Menyoal Angka Kemiskinan dalam Sistem Kapitalis
OpiniTingginya angka kemiskinan menunjukkan bahwa
penerapan sistem kapitalis telah gagal dalam memberikan kesejahteraan bagi rakyat
____________________
Penulis Ummu Saibah
Kontributor Media Kuntum Cahaya
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Beberapa waktu lalu kita dibuat heran dengan data yang di keluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan bahwa angka kemiskinan di negeri ini hanya 8,57 % dari sekitar 24,96 juta jiwa per September 2024. Masyarakat awam bisa melihat bahwa data tersebut tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
Menurut data Bank Dunia penduduk miskin di Indonesia mencapai 60,3% dari 171,8 juta jiwa. Kepala BPS Amalia Adininggar W menyatakan perbedaan data tersebut terjadi karena standar garis kemiskinan yang digunakan oleh Bank Dunia berbeda dengan yang digunakan BPS disesuaikan dengan tujuan. (Tirto.id, 2-5-2025)
Perbedaan data angka kemiskinan antara BPS dan Bank Dunia membuka mata masyarakat awam bahwa ternyata di dalam sistem kapitalis data angka kemiskinan bisa dimanipulasi sesuai dengan tujuannya. Hal ini menunjukkan bahwa kemiskinan hanya sebagai angka pengukur saja tidak benar-benar digunakan sebagai acuan dalam mengentaskan kemiskinan.
Kemiskinan dalam Sistem Kapitalis Hanya Deretan Angka
Perbedaan mencolok antara angka kemiskinan yang dikeluarkan oleh BPS dan Bank Dunia menyebabkan kerancuan berpikir masyarakat awam. Pasalnya, seseorang bisa dikategorikan miskin secara nasional, tetapi masuk kategori miskin ekstrem secara global. Perbedaan tersebut muncul akibat perbedaan standar pengukuran antara BPS dan Bank Dunia juga perbedaan tujuan pengambilan data.
Dalam hal ini, Bank Dunia menggunakan tiga pendekatan atau standar garis kemiskinan yaitu Internasional Poverty Line untuk menghitung tingkat kemiskinan ekstrem dan menengah, kemudian Purchasing Power Parity. Hal ini dimaksudkan untuk memantau pengentasan kemiskinan secara global dan membandingkan tingkat kemiskinan antar negara. BPS menggunakan pendekatan kebutuhan dasar atau Cost of Basic Needs untuk mengukur angka kemiskinan di Indonesia (CBN). (BPS.go.id, 2-5-2025).
Perbedaan standar kemiskinan terjadi karena dampak dari penerapan sistem kapitalis dalam tata kelola ekonomi dan sosial yang menimbulkan kesenjangan sosial. Dalam sistem kapitalis, individu diizinkan secara legal untuk menguasai dan mengelola sumber daya alam menyebabkan peredaran harta hanya berputar di kalangan tertentu saja.
Tingginya angka pengangguran akibat kurangnya lapangan pekerjaan berimbas pada distribusi pendapatan tidak merata. Selain itu, biaya pendidikan dan kesehatan yang mahal juga bisa disebabkan karena pengelolaan aset vital oleh individu. Yang tak kalah pentingnya adalah hilangnya peran negara sebagai pengurus urusan rakyat. Hal ini terbukti dengan banyaknya kebijakan yang dikeluarkan oleh negara tidak memihak kepentingan rakyat.
Tingginya angka kemiskinan menunjukkan bahwa penerapan sistem kapitalis telah gagal dalam memberikan kesejahteraan bagi rakyat. Oleh karena itu, diperlukan sistem yang sahih untuk memperbaiki kondisi sekarang ini.
Mewujudkan Kesejahteraan Melalui Penerapan Ekonomi Islam
Islam adalah agama yang sempurna. Hal ini telah dikabarkan Allah Swt. dalam Al-Qur'an, Allah Swt. berfirman: "...pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untuk mu dan telah Aku cukupkan nikmat Ku bagimu dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu..." (QS. Al-Maidah (5):3)
Ayat di atas menjelaskan bahwa agama Islam tidak sekadar agama yang mengatur peribadatan kepada Allah Swt. saja. Namun, syariat Islam juga mengatur seluruh aspek kehidupan tak terkecuali aspek ekonomi.
Bila perekonomian dalam sistem kapitalis berbasis riba, maka perekonomian di dalam sistem Islam memiliki mekanisme yang berdasarkan syariat Islam, seperti larangan adanya riba, pengaturan kepemilikan harta, di mana ada harta yang boleh dimiliki individu, ada harta yang boleh dimiliki negara, dan juga ada harta yang menjadi milik umum sehingga distribusi kekayaan lebih merata.
Selain itu, praktik zakat dan sedekah yang diterapkan oleh negara akan mengurangi kesenjangan ekonomi karena zakat benar-benar akan didistribusikan kepada delapan asnaf sesuai QS. At-Taubah (9): 60 dan sedekah yang lebih luas cakupannya.
Islam juga menganjurkan adanya kerjasama dengan sistem bagi hasil (mudharabah) dan kemitraan (musyarakah). Oleh karena itu, penerapan ekonomi Islam akan mampu mengentaskan kemiskinan dengan mekanisme ekonomi yang lebih adil.
Namun, untuk mewujudkan hal itu dibutuhkan sistem pemerintahan yang berdasarkan Islam dan dipimpin oleh seorang khalifah yang akan melegalisasi hukum atau membuat perundangan atas dasar hukum syariat karena Islam memandang bahwa pemenuhan kebutuhan pokok setiap individu adalah tanggung jawab negara bukan diserahkan pada mekanisme pasar atau korporasi.
Rasulullah saw. bersabda: "Al Imam atau Khalifah adalah raa'in atau pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya." (HR. Bukhari)
Keberadaan seorang khalifah yang menerapkan syariat Islam dalam negara dengan sistem pemerintahan berdasarkan Islam merupakan kebutuhan yang mendesak untuk diperjuangkan saat ini. Tanpa kepemimpinan seorang khalifah yang menerapkan syariat Islam, hilanglah perisai atau pelindung umat sehingga mengakibatkan kesengsaraan global seperti yang sekarang ini terjadi.
Impitan kemiskinan dan tekanan dari musuh-musuh Islam selalu berniat untuk menguasai wilayah dan mencegah kebangkitan kaum muslim. Oleh karena itu, kita harus menyadari pentingnya persatuan umat melalui ikatan akidah untuk memperjuangkan kembali penerapan syariat Islam. Wallahualam bissawab. [Dara/MKC]