Solusi Pasti dari Harta Hasil Korupsi
OpiniIslam melarang umatnya untuk meraih harta dari jalan-jalan yang tidak diperkenankan
Semisal pencurian, membohongi orang, korupsi, suap-menyuap, muamalah ribawi, segala bentuk judi, dan lain-lain
_________________________________
Penulis Tri Silvia
Kontributor Media Kuntum Cahaya
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - "Siapa saja yang mengambil sejengkal tanah secara zalim, maka pada Hari Kiamat dia akan dikalungi dengan tujuh lapis bumi." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Hadis di atas haruslah jadi perenungan bagi kita semua tentang bagaimana buruknya kondisi para pencuri di hari akhir nanti. Bukan hanya pencuri, tetapi juga orang-orang yang kini tengah terjerat korupsi.
Korupsi Sama dengan Mencuri
Aktivitas korupsi nyatanya hampir sama dengan mencuri. Hanya saja dengan skala yang lebih besar dan berpengaruh luas karena melibatkan harta masyarakat.
Aktivitas mencuri apalagi mengambil uang rakyat adalah perbuatan yang dilaknat dalam Islam. Hukum Islam sangat tegas terkait dengan perbuatan tersebut. Bukan hanya hukuman akhirat sebagaimana yang disebutkan di atas, melainkan juga hukuman dunia. Tentunya akan bisa terlaksana seandainya hukum Islam kembali diterapkan dan diakui di muka bumi.
Dua macam hukuman tersebut nyatanya akan membawa banyak sekali perubahan dalam kondisi lingkungan masyarakat dan perpolitikan. Bukan hanya secara struktur dan fungsi, serta jabatan para pegawai pemerintahan. Namun juga kebiasaan, prinsip hidup, serta aturan yang juga jauh berbeda. Semua itu akan menciptakan pribadi-pribadi yang takut pada Sang Pencipta, juga kontrol masyarakat dan negara yang makin kuat dan solid.
Kasus Korupsi Makin Menjadi-jadi
Hal tersebut jauh berbeda dengan sistem yang ada saat ini. Di mana aksi korupsi makin subur terjadi. Bukan hanya dari segi jumlah kasus, melainkan jumlah harta yang dikorupsi, cara serta program kebijakan yang makin berani.
Lihatlah bagaimana kasus korupsi saat ini terjadi pada program-program yang sangat dekat dengan kebutuhan rakyat. Semisal kasus korupsi Pertamina, dana haji, beras oplosan, dll. Kasus-kasus ini melejit, bahkan dengan jumlah harta yang sangat fantastis, melebihi para pendahulunya.
Hukuman yang ringan bagi mereka pun lantas menjadi percikan api yang membuat masyarakat makin berkobar. Belum lagi harga-harga yang makin mencekik, pajak yang makin melangit, dan hajat hidup yang makin sulit. Membuat amarah rakyat meledak-ledak menciptakan keributan massal beberapa hari di ibukota dan kota besar di Nusantara.
Dari keributan-keributan inilah kemudian mengemuka tuntutan rakyat, yang salah satunya terkait Undang-Undang Perampasan Aset. Seluruh rakyat pun sontak mengamini sebab geram dengan tingkah laku bengis para koruptor ini. Akhirnya, tuntutan tersebut dimajukan oleh para pemegang kebijakan. Kini RUU Perampasan Aset ini pun masuk dalam pembahasan para politisi.
Meski begitu, nyatanya RUU ini masih tertahan dengan berbagai macam alasan. Alasan-alasan klasik semisal, “masih perlu pendalaman”, “butuh sinkronisasi”, “belum ada kesepahaman antar-fraksi”, “tidak sesuai dengan karakter hukum di Indonesia”, “menunggu persetujuan rakyat”, dll.
Tarik-menarik kepentingan begitu tampak dalam hal ini. Alhasil, kecurigaan rakyat pun semakin menjadi-jadi. Berbagai dugaan pun muncul, mulai dari kekhawatiran jikalau RUU ini akan mengganggu kepentingan para elit (baik politisi maupun pengusaha), hingga kekhawatiran akan terseretnya nama-nama penting para pemangku kuasa negeri.
Selain itu, RUU ini pun masih menjadi dilema bagi rakyat sendiri. Pasalnya, ada kekhawatiran jika RUU tersebut justru disalah gunakan sebagai alat untuk mengambil harta rakyat yang dianggap 'ilegal'. Dalam tanda kutip aset-aset yang belum diurus sertifikat kepemilikannya, ataupun masih ada dalam sengketa.
Poin di atas sungguh sangat disayangkan, mengingat begitu pentingnya perampasan aset sebagai salah satu bentuk ketegasan negara atas para pejabatnya. Baik untuk para pejabat tinggi, para pemegang kuasa maupun para oligarki (korporasi) dan pengusaha.
Perampasan aset ini tentunya di luar hukuman tegas lain yang harus dikenakan atas mereka. Tidak sembarang hukuman, melainkan hukuman yang membuat jera, hingga tidak ada lagi kemungkinan mereka ataupun orang-orang lain yang memiliki kecenderungan, untuk mengulangi perbuatan yang sama.
Hal ini sejalan dengan yang disampaikan dalam Islam. Berikut teladan cerita yang terjadi kala Islam masih diterapkan. Bukan hanya sebagai inti peribadatan melainkan sebagai sistem dan ideologi kehidupan, termasuk dalam hal politik pemerintahan.
Islam Melarang Aktivitas Korupsi
Secara hukum, Islam melarang keras segala bentuk perolehan harta secara batil. Allah SWT berfirman:
وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِّنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ
"Janganlah kalian memakan harta dengan jalan batil. Jangan pula membawa (urusan) harta itu kepada hakim agar kalian memakan sebagian harta orang lain dengan dosa, padahal kalian mengetahui." (QS. Al-Baqarah : 188)
Ayat tersebut menjelaskan bahwa Islam melarang umatnya untuk meraih harta dari jalan-jalan yang tidak diperkenankan. Semisal pencurian, membohongi orang, korupsi, suap-menyuap, muamalah ribawi, segala bentuk judi, dan lain-lain.
Selain terkait dengan pengaturan perolehan harta, Islam pun menegaskan larangan terkait korupsi dan aksi suap menyuap. Sebagaimana hadis yang artinya:
"Siapa saja yang kami angkat sebagai pegawai dalam suatu pekerjaan, lalu kami beri dia suatu gaji, maka yang dia peroleh selain dari gaji adalah harta haram." (HR Abu Dawud)
"Laknat Allah atas penyuap dan penerima suap." (HR Ahmad, Abu Dawud dan at-Tirmidzi).
Dua hadis di atas menegaskan kembali terkait keharaman aktivitas korupsi dan suap menyuap. Adapun hasil dari aktivitas tersebut tentulah harus dikembalikan kepada pemiliknya atau disita negara guna memenuhi kebutuhan rakyat.
Ada beberapa cara pencegahan aktivitas korupsi ketika Islam menjadi asas negara, yakni para pejabat akan diberikan kompensasi atau gaji yang layak sehingga tidak ada alasan lagi untuk melakukan korupsi. Selain itu, audit atas harta pejabat harus dilakukan secara rutin dan konsisten, guna menghindari kecurangan atau penambahan tidak wajar pada harta mereka.
Adapun setiap penemuan penambahan harta yang tidak wajar akan langsung disita oleh negara. Terakhir, khalifah atau pemimpin negara akan secara langsung atau diwakilkan guna memantau kekayaan para pejabat yang ada di bawahnya.
Teladan Umar bin Khattab r.a.
Penyitaan atas harta tidak wajar para pejabat nyatanya telah dicontohkan oleh Khalifah Umar bin Khattab r.a. ketika masa kepemimpinannya. Sebagaimana yang disampaikan di beberapa riwayat masyhur, Khalifah Umar pernah mengatakan, “Siapa saja yang kami angkat sebagai pejabat negara, lalu memperoleh harta, maka ia hanya boleh memiliki harta yang ia peroleh sebelum menjabat. Adapun apa yang bertambah setelah itu, maka ia adalah ghulûl (haram), dan wajib disita (oleh negara).” (Abu Yusuf, Kitâb al-Kharâj, hlm. 107)
Pernyataan di atas pun telah diimplementasikan oleh Khalifah Umar bin Khattab ra. ketika beliau secara tegas menyita harta Khalid bin al-Walid ra., hadiah dari rakyat kala itu. Khalifah Umar r.a. menilai hadiah itu sebagai ghulûl (pengkhianatan). Harta sitaan itu lalu dimasukkan ke Baitul Mal (kas Negara) (Ibn Saad, Ath-Thabaqât al-Kubrâ, 4/322).
Begitu juga kepada Abu Hurairah ra. ketika beliau menjabat sebagai Gubernur Bahrain. Pernah satu waktu Abu Hurairah ra. membawa pulang uang 12 ribu dirham, seketika itu juga Khalifah Umar ra. marah dan berkata, “Engkau tidak mempunyai harta sebelum ini. Lalu mengapa engkau tiba-tiba datang membawa 12 ribu dirham?!” Khalifah Umar ra. lalu menyita dan memasukkan seluruh harta itu ke Baitul Mal (Kas Negara). (Ibn Saad, Ath- Thabaqât al-Kubrâ, 4/90).
Begitupun yang dialami oleh sahabat Sa'ad bin Abi Waqqash ra. Khalifah Umar bin Khattab ra. juga pernah menyita hartanya karena dianggap tidak wajar. (Al-Mawardi, Al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, hlm. 222).
Indahnya Dunia Kala Islam Diterapkan
Apa yang dicontohkan oleh Khalifah Umar bin Khattab ra. hanyalah secuplik dari kisah panjang yang menghiasi dunia. Dimana Islam pernah berkuasa selama 13 abad lamanya. Hingga sebelum Kekhilafahan dihapuskan oleh rezim Attaturk laknatullah alaihi, sungguh hukum-hukum tersebut diterapkan secara konsisten dan tegas.
Alhasil, Daulah Islam berhasil membuktikan kepada dunia akan kebesaran dan keberhasilannya dalam mengelola pemerintahan. Walaupun ada beberapa masa dengan kebocoran anggaran di sana-sini, namun itu berkaitan dengan perilaku individu, bukan komunal apalagi negara. Adapun hukum-hukum Islam terkait dengan perilaku korupsi tetap ada dan berlaku saat itu.
Sungguh kondisi saat itu jauh lebih baik dibanding saat ini, di mana tidak ada hukum apa pun yang bisa menjadi sandaran bagi masyarakat untuk mendapat keadilan. Pasalnya, korupsi yang terjadi tidak hanya terjadi kala negara kelebihan sumber daya.
Melainkan juga terjadi di kala negara serba kesulitan untuk memenuhi berbagai anggaran yang telah ditetapkan. Yang kemudian menjadikan mereka enggan untuk menanggung segala penderitaan yang rakyat alami dari hari ke hari. Rakyat dimintai pajak selangit guna menutupi anggaran yang mereka korupsi
Adapun mereka cenderung memelihara para pejabat yang memiliki mental korup. Sebab para pejabat inilah yang bisa melancarkan aksi para oligarki tersebut dalam menyedot sumber daya dan kekayaan negeri.
Oleh karena itu, perjuangan untuk mengganti sistem demokrasi kapitalis yang rusak. Serta mewujudkan kembali sistem Islam di muka bumi adalah sesuatu yang pasti dan harus dilakukan sebab hanya dengan inilah maka segala aktivitas korupsi yang terjadi akan berhenti. Wallahualam bissawab.