Antara Surga Terakhir di Bumi dan Tambang Nikel
OpiniDalam kapitalisme bebas seseorang menguasai SDA
Sebagaimana aktivitas tambang nikel di Raja Ampat yang dikuasai oleh beberapa perusahaan
_________________________
Penulis Wina Widiana
Kontributor Media Kuntum Cahaya
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Surga terakhir di bumi. Itulah julukan bagi Raja Ampat yang ada di Papua Barat Daya. Raja Ampat mulai mencuat beritanya ketika ramai tagar "Save Raja Ampat" di berbagai platform medsos karena adanya aktivitas penambangan yang merusak lingkungan.
Apalagi Raja Ampat dikenal dunia sebagai tempat destinasi wisata yang luar biasa dengan keanekaragaman hayati yang indah dan banyaknya spesies kehidupan laut yang paling lengkap. Namun siapa sangka, semua keindahan di Raja Ampat mulai rusak karena ada aktivitas tambang nikel di sana.
Kementerian Lingkungan Hidup Hanif Faisal Nurofiq mengatakan bahwa ia menemukan banyak pelanggaran serius terkait aktivitas penambangan nikel di Raja Ampat. Dikutip tirto.id (07-06-2025) di antaranya PT Mulia Raymond Perkasa yang tidak memiliki dokumen lingkungan dan PPKH (Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan) dalam aktivitas tambangnya di Pulau Batang Bele, PT Kawei Sejahtera Mining terbukti membuka tambang di luar izin lingkungan dan di luar kawasan PPKH mencapai 5 hektare di Pulau Kawe.
Lalu PT Anugerah Surya Pratama melakukan pertambangan di Pulau Madura seluas 746 hektare tanpa adanya sistem manajemen lingkungan dan pengelolaan air limbah larian. Kemudian PT Gag Nikel beroperasi di Pulau Gag sekitar -+6.030,53 hektare yang tergolong pulau kecil dan itu bertentangan dengan UU No.1 tahun 2014 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Raja Ampat terus menjadi sorotan publik yang akhirnya muncul keputusan presiden untuk menghentikan aktivitas pertambangan nikel yang merusak lingkungan. Bapak Presiden RI Prabowo Subianto memutuskan untuk mencabut 4 dari 5 IUP (Izin Usaha Pertambangan) yang beroperasi di Raja Ampat, yaitu PT Mulia Raymond Perkasa, PT Kawei Sejahtera Mining, PT Anugerah Surya Pratama, dan PT Nurham.
Adapun untuk PT Gag Nikel tetap dipertahankan setelah menteri ESDM Bahlil Lahadalia melakukan evaluasi menyeluruh terhadap aspek lingkungan dan teknis tidak menemukan pelanggaran padahal jelas bertentangan dengan undang-undang. Begitulah ketika aturan datang dari manusia bisa berubah-ubah sekehendaknya.
Pertambangan nikel di Raja Ampat juga berpotensi sangat kuat menimbulkan adanya pelanggaran HAM terutama di bidang lingkungan hidup. Sebagaimana dalam keterangan tertulis ketua Komnas HAM Anis Hidayah bahwa setiap warga negara mempunyai hak dan dijamin konstitusi untuk mendapatkan hak atas lingkungan hidup yang sehat. (cnnindonesia.com, 14-06-2025)
Aktivitas penambangan nikel tersebut banyak menimbulkan kerusakan di lingkungan sekitar mulai gundulnya hutan yang menjadi tempat hidupnya hewan yang dilindungi, merusak ekosistem laut, juga masyarakat adat di sana yang mulai terganggu kehidupannya.
Inilah yang menjadi bentuk nyata kerusakan kapitalisme yang jelas melanggar aturan, tetapi tetap berjalan. Sekalipun sekarang ada keputusan presiden mencabut IUP, tetapi kita tidak tahu bisa jadi beberapa waktu ke depan aktivitas tambang tersebut dilanjutkan. Seperti PT Gag yang jelas melanggar UU malah di pertahankan karena yang dicari dalam kapitalisme adalah materi, tidak memikirkan apa dampak jangka panjang atau dampak saat ini.
Begitu rakusnya para kapital dan korporat. Tidak memikirkan bagaimana dampak dari kerusakan lingkungan. Bagaimana kehidupan hewan yang dilindungi di sana, ekosistem lautnya, kehidupan penduduk yang terkena dampak langsung dari aktivitas tambang nikel tersebut. Mereka hanya memikirkan keuntungan untuk dirinya sendiri.
Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur'an surah An-Nur ayat 41 yang artinya: "Telah tampak kerusakan di darat dan di laut di sebabkan karena ulah tangan manusia. (Dengan itu) Allah bermaksud menimpakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar)."
Hal tersebut menunjukkan bahwa para korporat lebih berkuasa, sedangkan rakyat yang merupakan penduduk asli di sana tidak bisa apa-apa. Bahkan tidak pernah sedikit pun merasakan hasil alam tersebut. Dalam kapitalisme bebas seseorang menguasai SDA.
Sebagaimana aktivitas tambang nikel di Raja Ampat yang dikuasai oleh beberapa perusahaan sehingga keuntungannya masuk ke dalam kantong pribadi mereka. Bukan untuk kesejahteraan rakyat. Itulah watak dari kapitalisme yang senantiasa rakus untuk meraih materi semata.
Berbeda dengan Islam, dalam pengelolaan SDA tidak boleh diserahkan kepada individu atau sebuah perusahaan. Akan tetapi, wajib negara yang harus mengelola SDA kemudian hasilnya di kembalikan kepada rakyat. Misalnya, dalam bentuk fasilitas umum yang digunakan untuk kebutuhan mendasar rakyat.
Seperti yang disabdakan Rasulullah saw. bahwa kaum muslim berserikat dalam 3 perkara, air, padang rumput dan api (HR. Abu Dawud dan Ahmad).
Tiga perkara tersebut harus negara yang mengelolanya tidak boleh diserahkan kepada individu atau asing. Seperti pengelolaan tambang nikel, batu bara, mata air, tambang emas dan sebagainya yang merupakan milik komoditas yang hasilnya harus dikembalikan untuk kepentingan umum.
Islam juga menetapkan wajibnya menjaga keseimbangan ekosistem dan lingkungan yang akan berpengaruh bagi kehidupan manusia. Dalam Islam, ada yang disebut dengan konsep hima, yakni konsep yang penting dan relevan untuk melindungi alam dan lingkungan terutama untuk tujuan konservasi alam.
Seperti yang pernah dicontohkan di zaman Rasulullah yang melarang aktivitas eksploitasi yang berlebihan dan merusak. Boleh memanfaatkan hasil alam, hanya saja ada batasan-batasan yang harus diperhatikan agar tidak sampai merusak lingkungan, merusak hutan, laut yang tercemar, dan dampak kerusakan lainnya.
Fungsi negara itu sendiri sebagai raa'in, pengurus rakyat. SDA akan betul-betul dikelola sebaik mungkin tanpa menimbulkan dampak kerusakan lingkungan. Negara akan betul-betul memperhatikan pendistribusiannya agar rakyat bisa merasakan hasil alam tersebut. Bukan seperti saat ini yang hanya dirasakan oleh segelintir orang saja.
Maka dari itu, diperlukan aturan yang menyeluruh terutama untuk mengatur pengelolaan SDA yang hasilnya bisa dirasakan oleh semua orang karena hasil alam adalah kepemilikan umum bukan untuk swasta apalagi para korporat.
Aturan tersebut hanya ada di dalam Islam yang datang dari Al-Khaliq (Maha Pencipta) Al-Mudabbir (Maha Pengatur) Allah Swt. yang Maha Mengetahui apa yang terbaik untuk makhluk-Nya. Wallahualam bissawab. [Dara/MKC]