Dua Desa Dilelang Kezaliman Nyata di Depan Mata
OpiniPeristiwa pelelangan dua desa ini sungguh membuka mata dan pikiran kita
Ternyata hidup di negeri yang menganut asas demokrasi kapitalisme, keadilan tidak pernah benar-benar bisa dirasakan
______________________
Penulis Tinah Asri
Kontributor Media Kuntum Cahaya
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Kabar dilelangnya dua desa, yakni desa Sukaharja dan Sukamulya membuat publik bertanya-tanya. Kedua desa tersebut merupakan bagian wilayah dari Kecamatan Sukamakmur, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Desa dengan pemandangan yang indah dan jalur strategi menuju Puncak Bogor tersebut dijadikan agunan pinjaman ke pihak bank sejak tahun 80an, dan saat ini dalam proses lelang.
Dikutip dari inews.id (22-09-2025), informasi tentang desa yang dilelang pertama kali disampaikan oleh Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal (Mendes PDTT) Yandri Susanto dalam rapat bersama Komisi V DPR RI di Kawasan Parlemen Jakarta, pada tanggal 16 September yang lalu. Yandri juga mengungkapkan bahwa saat ini ada sekitar 3000 desa dengan kasus yang sama.
Menurut keterangan dari Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Jawa Barat, Ade Afriandi yang mengatakan bahwa pelelangan ini bermula dari Lee Darmawan alias Lee Chin Kiat selaku Direktur PT Bank Perkembangan Asia yang memberikan pinjaman sebesar Rp850 juta kepada seorang pengusaha bernama Haji Madrawi pada tahun 1983 dengan jaminan sertifikat tanah dan ternyata yang dijaminkan adalah tanah desa.
Lantaran Lee Darmawan tersangkut kasus korupsi, tanah jaminan tersebut kemudian disita oleh negara. Awalnya, tanah yang dijadikan jaminan seluas 406 hektare, tetapi saat dilakukan penyitaan oleh negara bertambah menjadi 455 hektare. Kurang lebih 14.000 warga yang sudah puluhan tahun menetap di sana kini resah dan bingung harus pergi ke mana.
Namun, dalam peristiwa ini tidak hanya mereka, warga kedua desa yang resah, tetapi kita ikut dibuat gelisah, was-was, jangan-jangan selanjutnya giliran desa kita yang disita. Mengingat pernyataan bapak menteri desa terkait banyaknya desa dengan status yang sama.
Masalahnya Ada di Sistem Demokrasi Kapitalisme
Peristiwa pelelangan dua desa ini sungguh membuka mata dan pikiran kita. Ternyata, hidup di negeri yang menganut asas demokrasi kapitalisme, keadilan tidak pernah benar-benar bisa dirasakan. Slogan "dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat" atau "kekuasaan berada di tangan rakyat" hanyalah slogan kosong semata.
Keadilan hanya bisa dirasakan oleh mereka yang punya uang, penguasa dan pengusaha. Aturan yang dibuat tak pernah berpihak kepada rakyat meski terkadang mengatasnamakan rakyat. Penguasa condong berpihak kepada pemilik modal, bahkan mereka seringkali menggunakan aji mumpung mencari untung.
Bagaimana bisa seorang pengusaha mendapatkan sertifikat tanah desa untuk kemudian dijadikan jaminan pinjaman ke bank kalau tidak ada kerja sama dengan orang dalam? Kemungkinan ada kongkalikong antara pengusaha dengan oknum aparatur desa. Sementara pihaknya tidak pernah melakukan cek dan ricek.
Apakah sertifikat tanah yang diajukan sebagai agunan pinjaman milik pribadi atau bukan? Berpotensi merugikan orang lain atau tidak padahal jelas penyitaan tanah rakyat oleh negara merupakan bentuk kezaliman. Bentuk pengkhianatan terhadap hak-hak rakyat yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara untuk melindunginya.
Sayang, perampasan tanah milik rakyat oleh negara maupun perusahaan swasta seringkali terjadi di negeri ini. Masih hangat dalam ingatan, beberapa bulan yang lalu tanah adat Rempang di Pulau Batam yang disita oleh negara dengan alasan akan dibangun pabrik kaca. Kemudian pemagaran laut di Tangerang dan Bekasi oleh perusahaan swasta Agung Sedayu Group yang hingga saat ini masih mendapatkan penolakan dari warga.
Meski begitu, negara seolah buta dan tuli membiarkan rakyat berjuang sendiri menghadapi oligarki. Hal ini cukup menjadi bukti bahwa negara yang mengadopsi kapitalisme tidak pernah tulus mengurusi urusan rakyat. Mereka peduli hanya saat membutuhkan suara rakyat untuk meraih kekuasaan atau mempertahankan jabatan.
Keadilan Terwujud Hanya dalam Islam
Lain halnya jika negara menerapkan sistem Islam secara kafah. Islam adalah sistem yang sempurna dan menyeluruh yang diturunkan oleh Allah Swt. untuk mengatur seluruh aspek kehidupan manusia baik itu ibadah, muamalah, akhlak, politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, kesehatan, keamanan, dan lain-lain.
Sistem ekonomi Islam tidak membatasi seseorang untuk memiliki harta kekayaan dari sisi jumlahnya. Akan tetapi, Islam mengatur terkait mekanisme bagaimana harta kekayaan itu didapatkan, halal atau haram. Mendapatkan harta kekayaan dengan merampas hak tanah orang lain baik dilakukan oleh individu atau negara jelas haram hukumnya.
Allah Swt. melarang manusia untuk mendapatkan harta dengan cara batil. Seperti yang tertulis di dalam Al-Qur'an surah Al-Baqarah ayat 188 yang berbunyi: "Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah kamu) menyuap dengan harta itu kepada hakim dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui."
Rasulullah saw. dengan tegas mengingatkan kaum muslim untuk tidak merampas hak orang lain meski hanya sejengkal tanah. Seperti yang diterangkan di dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim, Rasullullah saw. bersabda: "Barang siapa yang mengambil hak orang lain walau hanya sejengkal tanah maka akan dikalungkan ke lehernya (pada hari kiamat) seberat tujuh lapis bumi."
Merujuk pada dua dalil di atas jelaslah bahwa merampas tanah orang lain termasuk ke dalam perbuatan dosa. Apalagi yang melakukan adalah negara yang seharusnya berkewajiban untuk melindunginya. Hal seperti ini tidak akan terjadi dalam negara yang menerapkan sistem pemerintahan Islam, yakni Daulah Islamiah.
Fungsi dari negara menurut pandangan Islam adalah mengurusi urusan rakyat sekaligus melindungi dengan penerapan undang-undang. Negara yang menerapkan sistem Islam akan memberikan sanksi yang tegas kepada pelaku perampasan. Begitu juga terhadap orang yang menjadikan tanah orang lain sebagai agunan pinjaman ke bank, apalagi yang namanya bank swasta pasti tidak bisa lepas dari praktik riba.
Memang ada dalam kondisi tertentu yang membolehkan negara mengambil tanah-tanah yang ada, seperti tanah mati, yakni tanah yang dibiarkan tidak dikelola oleh pemiliknya selama dua tahun berturut-turut akan diambil oleh negara. Kemudian diberikan kepada orang lain untuk dikelola sehingga memungkinkan tanah tersebut produktif kembali. Tanah dalam negara dengan sistem Islam tidak akan dibiarkan terbengkalai begitu saja, tetapi akan dikelola sehingga bisa menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi manusia.
Sayang, harapan itu hanya bisa terwujud jika negara ini menerapkan sistem Islam secara kafah dalam seluruh aspek kehidupan, yakni Daulah Islamiah. Terbukti hanya Daulah yang mampu menyejahterakan rakyat selama kurang lebih 1.300 abad. Untuk itu, kita terus berjuang demi tegaknya syariat Islam dalam bingkai negara Daulah Islamiah. Wallahualam bissawab. [Dara/MKC]