Job Hugging Melanda Tanda Kegagalan Kapitalisme Global
OpiniMelalui mekanisme penerapan syariat Islam yang praktis ini
negara dapat menjamin ketersediaan lapangan pekerjaan dan kebutuhan hidup rakyat secara adil
______________________________
Penulis Saltina, S.Pd.
Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Pengajar SAT Wildan Majene
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Fenomena job hugging akhir-akhir ini makin marak melanda kaum muda, khususnya kalangan Gen Z dan Milenial. Tren job hugging atau kecenderungan untuk tetap bertahan memeluk erat pekerjaan yang tengah dijalani, meskipun telah kehilangan minat dan motivasi dalam pekerjaan tersebut, seolah menjadi pilihan yang realistis di tengah kejamnya ketidakpastian pasar kerja global. Tak mengherankan, banyak lulusan Perguruan Tinggi terjebak dalam job hugging demi menjaga stabilitas dan keamanan finansial.
Jika dulu tren job hopping atau berpindah-pindah kerja menjadi andalan kaum muda untuk mengejar jenjang karir, pengalaman baru, dan kenaikan gaji begitu digandrungi, kini situasinya berganti. Tawaran pekerjaan baru tak lagi menggiurkan hati. Bagi Gen Z dan Milenial, lebih baik bertahan di tempat lama, daripada mengambil risiko menjadi pengangguran intelektual.
Tren job hugging tidak hanya melanda kaum muda Indonesia, melainkan juga merambah dunia global, semisal Amerika. Data di Amerika Serikat (AS) menunjukkan tingkat pengunduran diri sukarela di AS sejak awal 2025 hanya berkisar 2%, level terendah dalam satu dekade terakhir. Artinya, para karyawan makin enggan melepaskan pekerjaan yang sudah digenggam meskipun keadaan batin mereka merana dan tak nyaman.
Wajar saja, jika job hugging menjadi pilihan paling aman bagi generasi, karena dipersepsi bisa memberi rasa aman yang dicari para pencari cuan di tengah kondisi ekonomi yang mengalami stagnasi, dan PHK yang tak henti menghantui. Belum lagi, rekrutmen dan kinerja perusahaan yang tak optimal, pasar kerja yang tak stabil, serta ketidakpastian politik dan ekonomi global.
Matt Bohn, seorang konsultan eksekutif Korn Ferry menegaskan, fenomena banyaknya karyawan di kalangan Gen Z dan Milenial yang memilih untuk bertahan pada pekerjaan yang dianggap dilematis, tak lain disebabkan adanya kekhawatiran sulit mengakses pekerjaan baru yang lebih prestisius. "Mereka berpegang erat pada pekerjaan seperti investor yang lebih memilih menunggu di pinggir lapangan," ujar Matt Bohn. (cnbc indonesia.com, 19-09-2025)
Ditambah lagi, sebagian besar industri lebih memilih melakukan restrukturisasi perusahaan dengan mengandalkan mesin dan teknologi, demi efisiensi biaya produksi. Akibatnya, pekerjaan yang biasanya dilakukan oleh manusia perlahan tergantikan oleh tenaga robotik, teknologi otomatisasi, dan artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan. Alhasil, daya serap tenaga kerja di dunia industri kian menyusut di tengah arus digitalisasi yang semakin padat.
Di sisi lain, situasi ekonomi global yang serba tak pasti, seperti tingginya inflasi dan ancaman resesi, semakin menciutkan nyali para pekerja untuk beralih pada pekerjaan baru, dan lebih memilih bertahan di pekerjaan lama meski dilanda dilema.
Sudah makin jelas, merebaknya tren job hugging di kalangan Gen Z dan Milenial adalah tanda nyata gagalnya kapitalisme global dalam menjamin pekerjaan yang layak bagi rakyat. Negara yang seharusnya bertanggung jawab menyediakan lapangan pekerjaan, malah abai, dan justru menyerahkan perannya diambil alih oleh swasta. Negara hanya mencukupkan diri sebagai regulator dan fasilitator, yakni menetapkan kebijakan yang berpihak kepada pemilik modal serta memuluskan swasta dan asing terlibat dalam penciptaan lapangan kerja yang menguntungkan pemilik modal.
Selama Indonesia dan dunia masih mengadopsi sistem kapitalisme global, selama itu pula ekonomi dunia akan terus terjerembab dalam masalah. Ini karena, sistem kapitalisme sejatinya adalah ideologi problematik yang mengatasi masalah dengan melahirkan masalah baru. Dalam pandangan kapitalisme, pekerja tak ubahnya sekadar bagian dari mesin produksi, yang menjadikan mereka rentan dieksploitasi dengan tuntutan kerja tinggi, tetapi gaji tak memadai.
Sistem kapitalisme juga bertanggung jawab dalam menciptakan jurang kesenjangan ekonomi yang dalam antara pekerja dan pemilik modal. Sehingga, harapan pekerja untuk dapat meningkatkan taraf hidup, bagai pungguk merindukan bulan. Kekayaan hanya terpusat pada segelintir orang. Jadilah, yang kaya semakin sejahtera, sementara yang miskin semakin sengsara.
Di dalam Islam, negara adalah pengurus rakyat, sebagaimana sabda Rasulullah saw. “Imam itu adalah pemimpin dan dia bertanggung jawab atas orang-orang yang dipimpinnya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Salah satu urusan penting yang termasuk bagian dari tugas pengurusan negara adalah menyediakan lapangan pekerjaan yang layak dan memadai bagi rakyat. Islam menjamin seluruh kebutuhan dasar rakyat dengan mewajibkan laki-laki atau suami untuk bekerja dan memberi nafkah kepada istri dan anak-anaknya secara mutlak. Adapun orang-orang yang tidak mampu bekerja, dan tidak memiliki ahli waris yang bisa menafkahinya, maka kewajiban itu diserahkan kepada negara.
Dalam negara Islam, fenomena job hugging dan pengangguran dapat dicegah melalui beberapa kebijakan. Diantaranya, pengelolaan sumber daya alam oleh negara, seperti tambang. Islam melarang pengelolaan harta milik umum diserahkan kepada individu atau swasta. Dengan mekanisme ini, negara dapat menciptakan industri strategis, seperti pengelolaan tambang, pengilangan minyak, pertanian, dan lain sebagainya yang bisa menyerap banyak tenaga kerja. Penyediaan lapangan kerja dalam industri strategis ini juga akan mendorong masyarakat melejitkan skill dan potensinya.
Negara juga dapat menerapkan syariat ihyaul mawat, yaitu menghidupkan tanah mati dengan cara menggarap tanah tersebut dengan sesuatu yang menunjukkan bahwa tanah tersebut dikelola. Negara bisa memberikan status tanah mati, atau tanah yang telah ditelantarkan pemiliknya kepada siapa saja yang dapat mengelolanya menjadi tanah yang produktif. (Syekh Taqiyuddin an-Nabhani, An–Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam, hlm. 273)
Selanjutnya, negara akan mendorong individu untuk bekerja. Negara dapat memberikan bantuan modal secara cuma-cuma berupa hibah atau pinjaman tanpa riba, sehingga rakyat dapat memulai usahanya. Yang tak kalah penting, negara juga akan memberikan fasilitas berupa pelatihan dan keterampilan, agar rakyat dapat bekerja pada berbagai jenis industri dan pekerjaan dengan skill dan kompetensi yang mumpuni.
Melalui mekanisme penerapan syariat Islam yang praktis ini, negara dapat menjamin ketersediaan lapangan pekerjaan dan kebutuhan hidup rakyat secara adil. Sehingga, fenomena job hugging dan pengangguran yang melanda kalangan Gen Z dan Milenial secara global bisa segera dihempaskan hingga ke akar-akarnya. Wallahualam bissawab.