Alt Title

PPPK Honorer Strata Sosial Pahlawan Tanpa Tanda Jasa

PPPK Honorer Strata Sosial Pahlawan Tanpa Tanda Jasa




Perlu kita sadari, bahwa adanya perbedaan status guru di negeri ini

adalah sebuah konsekuensi dari penerapan kapitalisme


_______________________


Penulis Nurul Lailiya

Kontributor Media Kuntum Cahaya 


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Peraturan Presiden Nomor 79 Tahun 2025 menyebutkan bahwa Presiden Prabowo Subianto akan menaikkan gaji ASN, TNI/Polri, hingga pejabat negara.


Dalam aturan yang diteken pada 30 Juni 2025 itu, fokus kenaikan gaji diarahkan untuk guru, dosen, tenaga kesehatan dan penyuluh seperti yang dilansir beritasatu.com pada 22 September 2025 lalu. Sebuah berita gembira yang diharapkan mampu mendongkrak semangat para penerimanya. 


Hingga saat ini kita belum sadar bahwa pada kenyataannya di tengah-tengah kinerja ASN, TNI/Polri dan pejabat negara ada pegawai lain yang sama-sama berjuang untuk generasi juga untuk bangsa dan negara ini. Mereka adalah para pegawai honorer. Bila tidak ingin disebut ketidakadilan, tetapi frasa apakah yang bisa mewakili perbedaan nasib antara ASN, TNI/Polri, dan pejabat lain dengan para honorer ini?


Mereka sama-sama berjuang. Bila gaji ASN, TNI/Polri, dan pejabat negara bisa dinaikkan kenapa gaji para honorer tidak pernah dibahas dalam agenda nasional? Memang benar, hidup di negeri ini seperti warga negara yang tidak punya negara. Untuk mengubah nasib tragisnya hampir semua honorer mengikuti seleksi pengangkatan ASN yang digelar negara.


Bahkan ada yang berkali-kali berjuang meski berkali-kali pula harus gigit jari karena gagal. Pelaksanaan CPNS dinilai mengandung motif ekonomi. Seperti yang terjadi terakhir kemarin setiap peserta diwajibkan membubuhkan materai senilai Rp10.000,-. Sudah bisa ditebak siapa yang diuntungkan dengan peraturan ini?


Tidak hanya itu, sempat viral seorang guru yang meraih skor ujian CPNS tertinggi justru gagal hanya karena tinggi badannya kurang. Baru kini berlaku penentuan syarat tinggi badan minimal untuk menjadi CPNS. Banyak ditemui pula guru honorer yang telah mengabdi di sebuah sekolah selama bertahun-tahun harus pindah karena digantikan oleh ASN yang baru dilantik.


Dulu honorer melamar di sekolah itu karena jaraknya dekat dengan tempat tinggal. Kini saat posisinya diganti oleh ASN baru mau tidak mau dia harus pindah ke sekolah lain yang lebih jauh. Artinya, dia harus mengeluarkan uang lebih untuk bahan bakar motornya sedangkan tidak ada yang peduli dengan jumlah gaji yang dia terima setiap bulan. Sungguh, sebuah pengorbanan yang tidak pernah dipikirkan oleh pemerintah. 


Bila kita mau jujur mengamati sesungguhnya perjuangan tiap guru itu sama. Mereka dulu adalah seorang mahasiswa yang belajar dengan semangat dan pengorbanan untuk meningkatkan kompetensinya agar layak mengajarkan ilmu yang bermanfaat bagi generasi bangsa ini.


Perjalanan selama menjadi mahasiswa tidak gampang. Mereka dilatih untuk berpikir cerdas, analitis, dan kritis. Selain itu, biaya yang mereka keluarkan tidak sedikit. Hal ini membuat beberapa di antara mereka harus bekerja agar bisa membiayai kuliah. 


Namun, saat menjadi honorer ternyata banyak hal yang jika dianalisa terlalu mengingkari akal sehat. Di antaranya, kewajiban administrasi sekolah yang ternyata lebih mendominasi hari-hari mereka sebagai guru daripada tugas inti mereka yaitu mendidik, memberi pemahaman yang benar, memberi teladan dan membimbing anak didik mereka agar menjadi manusia beradab. Tak jarang ada di antara mereka yang berseloroh, "Seingatku aku dulu kuliah itu diajari jadi guru bukan jadi TU."


Hal ini tentu saja berakibat pada anak didik. Alih-alih mendapatkan bimbingan untuk memahami sebuah materi. Para guru yang dikejar deadline kewajiban administrasi itu sering meninggalkan kelas dan sebagai jurus pamungkas mereka menugaskan para murid agar mengerjakan soal latihan di LKS dengan membaca rangkuman materi terlebih dahulu.


Siapa yang harus disalahkan ketika banyak beredar di media sosial siswa SMP yang tidak bisa membaca dan menghitung? Sungguh sebuah kemunduran luar biasa. Hal itu bisa terjadi di negara yang sudah merdeka hampir satu abad ini, di tengah majunya kecanggihan teknologi pula. 


Sangat dimungkinkan yang menjadi "tersangka" atas kejadian ini adalah para guru yang tidak profesional atau orang tua yang tidak mengarahkan putra-putrinya agar mau belajar di rumah dan tidak main saja. Pernahkah kita berpikir bahwa kejadian itu adalah akibat dari lalainya pemerintah memberi kesejahteraan yang adil bagi semua pekerja serta buramnya tugas inti guru akhir-akhir ini.


Sebagai pendidik atau sebagai pegawai administrasi (TU) sudah saatnya kita cari sistem pembanding yang dapat menunjukkan kerapuhan sistem kehidupan kita kini. Perlu kita sadari, bahwa adanya perbedaan status guru di negeri ini adalah sebuah konsekuensi dari penerapan kapitalisme. Meski memiliki tugas dan tanggung jawab yang sama namun negara sengaja memberi kesejahteraan berbeda berdasarkan masa jabatan & jenjang karier.


Bahkan, pemerintah seolah sengaja merancang administrasi persyaratan kenaikan jenjang karier yang rumit hingga membuat para peserta harus berkorban lebih. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah memandang para guru hanya sebagai faktor produksi. Sebuah pandangan yang sangat rendah bukankah guru adalah warga negara terdidik?


Akan tetapi, negara kapitalis mana yang menghargai manusia terdidik? Mereka hanya fokus memeras keringat rakyatnya agar negara mendapat pemasukan sementara sumber daya alam yang ada sengaja diberikan kepada asing agar negara tidak mampu mengelola dengan baik.


Kemuliaan manusia berilmu hanya dipandang oleh Islam. Dalam aturan Islam, gaji guru ditentukan berdasarkan nilai jasa yang diberikan bukan karena status kepegawaian. Bahkan semua guru masuk kategori pegawai negara. Dengan begitu, tidak ada lagi guru yang bertahan hidup dengan gaji terbatas karena masih berstatus sebagai PPPK dan baru mengabdi beberapa tahun, sedangkan rekan sesamanya bisa hidup berkecukupan karena sudah lama menjabat sebagai ASN. 


Negara yang diatur dalam Islam hadir sebagai negara yang makmur dan kaya sehingga dengan mudah memberikan kesejahteraan para guru dan semua penduduknya. Hal ini disebabkan diberlakukannya mekanisme keuangan yang dikelola oleh Baitulmal. Negara berkuasa penuh pada pemanfaatan sumber daya alam yang ada dan mampu mengolahnya secara profesional hingga hasil dari pengolahan sumber daya alam itu menjadi pemasukan negara.


Dari pemasukan itulah negara mampu membiayai pendidikan khususnya gaji guru. Kesejahteraan guru tidak berhenti di situ karena negara juga memberikan layanan pendidikan, kesehatan dan keamanan secara gratis dengan kualitas terbaik. Saatnya kita berjuang mengembalikan kemuliaan para guru dan semua kaum muslim dengan menyuarakan kebenaran ajaran Islam agar rahmat Allah Swt. senantiasa mengisi hari-hari kita. Wallahualam bissawab. [Dara/MKC]