Alt Title

Tambang Nikel di Raja Ampat Rakyat Makin Melarat

Tambang Nikel di Raja Ampat Rakyat Makin Melarat



Kapitalisme telah gagal menjadi pelindung rakyat

justru ia menjadi ladang empuk bagi para kapitalis untuk mengeruk kekayaan alam negara


________________________


Penulis Rohmatul Ulfa

Kontributor Media Kuntum Cahaya 


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Jagad media sosial kembali digemparkan dengan berita yang datang dari tanah air Indonesia tepatnya di daerah kawasan wisata yang terletak di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya. 


Diketahui adanya aktivitas penambangan nikel yang memicu kritik dari masyarakat sipil. Pasalnya, aktivitas penambangan tersebut tidak hanya mencemari lingkungan, tetapi berpotensi adanya pelanggaran ketentuan pidana, termasuk tindak pidana korupsi.


Indonesia yang sering kali dijuluki sebagai gemah rimpah loh jinawi, bahkan sebagai Zamrud Khatulistiwa (permata yang berwarna hijau). Bagaiman tidak, luasnya lautan dan hamparan pulau-pulau kecil dan besar merupakan khas dan daya tarik tersendiri dari negara ini. Luasnya hutan tropis di Indonesia menjadi pusat paru-paru dunia.


Namun sayang, semua julukan tadi hanya sebuah slogan kosong yang kini mulai hilang. Pasalnya, keindahan alam dan keaneragaman hayati negeri ini kian terancam keberadaannya yang disebabkan oleh aktivitas pertambangan nikel oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.


Kementerian Lingkungan Hidup menemukan bahwa banyaknya pelanggaran serius di wilayah Raja Ampat, wilayah yang terkenal akan keindahan pariwisatanya. Di mana terdapat empat perusahaan yang menjadi objek pengawasan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). Di antara keempat perusahaan tersebut yaitu, PT Gag Nikel, PT Kawei Sejahtera Mining, PT Anugerah Surya Pratama, dan PT Mulia Raymon Perkasa.


Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq menyatakan bahwa hasil pengawasan menunjukkan berbagai pelanggaran serius terhadap peraturan lingkungan hidup dan tata kelola pulau kecil. Hanif juga mengungkapkan dari keempat perusahaan tambang tersebut ditemukan bahwa PT Mulia Raymon Perkasa tidak memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP).  (Tirto.id, 07-06-2025)

 

Selain itu, Iqbal Danamik seorang juru kampanye Greenpeace Indonesia menyebut penerbitan izin lima perusahaan tambang di sana telah melanggar UU Nomor 1 Tahun 2024 tentang pengelolaan Wilayah, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil. (bbcindonesia.com, 06-05-2025)  


Hal ini menunjukkan bahwa kekayaan alam negeri ini tidak benar-benar dikelola langsung oleh negara yang dalam hal ini adalah penguasa. Melainkan diserahkan kepada swasta yang notabene mereka adalah pengusaha yang tentu mengharapkan keuntungan yang sebesar-besarnya dalam pertambangan ini padahal sumber daya alam berupa pertambangan merupakan milik seluruh rakyat Indonesia yang semestinya tidak boleh diprivatisasi oleh individu maupun kelompok tertentu.


Pertambangan merupakan bagian dari sumber daya penting di mana hajat hidup orang banyak bergantung. Tidak hanya manusia, tetapi flora dan fauna serta ekosistem di darat dan di lautan. Hal tersebut justru telah melanggar amanat UUD 1945 pada alinea ke-4 yang menyebutkan salah satu tujuan negara yaitu memajukan kesejahteraan umum. Namun, dengan adanya pertambangan ini, alih-alih memajukan kesejahteraan umum, justru yang terjadi adalah hilangnya mata pencaharian masyarakat dan rusaknya lingkungan serta ekosistem laut. 


Mengenai dampak dari tambang nikel Raja Ampat ini, Kepala Global Greenpeace untuk Kampanye Hutan Indonesia Kiki Taufik menuturkan bahwa penambangan nikel di Papua bakal mengancam keberlangsungan keanekaragaman hayati dan ekowisata masyarakat setempat. Kiki menjelaskan bahwa dampak hilirisasi nikel di Raja Ampat tidak hanya mengancam biota laut, tetapi juga satwa khas Papua yang hidup di kawassan tersebut. (Tempo.com, 06/06/2025)


Semua ini menunjukkan betapa lemahnya peran negara dalam melindungi kekayaan alam milik rakyat. Justru para penguasa dengan dalih kedaulatan ekonomi nasional nyatanya menjadi pintu masuk bagi para kapitalis mengeksploitasi sumber daya alam. Pada September 2023, Raja Ampat telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai bagian dari Global Geopark. Namun kini, hanya menyisakan kerusakan lingkungan dan mengorbankan masyarakat lokal.


Kapitalisme telah gagal menjadi pelindung rakyat, justru ia menjadi ladang empuk bagi para kapitalis untuk mengeruk kekayaan alam negara melalui kaki tangannya di pemerintahan atas nama UU. Mereka tidak lebih dari pencuri berdasi yang melahap uang rakyat dari hasil kapitalisasi.


Tambang itu sejatinya adalah aset milik rakyat yang seharusnya dikelola oleh negara dengan baik. Negara tak ubahnya seperti regulator yang memfasilitasi individu atau perusahaan dengan memberi ruang pengelolaan SDA yang dilegalkan UU. Rakyat adalah prioritas akhir, bahkan bagikan barang terbengkalai dan nasib mereka digantungkan dengan bansos murahan dan bantuan-bantuan tidak bermutu sebagai lip service pemerintah dalam meredam amarah rakyat.


Akhirnya, yang sejahtera hanya pengusaha dan rakyat yang mendapat sisa-sisa ampasnya saja, bahkan kerusakan ditanggung olehnya. Inilah bentuk nyata kerusakan yang diakibatkan oleh sistem kapitalisme liberal yang menghasilkan neo-imperialisme (penjajahan gaya baru). Penambangan SDA secara brutal dan membahayakan tetap bisa dilakukan meski melanggar UU yang telah ditetapkan negara.


Paru-paru dunia kini mulai terancam karena eksploitasi hutan untuk tambang jelas dapat mengakibatkan kerusakan alam bahkan dapat mengancam ketersediaan oksigen. Oleh karenanya, aktivitas penambangan bar-bar ini jelas harus dihentikan. Pemerintah harus bijak mengelola negara. Jika hal ini terus dibiarkan, tidak menutup bahwa mengeksploitasi SDA  pulau-pulau yang terdapat di sana.


Sesungguhnya Islam menetapkan bahwa SDA merupakan milik umum yang harus dikelola oleh negara dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat. Islam juga menetapkan wajibnya menjaga keseimbangan ekosistem dan lingkungan demi keberlangsungan hidup manusia dan makhluk lainnya. Islam juga memiliki konsep ''hima" yang akan melindungi lingkungan dari kerusakan akibat adanya eksplorasi.


Sesungguhnya, kerusakan yang terjadi hari ini disebabkan oleh ulah tangan manusia yang terlalu tamak dan rakus sehingga Islam memiliki konsep kepemilikan yang sangat jelas dan harus ditaati demi keselamatan bersama, seperti tambang nikel harus dibiarkan keberadaannya sebagai kepemilikan umum. Rasulullah saw. bersabda, yang artinya:


 "Sesungguhnya kaum muslim berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput, dan api." (HR. Abu Daud)


Di sinilah peran negara dalam mengatur dan bertanggung jawab atas pengelolaan SDA baik pada tambang maupun mineral lainnya. Semua harus dikelola dengan baik dan pemanfaatnnya dikembalikan ke Baitulmal untuk kemaslahatan rakyat.


Pemimpin dalam Islam harus menjalankan aturan sesuai dengan hukum syariat, dan berperan sebagai pemimpin (raa'in) yang akan mengelola SDA dengan aman dan menjaga kelestarian lingkungan. Hingga terciptalah kesejahteraan dan keselamatan bagi rakyat dan makhluk hidup lainnya, dan alam menjadi terjaga keseimbangannya. Wallahualam bissawab. [Dara/MKC]