Ibadah Haji Perjalanan Suci yang Dikomersialisasi
Surat PembacaSejatinya, kapitalisme pangkal dari kekisruhan yang terjadi dalam penyelenggaraan haji
Ibadah yang semestinya menjadi momen suci dan penuh kekhusyukan justru terjerat dalam sistem komersialisasi
______________________
KUNTUMCAHAYA.com, SURAT PEMBACA - Lagi-lagi penyelenggaraan ibadah haji kembali mengalami kekisruhan. Indonesia juga mendapatkan dengan kuota jemaah haji terbesar. Sayangnya, setiap tahun selalu mengalami penurunan kualitas dalam pelayanan yang memprihatinkan.
Dalam proses pemberangkatan saja ada beberapa calon jemaah haji yang gagal berangkat ke tanah suci Makkah. Di antaranya karena terkendala visa. Meski dokumennya sudah lengkap, tiba-tiba dibatalkan sepihak oleh pemerintah. Belakangan diketahui ada pihak yang mengubah visa tersebut dengan no visa, mengubah datanya di akun Haji Pintar milik Kementerian Agama. (Republika.com, 02-06-2025)
Bahkan, di sumber berita lain menyebutkan ada 49 orang yang terdiri dari 18 warga lokal dan 31 warga asing yang termasuk warga Indonesia, ditangkap karena mengangkut 179 calon jemaah haji tanpa izin resmi. (Beritasatu.com, 07-06-2025)
Kerumitan makin menambah kesulitan umat Islam sebagai calon jemaah haji karena diberlakukan pengetatan dan perubahan aturan oleh pemerintah Arab Saudi. Salah satunya kepemilikan kartu nusuk yang juga berfungsi sebagai tanda pengenal resmi untuk mendapatkan akses ke wilayah Makkah dan Masjidil haram.
Saat pelaksanaan haji juga mengalami beberapa masalah. Salah satunya ada calon jemaah haji yang diusir dari tempat istirahat pada malam hari karena tertinggal rombongan. Begitu juga adanya keterlambatan dalam pendistribusian konsumsi.
Ada Kapitalisasi dalam Ibadah Haji?
Banyaknya kekisruhan ibadah haji ini tidak lepas dari ketidakseriusan pemerintah dalam pengurusan ibadah suci ini. Sebagai ibadah sakral yang hanya bisa dilakukan setahun sekali oleh jutaan umat Islam dari berbagai penjuru dunia. Penyelenggaraan ibadah haji harusnya dikelola dengan sangat serius, teliti, dan penuh tanggung jawab.
Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Lemahnya perencanaan, koordinasi, dan eksekusi dari pihak-pihak yang bertanggung jawab, baik dari negara asal jemaah maupun penyelenggara dari Arab Saudi menjadi salah satu penyebabnya. Sebagian pihak menilai kebijakan baru dari pemerintah Arab Saudi menjadi penyebab utama atas kekacauan penyelenggaraan ibadah haji tahun ini.
Selama ibadah haji hanya dipandang sebagai urusan administratif yang tidak dimaknai sebagai kewajiban negara dalam melayani urusan agama rakyat secara menyeluruh, kekacauan akan terus berulang. Terlebih lagi ketika sistem pengelolaan haji lebih mengedepankan aspek bisnis, profit, dan birokrasi yang berbelit-belit yang mana pelayanan harusnya menjadi amanah justru berubah menjadi beban.
Sejatinya, kapitalisme pangkal dari kekisruhan yang terjadi dalam penyelenggaraan haji. Ibadah yang semestinya menjadi momen suci dan penuh kekhusyukan justru terjerat dalam sistem komersialisasi. Biaya terus melonjak, pelayanan yang tidak sebanding, hingga muncul berbagai skema visa nonreguler yang rawan penyalahgunaan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Semua ini menunjukkan bahwa sistem kapitalis tidak layak mengatur urusan umat Islam.
Islam Mengatur Penyelenggaraan Ibadah Haji
Merupakan rukun Islam yang kelima dalam menunaikan ibadah haji bagi setiap muslim yang memiliki kemampuan baik secara fisik, maupun finansial. Sebagaimana firman Allah Swt. di dalam Al-Qur'an surah Ali-Imran: 97, "Dan di antara kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah yaitu bagi yang mampu mengadakan perjalanan ke sana."
Namun, kewajiban haji ini bukan hanya ritual individual melainkan juga urusan publik yang memerlukan pengaturan sistem dari negara. Sudah seharusnya penyelenggaraan haji dilakukan dengan profesional, amanah, dan memudahkan umat dalam menjalankan ibadah.
Negara wajib melayani semua keperluan calon jemaah haji, mulai proses administratif, transportasi, akomodasi, kesehatan hingga memastikan ketenangan spirit semua jemaah selama menjalankan rukun Islam ini. Negara juga menyiapkan mekanisme, birokrasi yang efisien serta pelayanan yang terbaik bagi para tamu Allah sebagai bentuk pemuliaan terhadap ibadah haji.
Pelayanan yang terbaik ini akan terwujud jika negara memiliki sistem keuangan yang kuat dan stabil. Hal ini memungkinkan ketika negara menerapkan sistem ekonomi keuangan secara Islam. Di dalam Islam, pendapatan negara bersumber dari pos-pos yang sah dan berlimpah seperti kharaj, jizyah, fa'i, ghanimah, zakat dan kepemilikan umum (tambang, gas bumi, laut, hutan dan lain-lain), yang dikelola negara dan semua masuk ke dalam Baitulmal atau kas negara.
Dengan banyaknya pendapatan tersebut, negara akan memiliki kemampuan untuk menyelenggarakan haji dengan layanan yang terbaik dan maksimal, tanpa membebani rakyat. Wallahualam bissawab. [Dara/MKC]
Nafisusilmi