Alt Title

Crowded Silence: Ironi Sunyi di Tengah Kemewahan Zaman

Crowded Silence: Ironi Sunyi di Tengah Kemewahan Zaman



Fenomena lonely in the crowd tidak bisa dilepaskan dari akar persoalan sistemik

yakni sekuler liberalisme


__________________________


Penulis Fitria Damayanti, M.Eng

Kontributor Media Kuntum Cahaya 


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Kesepian di era digital bukan lagi isu teoretis. Melainkan kenyataan statistik yang mengejutkan. Survei global menunjukkan bahwa Generasi Z adalah generasi paling kesepian meski mereka adalah kelompok paling terhubung secara digital.


Data dari 4A’s (2023) menemukan bahwa 73% Gen Z merasa kesepian setidaknya sekali dalam seminggu (New study reveals struggles and desires of Gen Z). Sementara laporan Oxfam GB (2023) menyebut 47% dari mereka sering merasa kesepian (New survey finds nearly half of Gen Z are lonely).  (www.oxfam.org.uk)


Fakta ini mempertegas paradoks besar di tengah keberlimpahan konektivitas, manusia justru makin sulit menemukan kedekatan sejati. Riset akademik turut mendukung temuan ini. Studi yang diterbitkan di jurnal Computers in Human Behavior oleh Elsevier menunjukkan bahwa keterlibatan dalam identity bubbles media sosial hanya memberi perlindungan terbatas dari rasa sepi.


Alih-alih membangun relasi bermakna, interaksi digital sering kali memperburuk tekanan psikologis (Koivula, Kaakinen, & Oksanen, 2022). Dengan kata lain, keintiman yang dijanjikan media sosial lebih sering berakhir sebagai kebersamaan semu. Di mana, manusia tampak ramai secara kasat mata tetapi tetap hampa dalam makna.


Kesepian dalam Layar: Generasi Z dan Beban Psikologis


Generasi muda yang terus menggunakan media sosial mengalami tekanan psikologis yang serius. Survei 4A’s (2023) mengungkapkan bahwa 73% Gen Z merasa kesepian setidaknya sekali seminggu, dan Oxfam GB (2023) menambahkan bahwa 47% di antaranya sering merasa kesepian.


Ini menandakan bahwa masalah kesepian bukan sekadar soal kurang literasi digital atau manajemen waktu penggunaan gawai, melainkan berakar pada cara interaksi dan identitas diri dibentuk dalam ruang digital. Sistem sekuler liberal yang mengagungkan kebebasan ekspresi individu tanpa bingkai nilai transenden membuat manusia rentan merasa kosong ketika interaksi sosial hanya berfungsi sebagai pertunjukan citra.


Komunitas Semu: Ramai yang Justru Membuat Asing


Efek sosialnya jelas terlihat dalam melemahnya relasi antarmanusia. Media sosial yang didorong oleh algoritma kapitalis menciptakan identity bubbles dan ruang gema yang mempersempit pandangan serta mengikis empati (Koivula, Kaakinen, & Oksanen, Computers in Human Behavior, 2022).


Banyak anak muda memiliki ribuan koneksi virtual, tetapi tidak mampu menemukan kedekatan emosional yang sejati. Fenomena ini melahirkan generasi yang aktif berbagi konten, tetapi pasif dalam membangun komunitas nyata, bahkan sering kali merasa asing di tengah keluarga sendiri. Semua ini adalah konsekuensi logis dari sistem liberal yang menempatkan individualisme di atas nilai kebersamaan.


Kapitalisme Digital: Keramaian Bising, Kehidupan Sunyi


Secara struktural, kapitalisme digital menempatkan perhatian (attention) sebagai komoditas. Algoritma media sosial dirancang untuk memaksimalkan engagement, bukan memperkuat kesehatan sosial. Akibatnya, kebutuhan manusia terhadap kedekatan otentik, empati, dan spiritualitas dikorbankan demi profit.


Dengan lebih dari 70% Gen Z mengaku sering kesepian, jelas bahwa dampaknya bukan hanya pada individu, melainkan juga potensi generasi muda yang menjadi rapuh, tidak produktif, dan kurang peduli pada problematika umat (4A’s, 2023).  Sistem sekuler liberal dengan logika individualisme dan pasar bebasnya, telah melahirkan keramaian digital yang bising namun eksistensialnya sunyi.


Dengan demikian, fenomena lonely in the crowd tidak bisa dilepaskan dari akar persoalan sistemik, yakni sekuler liberalisme. Sistem ini merayakan kebebasan individu tanpa landasan nilai transenden, mendorong industri digital yang mengeksploitasi atensi, dan menciptakan masyarakat yang ramai secara artifisial, tetapi sepi secara makna. 


Data kesepian yang tinggi pada Gen Z hanya gejala dari krisis yang lebih dalam. Manusia modern kehilangan arah hidup, solidaritas sosial melemah, dan generasi muda kian rapuh. Selama sistem sekuler liberal terus mendominasi, media sosial akan tetap menjadi arena kebisingan semu—tempat orang tampak terhubung, tetapi sesungguhnya semakin terasing.


Solusi Islam atas Kesepian Modern


Pertama, solusi individu. Islam menawarkan orientasi hidup yang menegaskan bahwa manusia bukan sekadar makhluk sosial, melainkan hamba Allah. Identitas seorang muslim berakar pada akidah Islam sebagai asas berpikir dan berperilaku. Hal ini dijelaskan oleh Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam Peraturan Hidup dalam Islam bahwa akidah Islam menjadi asas segala aturan kehidupan (an-Nabhani, Peraturan Hidup dalam Islam). 


Dengan menjadikan Islam sebagai identitas utama. Seorang muslim memiliki arah hidup yang jelas sehingga tidak terjebak dalam kehampaan eksistensial yang menjadi penyakit generasi muda di bawah sistem sekuler liberal.


Kedua, solusi sosial. Islam mengatur hubungan antarindividu bukan hanya sebatas interaksi instrumental, melainkan berbasis ukhuwah dan tanggung jawab moral. Penelitian Effect of Perceived Social Support on Self-care Agency and Loneliness Among Elderly Muslim People menemukan bahwa di antara 965 lanjut usia muslim, terdapat korelasi negatif yang kuat antara dukungan sosial yang dirasakan dan tingkat kesepian; semakin tinggi dukungan sosial, semakin rendah kesepian mereka (p < 0,05) (Dural, Kavak Budak et al., 2022).


Begitu juga penelitian di kalangan mahasiswa perantau menunjukkan bahwa dukungan sosial dan kesejahteraan psikologis secara bersama-sama menjelaskan sekitar 25,3% varians kesepian (Wijaya & Rozi, 2024). Fakta-fakta ini mempertegas bahwa ruang sosial yang kuat bukan hanya jumlah koneksi digital sangat dibutuhkan untuk meredam sunyi di tengah keramaian virtual.


Ketiga, solusi negara. Islam memerintahkan negara agar menjaga integritas sosial, moral, dan akidah masyarakat. Pemerintahan Islam bertanggung jawab menjaga agar ruang publik, termasuk digital, tidak menjadi tempat kerusakan moral.


Negara Islam dapat memanfaatkan data survei seperti yang disebutkan di atas untuk merancang kebijakan yang memperkuat dukungan sosial (social support). Contohnya: membangun fasilitas komunitas sosial, program penguatan interaksi keluarga, dan regulasi yang meminimalisasi aspek kompetitif dan komersial berlebihan di media sosial. 


Dengan dukungan negara, generasi muda memiliki ruang yang nyata untuk merajut ukhuwah dan kepedulian. Bukti bahwa solusi Islam tidak hanya ideal tetapi bisa diwujudkan berdasarkan data empiris. Wallahualam bissawab. [Dara/MKC]