Mengawal Kesadaran Politik Gen Z Menuju Perubahan Hakiki
OpiniKesadaran Gen Z yang mulai tumbuh ini
harus dipahami sebagai bentuk ekspresi politik
______________________________
Penulis Dewi Jafar Sidik
Tim Media Kuntum Cahaya
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI- Gelombang demonstrasi yang terjadi di berbagai daerah pada 25–31 Agustus 2025 lalu menjadi catatan penting dalam perjalanan demokrasi di negeri ini. Bukan hanya karena banyaknya jumlah peserta aksi, tetapi karena kemunculan generasi Z (Gen Z) dalam aksi tersebut. Mereka turun ke jalan menuntut perubahan dan mengkritik anggaran DPR yang dinilai terlalu tinggi.
Demonstrasi terhadap DPR tersebut berakhir dengan kericuhan dan kerusuhan hingga mendapat tindakan hukum dari aparat. Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komjen Syahardiantono dalam konferensi persnya mengumumkan ada 959 tersangka, dengan rincian 664 dewasa dan 295 anak dalam aksi demonstrasi tersebut. (Tempo.co, 24-09-2025)
Komnas hak asasi manusia (HAM) mengingatkan kepolisian akan potensi pelanggaran HAM dalam penetapan 295 tersangka anak dalam kerusuhan pada Agustus 2025. Ketua Komnas HAM Anis Hidayah mengatakan polisi harus mengkaji ulang apakah penetapan tersangka ini sudah sesuai dengan hukum acara pidana dalam sistem peradilan pidana anak (SPPA). (Kompas.com, 26-09-2025)
Kasus penetapan tersangka pada anak dalam peristiwa demonstrasi memperlihatkan fenomena baru di tengah masyarakat. Di mana generasi Z mulai menampakkan keberanian, sadar politik, dan menuntut perubahan atas ketidakadilan yang mereka rasakan.
Dampak Digitalisasi terhadap Kesadaran Gen Z
Generasi Z tumbuh di atas derasnya arus informasi digital sehingga mereka lebih cepat menyadari adanya kesenjangan ekonomi, ketidakadilan, dan ketidakberesan tata kelola negara. Mereka tidak diam melihat kondisi tersebut, bahkan berani turun ke jalan untuk menyuarakan keresahan yang dirasakan masyarakat.
Kesadaran Gen Z yang mulai tumbuh ini harus dipahami sebagai bentuk ekspresi politik, dan tidak boleh dikriminalisasi apalagi dilabeli anarkisme. Aksi mereka jangan diberi stigma negatif supaya tidak kehilangan legitimasi di kalangan publik sebab dengan stigma tersebut masyarakat akan menganggap demo anak muda pasti berujung rusuh dan anarkis.
Jika narasi anarkisme disematkan pada aksi Gen Z, maka akan menutupi dan mengalihkan perhatian masyarakat terkait fakta bahwa ada tuntutan serius dari rakyat, khususnya generasi muda atas rusaknya tatanan politik ekonomi yang mereka rasakan dalam kehidupannya.
Begitu pun dalam tindakan represif yang dilakukan penegak hukum saat demontrasi. Tindakan tersebut dinilai bukanlah langkah yang mendidik, melainkan bentuk pengabaian terhadap hak anak dalam berekspresi, sekaligus ancaman untuk masa depan mereka.
Adapun penetapan tersangka pada anak bisa dibaca sebagai bentuk pembungkaman agar generasi muda tidak kritis terhadap penguasa. Negara lebih memilih menakut-nakuti mereka dengan jerat hukum daripada mengarahkan energi kritisnya untuk membangun kesadaran politik yang sehat. Hal ini diduga adanya ketakutan penguasa terhadap generasi yang sadar dan lantang berani melawan ketidakadilan.
Kebebasan dalam Demokrasi
Generasi Z sejatinya menyimpan potensi besar dan menjadi agen perubahan, tetapi potensi itu jangan dipatahkan sedini mungkin. Supaya potensi yang mereka miliki bisa bertransformasi menjadi kekuatan politik yang sehat untuk membangun bangsa dan negara.
Sayangnya, dalam sistem demokrasi kapitalisme yang dalam teorinya antikritik, tetapi pada praktiknya hanya akan memberikan ruang pada suara yang sejalan dengan kepentingan elite, sementara suara yang dianggap mengganggu kepentingan mereka akan dibatasi dan dijegal bahkan dikriminalisasi.
Demokrasi kapitalisme sering dipromosikan sebagai sistem yang menjunjung tinggi kebebasan berpendapat, tetapi pada kenyataannya kebebasan itu bersyarat. Jika tuntutan Gen Z dianggap aman dan sebatas mengikuti arus wacana penguasa maka akan dibuka ruang yang lebar dan diapresiasi. Namun, jika suara itu mulai mempertanyakan akan ketidakadilan, mengkritik sistem ekonomi kapitalisme, dan menuntut distribusi kekayaan yang adil seketika ruang itu menyempit.
Sistem demokrasi kapitalisme yang berasaskan akidah sekularisme menjadikan akal manusia sebagai tolok ukur kebenaran, sementara akal manusia lemah dan terbatas. Bagaimana mungkin sistem yang tolok ukurnya akal manusia yang lemah dan terbatas dapat menciptakan keadilan dan kesejahteraan yang sesungguhnya?
Generasi Muda Agen Perubahan
Generasi muda adalah mercusuar peradaban, penggerak, dan agen perubahan. Generasi muda identik dengan sikap berani, idealisme tinggi, dan fisik kuat. Potensi inilah yang seharusnya diarahkan pada jalan yang benar, di antaranya:
Pertama, tumbuhnya kesadaran politik pada generasi muda semestinya tidak dibelokkan dengan kriminalisasi. Kesadaran tersebut harus diarahkan sesuai dengan paradigma Islam sehingga terwujud kesadaran politik yang benar dan sehat. Kesadaran politik pemuda harus ditujukan untuk perubahan yang hakiki, yaitu mengganti kapitalisme yang batil menjadi sistem yang haq yakni Islam.
Kedua, Islam memerintahkan wajib adanya kelompok yang melakukan amar makruf nahi munkar. Allah Swt. berfirman dalam surah Ali-Imran ayat 104 yang artinya, “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang munkar, mereka adalah orang-orang yang beruntung.”
Salah satu cara dari aktivitas amar makruf nahi munkar ialah mengoreksi penguasa jika ada pelanggaran terhadap hukum syarak. Setiap muslim wajib melakukan aktivitas menyeru kepada kebaikan dan mencegah terjadinya keburukan. Islam menganjurkan adanya kritik terhadap penguasa agar ia tetap berada di jalur yang benar. Dengan demikian, kritik tidak boleh dibungkam apalagi diberi stigma negatif.
Peran generasi muda hari ini bukan hanya sekadar mengeluarkan pendapat dan mengekspresikan kekecewaan dengan demonstrasi penuh emosi, dan anarkis. Namun, potensi dan energi yang mereka miliki harus mengarah dan sejalan dengan tujuan Islam dalam melakukan perubahan.
Ketiga, generasi muda harus dibina dengan pendidikan berbasis akidah Islam oleh negara. Identitas dan tujuan hidup generasi muda sebagai seorang muslim harus tetap kukuh. Generasi muda harus diarahkan agar menjadi generasi yang memiliki kekuatan iman dan menjadi sosok yang tangguh dan pemberani. Mereka harus punya keyakinan kuat dan tanpa ragu menyampaikan Islam di tengah masyarakat.
Kesadaran politik yang tinggi dan terarah akan terwujud melalui sistem pendidikan berbasis akidah Islam. Pembinaan dan pengkaderan generasi muda harus dimulai dengan membangun fondasi akidah Islam sebagai pemahaman sahih. Dalam kitab Nizham al-Islam, Syekh Taqiyuddin an-Nabhani mengatakan bahwa bangkitnya manusia tergantung pada pemikirannya tentang hidup, alam semesta, dan manusia, serta hubungan ketiganya dengan sesuatu yang ada sebelum kehidupan dunia dan yang ada sesudah kehidupan dunia. Agar manusia mampu bangkit harus ada perubahan mendasar dan menyeluruh terhadap pemikirannya, untuk selanjutnya diganti dengan pemikiran lain.
Pemikiran inilah yang akan membentuk dan memperkuat persepsi (mafahim) terhadap segala sesuatu. Di samping itu, manusia selalu mengatur tingkah lakunya dalam kehidupan ini sesuai dengan persepsi-nya terhadap kehidupan. Satu-satunya jalan untuk mengubah persepsi seseorang adalah dengan mewujudkan suatu pemikiran tentang kehidupan dunia, sehingga dapat terwujud persepsi yang benar tentang kehidupan tersebut.
Dengan demikian, membangun kesadaran politik generasi muda harus dimulai dari mengubah pemikirannya tentang kehidupan ini, dengan menyadari jati dirinya sebagai seorang hamba yang harus hidup sesuai dengan keinginan dari yang menciptakannya. Dari pemikiran ini akan lahir pemahaman yang utuh tentang Islam sehingga dari pemahaman inilah yang akan menggerakkan generasi muda untuk mengoptimalkan potensi dan energinya untuk kebangkitan serta perubahan total dengan penerapan sistem Islam kafah dalam seluruh sendi kehidupan. Wallahualam bissawab.