Alt Title

Nasionalisme dan Negara Bangsa: Pagar Besi Penghalang Persatuan

Nasionalisme dan Negara Bangsa: Pagar Besi Penghalang Persatuan



Nasionalisme menjadikan umat Islam terperangkap

dalam batas-batas imajiner buatan penjajah


_________________________


KUNTUMCAHAYA.com, SURAT PEMBACA - Di tengah genosida yang terjadi di G4za, dunia kembali diguncang oleh aksi Global March to G4za (GMTG). Gelombang aksi solidaritas internasional yang diikuti oleh aktivis dari berbagai negara sebagai bentuk protes terhadap blokade dan penjajahan Zion*s Isra*l.


Aksi ini menunjukkan kemarahan umat yang sangat besar karena diamnya penguasa dan lembaga-lembaga internasional atas genosida di P4lestina. Ribuan orang mewakili lintas etnis, benua, dan profesi menempuh jarak ribuan kilometer demi menjadi representasi moral dan kemanusiaan.


Namun, di tengah semangat solidaritas ini, mereka harus menelan pil pahit karena puluhan aktivis GMTG yang hendak masuk ke Jalur Gaza melalui gerbang Rafah, satu-satunya pintu masuk yang tidak dikendalikan langsung oleh Isra*l ditolak oleh otoritas Mesir. Dengan dalih tidak mengantongi izin.


Pemerintah Mesir mendeportasi lebih dari 30 aktivis di hotel dan Bandara Internasional Kairo (kompas.tv, 12-06-2025). Sungguh ironis, negara yang mayoritas muslim dan secara geografis bertetangga langsung dengan G4za, melakukan tindakan semacam ini. Apa yang membuat saudara sesama muslim tega menutup akses terhadap aksi kemanusiaan?


Nasionalisme Membunuh Solidaritas


Nasionalisme adalah suatu paham kebangsaan yang menempatkan loyalitas tertinggi kepada bangsa. Benar atau salah, ia akan membela bangsanya. Dalam konteks persatuan umat Islam, nasionalisme berarti pengkotakan identitas menjadi Indonesia, Mesir, Suriah sehingga memutus ikatan akidah yang seharusnya menjadi ikatan utama.


Nasionalisme tidak dapat dipisahkan dari sekularisme kapitalis yang melahirkan sistem negara bangsa (nations tate). Hal ini bermula pasca runtuhnya Khil4fah Utsmaniah pada tahun 1924, Inggris sebagai pemenang perang dunia I membagi wilayah kekhilafahan menjadi puluhan negara bangsa yang berdiri atas dasar nasionalisme.


Penjajah menciptakan batas-batas teritorial, memasang penguasa boneka, dan menanamkan tsaqafah asing nasionalis sekuler ke dalam kurikulum pendidikan sehingga lahir generasi muda muslim dengan identitas baru. Mereka lebih bangga menjadi warga negara daripada menjadi bagian dari satu umat.


Dalam kasus GMTG, nasionalisme bekerja secara efektif sebagai pagar besi yang menghalangi masuknya bantuan kemanusiaan. Pemerintah Mesir lebih memilih loyal pada kepentingan geopolitik dan tekanan Amerika Serikat daripada membuka gerbang perbatasan agar bantuan kemanusiaan bisa masuk.


Tentara muslim yang sebenarnya mampu menyerang tentara Isra*l justru berdiri sebagai penjaga perbatasan negara seolah-olah G4za adalah orang asing dari negara lain. Seorang perawat non-Islam asal Inggris bahkan bersimpuh di hadapan tentara muslim sambil memohon dan menangis agar dibukakan jalur menuju G4za.


Inilah konsekuensi dari paham nasionalisme yang telah mengakar kuat dalam tubuh kaum muslimin. Paham ini bukan hanya memisahkan antar wilayah tapi juga antara hati dan tanggung jawab. Penguasa dibuat lebih takut kehilangan legitimasi di hadapan negara adidaya daripada kehilangan rida Allah.


Nasionalisme menjadikan umat Islam terperangkap dalam batas-batas imaginer buatan penjajah. Padahal, musuh umat Islam satu–penjajah Zion*s Isra*l. Namun, karena nasionalisme umat tidak mampu merespons dengan satu kekuatan kolektif.


Solusi Hakiki: Sistem Politik Islam


Nasionalisme dan negara bangsa adalah penghalang terbesar dalam perjuangan pembebasan P4lestina. Nasionalisme telah membunuh solidaritas atas dasar akidah, membentengi kekuasaan, dan mengaburkan tujuan yang sebenarnya, kebangkitan umat. Realitas ini seharusnya membuka mata umat Islam bahwa masalah P4lestina bukan semata isu kemanusiaan, tetapi isu politik yang melibatkan entitas negara adidaya.


Tidak akan ada penyelesaian sejati selama umat Islam masih terjebak dalam kerangka negara bangsa yang diwariskan penjajah. Oleh karena itu, solusi hakiki hanya dapat diwujudkan melalui perubahan sistemik, yaitu dengan mencabut akar ideologi sekuler-nasionalis, kemudian menggantinya dengan sistem politik Islam yang mempersatukan umat di bawah satu kepemimpinan global.


Daulah bukan sekadar sistem pemerintahan, tetapi institusi yang dibangun atas dasar akidah Islam yang menjadikan syariat sebagai hukum dan umat sebagai satu kesatuan. Dalam kerangka Daulah, G4za bukan wilayah asing, tetapi bagian dari tubuh umat yang wajib dibela.


Dari sudut pandang mana pun, khususnya geopolitik, solusi Daulah adalah solusi yang paling logis. Umat Islam harus memiliki kesadaran penuh bahwa musuh terbesar mereka adalah entitas politik berupa negara adidaya yang mendukung entitas pelaku genosida. Umat membutuhkan Daulah sebagai negara tandingan untuk melawan Zion*s dan sekutunya.


Militer negara-negara muslim yang saat ini diam atau bahkan memblokade G4za akan menjadi satu kekuatan yang digerakkan oleh Daulah untuk menghapus penjajahan. Potensi ini sangat realistis, mengingat dunia Islam memiliki jutaan tentara aktif, sumber daya alam yang melimpah, dan posisi geopolitik yang strategis.


Sudah saatnya umat Islam berhenti berharap pada para penguasa boneka, lembaga internasional, dan solusi yang bersifat pragmatis. Umat Islam harus bangkit dari belenggu kaum kafir penjajah.


Saatnya, kita kembali kepada Islam sebagai ideologi yang paripurna, yang mampu memberikan solusi tuntas untuk pembebasan P4lestina. Wallahualam bissawab. [Dara/MKC]


Ida