Diskriminasi Gaji Guru PPPK Reformasi Pendidikan dengan Islam
OpiniKrisis finansial para guru PPPK adalah konsekuensi langsung
dari penerapan ideologi sekularisme-kapitalisme dalam pengelolaan negara
__________________________
Penulis Rita Handayani
Kontributor Media Kuntum Cahaya
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Jeritan hati para guru Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) yang merasa dizalimi negara telah menjadi isu nasional yang memilukan. Mereka adalah garda terdepan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun kenyataannya, banyak yang harus hidup dengan gaji minim, bahkan di bawah Rp1 juta per bulan.
Kondisi ini diperparah dengan diskriminasi yang mereka terima: tidak adanya jenjang karier yang jelas meski berpendidikan tinggi (S2/S3) dan ketiadaan uang pensiun padahal mereka mengemban tugas negara yang sama beratnya dengan Pegawai Negeri Sipil (PNS) (liputan6.com, 26-9-2025)
Kesenjangan upah ini berujung pada penderitaan sosial yang nyata. Banyak guru PPPK yang terpaksa terjerat utang bank atau pinjaman online (pinjol) demi menyambung hidup. Ironisnya, di tengah tuntutan reformasi pendidikan untuk meningkatkan kualitas generasi, negara justru membiarkan para pendidiknya hidup dalam kemiskinan struktural. Ini menunjukkan bahwa persoalan gaji guru bukanlah sekadar masalah teknis anggaran, melainkan penyakit kronis yang berakar pada sistem tata kelola negara (Tribunjabar.id, 27-9-2025)
Diskriminasi Gaji Dampak Logis dari Kapitalisme Sekuler
Jika kita menyingkap tirai masalah ini, kita akan menemukan bahwa krisis finansial para guru PPPK adalah konsekuensi langsung dari penerapan ideologi sekularisme-kapitalisme dalam pengelolaan negara. Inilah akar masalah ideologis dan sistemik:
Pertama, guru dipandang sekadar faktor produksi. Dalam kerangka berpikir kapitalisme, guru dilihat sebagai tenaga kerja yang harus ditekan biayanya untuk mencapai efisiensi anggaran. Negara tidak lagi memandang guru sebagai pendidik mulia generasi (murobbi), tetapi sekadar "faktor produksi" yang statusnya dapat diklasifikasi dan didiskriminasi (PPPK, honorer, paruh waktu) demi penghematan. Diskriminasi ini adalah bentuk kezaliman negara terhadap para pengemban amanah pendidikan.
Kedua, defisit anggaran akibat kebijakan kapitalis. Negara dalam sistem ini selalu kekurangan anggaran yang cukup untuk menggaji para pegawainya secara layak. Mengapa? Karena sumber kekayaan alam (SDA) melimpah ruah, seperti minyak, gas, dan mineral, justru dikelola dengan prinsip kapitalisme. SDA diserahkan kepada swasta atau asing atas nama investasi, sementara hasilnya hanya dinikmati oleh segelintir oligarki.
Akibatnya, pemasukan negara hanya bergantung pada pajak dan utang yang justru memberatkan rakyat dan tidak memadai untuk membiayai kebutuhan dasar publik, termasuk gaji guru. Sistem ini menjadikan kesejahteraan guru sebagai "beban" negara, padahal dalam pandangan Islam, SDA adalah hak milik umum yang wajib dikelola untuk kemaslahatan seluruh rakyat.
Mekanisme Islam Kafah Kesejahteraan Guru Adalah Prioritas Negara
Islam kafah menawarkan solusi fundamental dengan mengembalikan fungsi negara sebagai raa’in (penggembala) yang wajib menjamin kesejahteraan rakyat dan para pekerjanya. Dalam sistem Islam, masalah gaji guru dapat diselesaikan secara permanen melalui mekanisme:
Pertama, kembali ke Baitulmal dan tiga pos pendapatan. Mekanisme keuangan negara dalam Islam diatur oleh Baitulmal (kas negara Islam). Sumber pendapatan Baitulmal tidak hanya bergantung pada pajak, tetapi memiliki tiga pos utama, salah satunya adalah pos kepemilikan umum (milkiyah 'ammah) yang berasal dari SDA (minyak, gas, tambang, hutan). Pos inilah yang menjadi sumber pendapatan terbesar yang dikelola negara secara langsung.
Kedua, gaji guru dari harta milik umum. Pembiayaan pendidikan, termasuk gaji guru dan segala tunjangan yang layak, wajib diambil dari pos kepemilikan umum Baitulmal. Ketika SDA dikelola sepenuhnya oleh negara, dana yang terkumpul akan berlimpah sehingga negara tidak perlu bingung mencari anggaran untuk menggaji guru secara adil dan layak, serta menyediakan pendidikan gratis berkualitas bagi seluruh rakyat.
Ketiga, menghapus diskriminasi status. Dalam Islam kafah, gaji ditentukan berdasarkan nilai jasa yang diberikan (ujrah), bukan berdasarkan status kepegawaian artifisial seperti ASN, PPPK, atau honorer. Semua guru yang bekerja untuk negara masuk kategori pegawai negara dan harus mendapatkan hak yang sama, termasuk tunjangan, jaminan kesehatan, dan pensiun yang layak. Negara wajib menempatkan guru sebagai profesi mulia yang dijamin kesejahteraannya.
Jejak Sejarah: Ri'ayah untuk Guru di Masa Khil4fah
Pemberian gaji yang layak dan jaminan kesejahteraan penuh bagi para pendidik adalah bagian dari implementasi ri’ayah al-syu’un (pengurusan urusan umat) dalam sejarah Daulah Islam, guru sebagai pegawai utama negara. Di masa Khil4fah Abbasiyah dan Utsmaniyah, para guru, ulama, dan ahli ilmu mendapat gaji tinggi yang bersumber dari Baitulmal. Mereka ditempatkan dalam posisi terhormat dan dijamin penuh kebutuhannya sehingga mereka dapat fokus mengajar tanpa dibebani urusan mencari nafkah.
Fasilitas pendidikan gratis dan berkualitas: Daulah Islam menyediakan pendidikan, mulai dari dasar hingga perguruan tinggi (seperti Universitas Al-Azhar), secara gratis dengan kualitas terbaik. Ini menunjukkan bahwa negara memandang pendidikan sebagai investasi terbesar untuk generasi, dan bukan sebagai komoditas yang harus dibayar mahal oleh rakyat atau pendidiknya.
Jelas bahwa kezaliman terhadap guru PPPK hari ini adalah kegagalan sistemik yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan menaikkan upah sedikit demi sedikit. Solusi permanen dan adil terletak pada perubahan total sistem ekonomi dan tata kelola negara adalah kembali kepada Islam kafah. Di mana pendidikan, kesehatan, dan keamanan menjadi hak gratis rakyat yang dijamin penuh oleh negara melalui pengelolaan Baitulmal yang syar'i. Wallahualam bissawab. [Dara/MKC]