Aspirasi Dikriminalisasi: Ironi Kebebasan di Negeri Demokrasi
OpiniBanyaknya massa yang dikriminalisasi saat mengadakan unjuk rasa
membuktikan bahwa dalam sistem demokrasi masyarakat tidak diberikan kebebasan untuk menyampaikan aspirasinya
________________________
Penulis Aryndiah
Kontributor Media Kuntum Cahaya
KUNTUMCAHAYA.com, OPlNl- Akhir-akhir ini kebijakan yang diterapkan pemerintah Indonesia terus mendapat perhatian publik. Kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat membuat rakyat ramai-ramai memberikan kritik, seperti kebijakan kenaikan tunjangan anggota parlemen dengan nominal fantastis. Di tengah kondisi ekonomi yang kian lesu, kenaikan tunjangan tersebut adalah keputusan yang nirempati karena banyak masyarakat yang kesulitan memenuhi kebutuhan pokoknya.
Sangat disayangkan posisi mereka sebagai “wakil rakyat” tidak lantas membuat mereka berpihak pada rakyat. Parahnya kritik rakyat dianggap sebagai ejekan belaka, bahkan ada yang menyebut rakyat yang mengkritik dengan sebutan yang tidak pantas diucapkan oleh seorang wakil rakyat. Wajar jika respons tersebut memicu kemarahan publik. Bukannya mengkaji ulang kebijakannya, justru mereka mengolok-olok masyarakat. Hal ini membuat masyarakat harus turun ke jalan untuk menyampaikan aspirasinya.
Awalnya, unjuk rasa dilakukan oleh buruh dan mahasiswa di depan Gedung MPR/DPR RI di Senayan dan berlangsung tertib serta kondusif. Namun, menjelang sore terjadi kericuhan yang berujung pada tewasnya pengemudi ojek online akibat tertabrak dan terlindas oleh rantis aparat. Kematiannya memicu amarah publik.
Publik pun mempertanyakan dan mengkritisi sikap aparat yang juga tidak berpihak pada rakyat, bukankah mereka yang seharusnya melindungi dan mengayomi rakyat? Lagi-lagi kemarahan publik kian bertambah dan menyebabkan banyak kalangan masyarakat, seperti emak-emak dan kaum pelajar atau Gen Z ikut berpartisipasi melakukan demonstrasi di berbagai wilayah di Indonesia.
Sayangnya, sejak 25-31 Agustus 2025 muncul “kerusuhan” di tengah aksi demonstrasi tersebut yang menyebabkan Polri menetapkan 959 tersangka kerusuhan dari berbagai wilayah di Indonesia atas tindakan penghasutan, provokasi dengan menyebarkan dokumentasi kerusuhan melalui media sosial, pembakaran, serta penjarahan. Komjen Syahardiantono selaku Kepala Badan Reserse Kriminal Polri, mengungkapkan bahwa 959 tersangka, terdiri dari 664 orang dewasa dan 295 anak-anak. (tempo.com, 24-09-2025)
Penetapan 259 tersangka berusia anak dalam peristiwa kerusuhan pada akhir Agustus 2025 mendapat sorotan dari Komisioner KPAI Adi Leksono. Ia mengungkapkan bahwa penetapan status tersangka tersebut tidak sesuai UU Peradilan Anak karena tidak memenuhi standar perlakuan terhadap anak sebab ada anak yang diperlakukan tidak manusiawi. Ada yang diancam hingga dikeluarkan dari sekolah, bahkan tidak ada perlindungan dari Dinas Pendidikan untuk mencegah mereka dikeluarkan dari sekolah. Maka dari itu, ia meminta penetapan tersangka dilakukan secara transparan,
Berdasarkan hal tersebut, Ketua Komnas HAM Anis Hidayah meminta polisi untuk mengkaji kembali penetapan tersangka tersebut. Apakah sudah sesuai dengan Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) atau belum karena jika tidak sesuai, maka polisi berpotensi melakukan pelanggaran HAM. (kompas.com, 26-09-2025)
Terlibatnya Gen Z dalam demonstrasi pada akhir Agustus 2025 lalu sejatinya adalah bentuk nyata bahwa generasi muda sudah mulai sadar politik. Mereka menyadari bahwa kebijakan yang diterapkan saat ini hanya menyulitkan masyarakat, orang tua mereka, bahkan dirinya sendiri. Kesulitan inilah yang membuat mereka bergerak untuk menuntut perubahan atas ketidakadilan yang terjadi.
Namun, kesadaran politik itu justru dikriminalisasi oleh para pemangku kebijakan dengan label anarkisme padahal belum terbukti secara pasti apakah benar mereka terlibat dalam kerusuhan tersebut atau tidak. Apalagi saat demonstrasi berlangsung, selalu ada saja “oknum” yang sengaja membuat kerusuhan dan seolah memberikan “lampu hijau” bagi para aparat untuk menggunakan gas air mata, kendaraan militernya, bahkan senjata api ke arah demonstran dengan alasan demonstran bertindak anarkis.
Parahnya di saat kerusuhan terjadi, penguasa justru memutus jaringan internet dan memblokir beberapa fitur media sosial seperti Instagram, TikTok, dan X di wilayah kerusuhan untuk membatasi pemberian informasi dari demonstran ke masyarakat luas padahal media sosial adalah salah satu alat yang banyak digunakan oleh generasi muda saat ini untuk menyebarkan informasi kepada masyarakat. Bahkan jika mereka tidak berpartispasi langsung di jalan, mereka bisa terus memberikan update terkini tentang kondisi demonstrasi pada saat itu, sekaligus untuk memberikan kesadaran politik melalui media sosial.
Adanya upaya kriminalisasi dan pembatasan akses penggunaan media sosial oleh penguasa adalah bukti bahwa mereka berupaya untuk membungkam suara rakyat. Mereka tidak suka jika rakyat kritis terhadap kebijakan-kebijakan bodoh mereka karena hal itu akan menghalangi kepentingan mereka sekaligus dapat merugikan dirinya sendiri.
Sungguh ironi, bukankah demokrasi seharusnya menjamin dan memberikan ruang aman bagi masyarakat untuk menyampaikan aspirasi dan kritiknya kepada penguasa? Bak jauh panggang dari api. Faktanya sistem demokrasi kapitalisme tidak akan pernah memberikan ruang pada mereka yang kritis terhadap kebijakan penguasa, sebaliknya sistem ini hanya memberi ruang bagi segelintir orang yang mempunyai kepentingan saja dan parahnya sistem ini dapat membuat penguasa bersikap semena-mena kepada rakyat karena mereka takut jika kekuasaannya terancam hilang.
Terlibatnya generasi muda dalam demonstrasi adalah suatu hal yang harus diapresiasi karena itu adalah bentuk rasa cinta dan kepeduliannya terhadap negeri ini. Namun, kesadaran mereka harus diarahkan pada perubahan hakiki, yaitu penerapan Islam secara kafah karena sekalipun mereka menyuarakan aspirasinya, nyatanya hal itu belum mampu mengubah kebijakan yang ada saat ini bahkan kebijakan yang ada masih saja menyulitkan kehidupan rakyat.
Islam mengharuskan setiap orang mempunyai kesadaran politik karena politik memengaruhi seluruh aspek kehidupan, mulai dari harga bahan pokok, pendidikan, kesehatan, pajak hingga kebebasan berpendapat. Kesadaran politik akan menumbuhkan cara berpikir kritis, kemampuan menganalis, dan rasa tanggung jawab terhadap kondisi sosial. Dengan demikian orang yang memiliki kesadaran politik tidak akan memikirkan dirinya sendiri, tetapi juga kesejahteraan bersama.
Sikap seperti ini perlu ditumbuhkan pada generasi muda karena mereka adalah agen perubahan yang mana kesadaran mereka akan membentuk arah masa depan negara. Jika generasi muda bersikap apatis terhadap politik, maka hal itu akan dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak kompeten untuk berkuasa di negeri ini dengan kebijakan-kebijakan yang merugikan masyarakat.
Oleh karena itu, guna mendukung kesadaran politik pada generasi, negara wajib menerapkan sistem pendidikan berdasarkan akidah Islam sehingga kesadaran politik mereka akan diarahkan untuk memperjuangkan rida Allah Swt. semata bukan sebatas luapan emosi saja. Di samping itu, Islam juga mewajibkan setiap muslim untuk amar makruf nahi mungkar, termasuk mengoreksi penguasa saat kebijakannya menzalimi rakyat dan penguasa tidak boleh membungkam suara kritis mereka.
Dengan demikian, hanya Islam saja yang mampu menampung aspirasi rakyat karena Islam memberikan ruang pada generasi untuk selalu kritis pada setiap kebijakan yang diterapkan, selama sikap kritisnya tidak bertentangan dengan syariat Islam. Namun, perlu diingat, hal ini dapat terwujud hanya dengan penerapan syariat Islam secara kafah di seluruh aspek kehidupan dalam bingkai Khil4fah Islamiah. Wallahualam bissawab. [Luth/MKC]