Pendidikan dan Politik Populis Saatnya Menatap Akar Bukan Daun
Opini
Program populis tahunan hanya menjadi penenang sesaat
Tidak menyentuh struktur, apalagi menciptakan transformasi
_________________________
Penulis Etik Rositasari
Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Alumni Pascasarjana UGM
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Pendidikan adalah urat nadi peradaban. Ia tak sekadar mendistribusikan pengetahuan, tetapi membentuk cara berpikir, nilai hidup, dan arah masa depan sebuah bangsa. Tidak ada negeri yang bangkit kecuali melalui pendidikan yang kokoh dan tidak ada generasi unggul tanpa sistem pendidikan yang adil, merata, dan berlandaskan visi luhur.
Setiap tanggal 2 Mei, Hari Pendidikan Nasional diperingati dengan gegap gempita. Pidato-pidato optimistik disampaikan, program-program diumumkan, dan kebijakan populis kembali digulirkan.
Tahun ini presiden memperkenalkan program renovasi sekolah serta bantuan tunai untuk guru honorer. Dalam pidatonya, beliau bertanya retoris, “Bagaimana anak-anak bisa unggul kalau sekolahnya rusak?” (tirto.id, 2 Mei 2025)
Sebuah pertanyaan yang layak kita balik: mengapa sekolah itu rusak, dan siapa yang seharusnya bertanggung jawab?
Pendidikan Kita: Potret yang Tak Lagi Samar
Sementara itu, kita lihat faktanya di lapangan. Di Kota Bekasi, ratusan siswa SDN Jatimulya VI belajar di perpustakaan karena ruang kelas mereka tak layak pakai. Kepala sekolah menuturkan, “Anak-anak sudah tidak nyaman, apalagi saat hujan mereka harus pindah-pindah tempat karena atap bocor." (tirto.id, 29 April 2025)
Sekolah yang seharusnya menjadi tempat tumbuh kembang intelektual dan moral anak-anak justru menjadi simbol keterbatasan dan pengabaian.
Sementara itu, guru honorer yang selama ini menjadi tulang punggung pendidikan di pelosok tetap menerima gaji yang jauh dari layak. Pemerintah memang menjanjikan bantuan cash transfer Rp3 juta per semester. Namun, kebijakan ini lebih menyerupai “penyedap rasa” daripada pemenuhan hak profesional.
“Bentuk bantuannya adalah cash transfer, bukan tunjangan profesi,” demikian pernyataan dari Kemendikbudristek. (kompas.com, 4 Mei 2025). Tidak ada skema jaminan karier, tidak ada standar penghidupan layak.
Ketika sarana pendidikan tak memadai dan guru tak dimuliakan, maka bagaimana kita berharap lahirnya generasi unggul? Harapan itu menjadi absurd jika negara tak menata ulang orientasinya terhadap pendidikan.
Kapitalisme dan Pengabaian Sistemik
Masalah ini bukan sekadar kegagalan administratif atau lemahnya manajemen. Akar persoalannya adalah sistemik. Pendidikan di negeri ini dijalankan dalam bingkai kapitalisme, yang memosisikan negara bukan sebagai penjamin hak, melainkan fasilitator pasar. Pendidikan pun berubah dari hak menjadi komoditas.
Negara hanya mengambil porsi minimum, menyediakan sebagian sekolah negeri, sementara sisanya dibebankan kepada masyarakat dan swasta. Dalam banyak hal, negara menyerahkan tanggung jawab pendanaan dan pengelolaan kepada mekanisme pasar. Maka tak heran, kualitas pendidikan kerap ditentukan oleh daya beli.
Keterbatasan anggaran menjadi dalih klasik. Sistem ekonomi kapitalistik membuat negara terus bergantung pada utang luar negeri untuk pembiayaan pembangunan, termasuk sektor pendidikan. Dalam situasi fiskal sempit, prioritas justru diberikan pada proyek-proyek infrastruktur dan pembayaran utang, bukan pemajuan pendidikan.
Di saat bersamaan, korupsi merajalela, menyedot anggaran yang seharusnya mengalir ke sekolah-sekolah dan kesejahteraan guru. Laporan Tempo (2020) menunjukkan program bantuan pendidikan pun rawan bocor dan disalahgunakan.
Dengan kondisi seperti ini, program populis tahunan hanya menjadi penenang sesaat. Tidak menyentuh struktur, apalagi menciptakan transformasi.
Islam: Pendidikan sebagai Amanah, Bukan Beban
Berbeda dari kapitalisme, Islam meletakkan pendidikan sebagai tanggung jawab penuh negara. Ia bukan produk pasar, bukan pula proyek politik. Rasulullah ﷺ bersabda, “Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap Muslim.” (HR. Ibnu Majah)
Jika menuntut ilmu adalah kewajiban, maka negara wajib memfasilitasinya secara optimal dan gratis.
Dalam sejarah Islam, negara memimpin langsung penyelenggaraan pendidikan. Khalifah membangun sekolah, madrasah, hingga universitas. Guru digaji dari Baitulmal, bukan sekadar diberi insentif. Ilmu tidak dikomersialisasikan, melainkan disebarkan sebagai bagian dari jihad peradaban.
Sistem ekonomi Islam menopang kebijakan ini dengan struktur yang kokoh dan sumber pembiayaan yang stabil. Negara memperoleh pemasukan dari pengelolaan kekayaan alam (sebagai milik umum), zakat, kharaj, jizyah, dan fai’. Tidak ada ketergantungan pada utang luar negeri, tidak ada korporatisasi sektor strategis, dan tidak ada privatisasi pendidikan. Negara tidak akan berlindung di balik “keterbatasan anggaran”, karena ia tak boleh abai terhadap hak rakyat.
Islam memuliakan guru, bukan hanya dengan lisan, tetapi dengan jaminan hidup dan penghargaan sosial. Pendidikan bukan alat mencetak buruh murah, tetapi sarana mencetak manusia merdeka, berilmu, bertakwa, dan siap memimpin.
Butuh Perubahan Sistemik, Bukan Tambalan Musiman
Pendidikan Indonesia tidak sedang butuh proyek baru, tetapi paradigma baru. Ia tak sedang kekurangan ide, tetapi kekurangan keberanian untuk beranjak dari sistem yang selama ini mengekang potensi pendidikan.
Kita tidak boleh terus menormalisasi kebijakan tambal sulam. Jika negara terus memosisikan pendidikan sebagai beban fiskal, guru sebagai buruh tak bernilai, dan siswa sebagai statistik belaka, maka selamanya kita hanya akan berjalan di tempat.
Sudah saatnya kita melihat Islam bukan hanya sebagai nilai moral, tetapi sebagai sistem alternatif yang realistis dan terbukti mampu membangun peradaban ilmu selama berabad-abad. Islam bukan utopia, melainkan jalan yang pernah ditempuh, dan kini sangat mungkin dirintis kembali. Wallahualam bissawab. [GSM/MKC]