Alt Title

PEMBAKARAN AL-QUR'AN TUAI KECAMAN DUNIA, KEMANA PERAN NEGARA?

PEMBAKARAN AL-QUR'AN TUAI KECAMAN DUNIA, KEMANA PERAN NEGARA?



Ketika sistem Islam diterapkan untuk mengatur kehidupan, maka menjaga dan melindungi syiar-syiar Islam adalah tugas negara


Oleh karenanya, kepala negara akan menjatuhkan sanksi tegas bagi siapa saja yang melakukan penistaan atas Rasulullah saw., Al-Qur’an, dan syiar-syiar Islam. Sebab dirinya adalah junnah atau pelindung


Penulis Ati Nurmala

Aktivis Dakwah


KUNTUMCAHAYA.com-Setelah runtuhnya Daulah Islam di Turki Usmani pada 1924 silam, kehidupan kaum muslimin tak pernah sepi polemik. Bagaimana tidak, baru-baru ini dunia kembali digemparkan dengan aksi pembakaran salinan kitab suci Al-Qur’an di depan gedung kedutaan Turki di Stockholm pada 21 Januari 2023.


Atas nama kebebasan berekspresi, Rasmus Paludan, pemimpin partai politik sayap kanan Denmark, Stram Kurs (garis keras) melakukan aksi kontroversinya dengan membakar Al-Qur'an. Aksi Rasmus ini bukan kali pertama terjadi, dilansir dari detik[dot]com pada 2017 lalu dia mendirikan partai Stram Kurs atau yang berarti Garis Keras. Menurut Associated Press, situs partai Stram Kurs menampilkan agenda anti-imigrasi dan anti-Islam. Partai ini juga disebut sebagai partai politik paling patriotik di Denmark.


Pada tahun 2019 Rasmus Paludan sendiri pernah melakukan aksi pembakaran Al-Qur'an yang dibungkus daging babi bersama anggota partainya. Lalu pada tahun 2020 dia dan anggota partainya melakukan aksi serupa di wilayah yang memiliki populasi Muslim dan imigran terbesar di Swedia yakni di wilayah Rinkeby.


Atas aksinya tersebut pada September 2020, Rasmus dilarang masuk ke Swedia selama dua tahun. Namun pada bulan April 2022 Rasmus kembali mengulang perbuatan sebelumnya yakni membakar Al-Qur'an di daerah Linkoping. Miris, seluruh tindakan provokasi yang dilakukan Rasmus Paludan ini mendapatkan izin dari pemerintah Swedia dan di bawah penjagaan kepolisian selama menjalankan aksinya.


Pada Januari 2023 ini politikus sayap kanan Denmark yang juga adalah seorang pengacara Ini melakukan pembakaran Al-Qur'an sebagai bentuk protes atas Turki yang menolak keanggotaan Swedia untuk bergabung dengan NATO. Bahkan Finlandia pun mendapat penolakan serupa dari Turki, sebab kedua negara tersebut dituding tidak mendukung perlawanan terhadap Unit Perlindungan Rakyat Kurdi Suriah (YPG) serta Partai Pekerja Kurdistan (PKK).


Mereka merekam aksinya dan membagikannya secara online di media sosial. Sontak saja hal ini mengundang kecaman dari banyak negara di dunia, berbagai protes pro dan kontra terus dilayangkan atas perbuatan Rasmus Paludan ini. Dia bahkan mengancam akan terus melakukan aksinya tersebut setiap hari Jumat jika Turki masih enggan menyetujui keanggotaan Swedia di NATO.


Ancaman dari Rasmus Paludan tersebut sama sekali tidak berefek bahkan Presiden Turki yang hingga kini masih enggan menanggapi ancaman tersebut. Sebenarnya perbuatan membakar Al-Qur'an bukan hanya pernah dilakukan oleh Rasmus Paludan saja, tapi banyak aksi serupa kerap kali melecehkan Islam bahkan berulang-ulang. Hal ini terjadi sebab sistem Demokrasi yang diterapkan banyak negara di dunia, menjamin kebebasan berperilaku dan berpendapat. Setiap orang dibebaskan untuk melakukan apa saja termasuk melecehkan simbol agama, tak terkecuali Al-Qur'an, kitab suci umat Islam.


Selain itu pemahaman sekuler yang telah mendarah daging dan Islamofobia tumbuh subur dalam Demokrasi menjadi faktor utama banyak aksi pelecehan atas Islam di dunia. Khusus untuk Swedia sendiri dilansir dari CNNIndonesia[dot]com, masyarakat Swedia memandang ruang publik harus menjadi arena sekuler non-agama yang mana semua orang diperlakukan dan menerima aturan sosial yang sama tanpa memandang jenis kelamin, latar belakang budaya, etnis atau agama. Pihak berwenang Swedia juga mengatakan demonstrasi yang dilakukan Rasmus Paludan sah-sah saja di bawah Undang-Undang Kebebasan berpendapat Swedia.


Ternyata kecaman dari berbagai negara tidak memberi dampak besar untuk para pelaku pelecehan terhadap simbol Islam. Sebab negara-negara dengan mayoritas penduduk Muslim seperti Indonesia hanya mampu mengecam tanpa melakukan tindakan hukum apapun. Sejatinya rasa jera tidak didapat pelaku hanya dengan mengutuki aksinya saja, tetapi harus ada sanksi hukum yang tegas agar perbuatan seperti ini tidak di ulangi kembali di kemudian hari.


Apalagi hukum yang diberlakukan terhadap pelaku pelecehan atas Islam hari ini jauh dari kata tegas. Sehingga para pelaku penghinaan terhadap kitabullah tersebut merasa di atas angin. Mereka dengan leluasa mengulang aksinya lagi dan lagi. Kaum muslimin di berbagai belahan dunia tidak berkutik meski hatinya tercabik-cabik menyaksikan betapa tak bermoralnya perilaku Rasmus Palludan tersebut. Namun mereka tidak bisa melakukan pembelaan apa-apa.


Seharusnya negeri Muslim seperti Indonesia tidak hanya mencukupkan diri dengan mengecam dan melakukan demonstrasi saja sebagai bentuk penolakan atas tindakan keji tersebut. Namun pemerintah bisa lebih tegas dan serius menanggapi kasus ini. Negara bisa bertindak langsung mengirim pasukan terbaik guna memerangi negara yang melegalkan pelecehan terhadap Islam dengan dalih kebebasan berekspresi tersebut. Akan tetapi hal itu sama sekali tidak terjadi.


Demikianlah sikap negara yang tidak menjadikan Islam sebagai sumber hukum untuk mengatur segala urusannya. Tidak sedikit dari negeri Muslim yang justru abai dengan kasus pembakaran Al-Qur'an di Swedia ini. Itu karena mereka berpandangan bahwa hal tersebut hanya urusan umat Muslim yang ada di Swedia saja. Sedangkan bagi yang lain angkat tangan. Padahal kaum muslimin itu ibarat satu tubuh. Jika ada bagian tubuh yang sakit maka seluruh anggota tubuh yang lain merasakannya.


Sejatinya kaum muslimin tidak tersekat-sekat seperti sekarang. Ini terjadi setelah Daulah Islam runtuh pada tahun 1924 silam. Terhitung sejak runtuhnya daulah tersebut kaum muslimin mengadopsi sistem jahiliyah sebagai sumber hukum untuk mengatur kehidupannya. Tersekat-sekatnya kaum muslimin hari ini sebab paham nasionalisme yang mengotak-kotakkan  mereka di seluruh dunia. Hingga mereka merasa bahwa umat muslim di Indonesia dengan yang ada di negara lain tidak saling mencampuri urusan, tidak saling peduli, seolah saling mengabaikan.


Sangat memprihatikan kondisi umat saat ini. Bahkan sikap masyarakat yang telah terpapar pemahaman sekuler ini hanya akan bergerak ketika terjadi goncangan yang dahsyat saja, misalnya kasus pembakaran Al-Qur'an ini. Kaum muslimin di berbagai negara mengecam keras tindakan tersebut, tapi tidak menunjukkan kemarahannya ketika syariat Islam diabaikan, perintah Allah ditinggalkan bahkan bersikap enggan taat kepada syariat. Melanggar perintah Allah seolah biasa. Bahkan ada yang bangga melakukan pelanggarannya atas syara.


Ketika Al-Qur'an dibakar semuanya menolak. Akan tetapi ketika isi dari Al-Qur'an tidak diterapkan dalam sebuah institusi negara, semuanya menganggap biasa saja. Seharusnya sikap kaum muslimin tidak seperti itu.


Demikianlah sejatinya jika pemahaman sekuler yakni pemisahan agama dari kehidupan telah mendarah daging dalam pemikiran umat. Terlebih lagi tidak ada negara yang menjadikan kalamullah sebagai sumber hukum, hingga keadilan dan sanksi yang harusnya diberlakukan untuk mengadili para pelaku pelecehan terhadap simbol Islam tidak bisa dilaksanakan. Lantas pada akhirnya kita hanya akan menyaksikan perbuatan semacam pembakaran Al-Qur'an ini kembali terulang di masa depan. Sebab hukum yang diterima pelaku tidak mendatangkan efek jera bagi dirinya, juga bagi orang lain.


Padahal ketika sistem Islam diterapkan untuk mengatur kehidupan, maka menjaga dan melindungi syiar-syiar Islam adalah tugas negara. Oleh sebab itu kepala negara akan menjatuhkan sanksi tegas bagi siapa saja yang melakukan penistaan atas Rasulullah saw., Al-Qur’an, dan syiar-syiar Islam. Sebab dirinya adalah junnah atau pelindung. Hal ini sebagaimana hadis Rasulullah saw.,


"Sesungguhnya Al-Imam (Khalifah) laksana perisai, orang-orang akan berperang di belakangnya dan melindungi kekuasaannya." (HR. Bukhari dan Muslim)


Oleh karena itu, barang siapa yang berani melecehkan Islam sama saja dengan menabuh genderang perang. Jika yang melakukan penistaan agama tersebut adalah seorang Muslim, maka dia akan dihukumi murtad dan harus dihukum mati. Jika pelakunya kafir ahlu zimmi, dia mendapat takzir berat sampai dihukum mati. Namun jika dia warga kafir harbi, maka Khalifah akan mengumumkan perang pada negaranya sebagai upaya tegas untuk menghentikan mereka.


Hanya dengan menerapkan syariat Islam kafah maka penistaan terhadap Al-Qur'an dan syiar-syiar Islam diberantas tuntas. Dengan cara ini pula bisa dipastikan tidak akan ada lagi yang berani menodai kesucian Islam. Lantas, jika kita sudah mengetahui betapa hebat dan paripurnanya sistem Islam yang berasal dari Pencipta alam semesta yakni Allah Azza wa Jalla dalam mengatur setiap sendi kehidupan dan menuntaskan setiap permasalahan yang ada, tidakkah terbersit dalam hati rasa rindu untuk hidup di dalamnya? Wallahu a’lam bi ash-shawwab.