seperti di area wisata yang mana akan menjadi daya tarik bagi wisatawan mancanegara. 


Dengan begitu artinya produksi miras akan terus digenjot untuk memenuhi permintaan konsumen dan demi keuntungan yang melimpah. Belum lagi pajak konsumsi dari miras ini yang cukup menggiurkan. Alhasil kebijakan pun menjadi kontradiktif. Satu sisi pemerintah ingin masyarakatnya aman dengan pelarangan miras. Di sisi lain pemerintah pun ingin mendapatkan keuntungan dari penjualan miras yang cukup menyokong pendapatan negara. 


Inilah kebijakan sekuler kapitalistik. Kebijakan yang diambil dari asas paling mendasar sistem Kapitalisme yakni manfaat dan keuntungan. Jika ada manfaat maka kebijakan akan diberlakukan, meskipun masyarakat menjadi korban. Terlebih kebijakan tersebut absen dari agama alias sekuler (memisahkan agama dari kehidupan) sehingga tidak mempertimbangkan ada tidaknya dosa. 


Oleh karena itu, melakukan razia miras menjelang bulan suci Ramadan, sejatinya hanya menjadi peredam keresahan masyarakat. Miras akan tetap ada selama masih ada permintaan. 


Sementara dalam pandangan Islam miras adalah induk dari kejahatan sehingga keberadaannya wajib dienyahkan. Hal itu agar tercipta kehidupan yang aman, dan terjaganya akal manusia. Allah Swt. telah jelas melarang peredaran miras hingga yang terkena dosa tidak hanya peminumnya saja, akan tetapi penjualnya dan orang-orang yang terlibat di dalam peredarannya.


Sebagaimana sabda Rasulullah saw. yang artinya: "Allah melaknat khamr (minuman keras), peminumnya, penuangnya, yang mengoplos, yang minta dioploskan, penjualnya, pembelinya, pengangkutnya, yang minta diangkut, serta orang yang memakan keuntungannya." (HR. Ahmad) 


Adapun sanksi dalam Islam juga akan sangat menjerakan pelaku. Ali ra. berkata: "Rasulullah saw.mencambuk peminum khamr sebanyak 40 kali. Abu bakar juga 40 kali. Sedangkan Utsman 80 kali. Kesemuanya adalah sunnah. Namun, yang ini (80 kali) lebih aku sukai." (HR. Muslim) 


Pelarangan khamr Allah perintahkan agar tercipta kehidupan yang kondusif, aman dan jauh dari tindak kriminal di tengah umat. Namun hal itu akan berjalan seiring dengan pemahaman umat bahwa miras adalah barang haram karena zatnya. Sehingga umat akan menjauh dari barang tersebut, tidak peduli ada manfaat atau tidak di dalamnya. 


Untuk sanksi selain peminum khamr, maka akan dikenai sanksi takzir, yaitu yang kadar hukumannya diserahkan kepada khalifah (pemimpin tertinggi) atau qadhi (hakim) sesuai ketentuan syariat. Sanksi tersebut harus memberikan efek jera bagi pelaku (zawajir) dan akan menjadi penebus dosa (jawabir) bagi pelakunya. 


Sementara pihak produsen dan pengedar khamr sudah selayaknya mendapatkan sanksi yang lebih keras dari peminum khamr. Karena mereka menimbulkan bahaya yang lebih besar dan lebih luas bagi masyarakat. Oleh karena itu miras ditetapkan  sebagai barang haram dan harus dilarang peredarannya secara total. Pelarangan ini akan dapat terlaksana secara sempurna jika sistem Islam diterapkan  secara kafah (menyeluruh). Dalam hal ini negara lah yang berperan untuk menutup celah produksi dan peredaran miras. Sehingga kesehatan akan terjaga, keamanan akan tercipta dan kehidupan akan menjadi berkah. Wallahu a'lam bi ash-shawab.