Alt Title

Menyingkap Kemiskinan di Balik Angka

Menyingkap Kemiskinan di Balik Angka



Dalam sistem kapitalis, kesejahteraan diukur bukan berdasarkan kebutuhan riil rakyat

tetapi dari data statistik yang bisa "dihias"

______________________________


Penulis Nur Salehah, S.Pd

Kontributor Media Kuntum Cahaya, Pendidik, dan Pemerhati Remaja 


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Banyak orang merasa kehidupannya sulit, penghasilannya pas-pasan, bahkan tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar secara layak. Namun, dalam data resmi mereka tidak termasuk dalam kategori miskin. Inilah ironi yang terjadi ketika standar kemiskinan nasional dan internasional saling berbeda jauh.


Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) standar kemiskinan nasional Indonesia didasarkan pada pengeluaran minimal Rp548.000 per kapita per bulan (2024). Artinya, selama seseorang mampu mengeluarkan sekitar Rp18.000 per hari, ia dianggap tidak miskin.


Sementara itu, Bank Dunia menetapkan standar garis kemiskinan ekstrem sebesar USD 2,15 atau sekitar Rp33.000 per hari (kurs Rp15.500). Dengan standar ini, sekitar 60% penduduk Indonesia sebenarnya masih berada dalam kategori miskin atau rentan miskin.(Liputan6.com, 30-03-2025)


Ketimpangan ini menimbulkan ilusi seolah angka kemiskinan berhasil ditekan padahal banyak orang hidup dalam keterbatasan. Fakta ini menunjukkan bahwa kemiskinan di Indonesia bukan hanya masalah ekonomi, tetapi juga masalah definisi dan kebijakan yang dipengaruhi sistem global.



Kapitalisme dan Ilusi Angka  


Mengapa terjadi perbedaan besar dalam standar kemiskinan ini? Jawabannya terletak pada sistem yang mendasari cara negara menyusun kebijakan, kapitalisme. Dalam sistem kapitalis, kesejahteraan diukur bukan berdasarkan kebutuhan riil rakyat, tetapi dari data statistik yang bisa "dihias" agar tampak menarik bagi investor dan lembaga internasional.


Standar kemiskinan yang rendah justru menjadi alat politik. Makin rendah angka kemiskinan versi pemerintah, makin besar peluang mendapatkan pujian global dan kepercayaan pasar. Inilah sebabnya banyak kebijakan sosial lebih berorientasi pada "angka" daripada kenyataan hidup rakyat.


Rakyat yang disebut "tidak miskin" oleh negara masih harus berjuang memenuhi makan sehari-hari, biaya pendidikan, kesehatan, hingga perumahan. Angka kemiskinan yang dilaporkan tidak mencerminkan kemiskinan struktural yang dialami mayoritas penduduk.


Dalam data BPS lebih menekankan pendekatan konsumsi, sementara Bank Dunia memakai pendekatan pengeluaran dan daya beli internasional. Perbedaan metodologi ini makin menunjukkan bahwa sistem kapitalis membiarkan kemiskinan tersembunyi dalam angka, tidak benar-benar menyelesaikannya. (Tirto.id, 02-04-2025)


Namun, mewujudkan sistem yang benar-benar adil tidak bisa hanya dengan mengubah metode penghitungan. Perlu perubahan sistemik menyeluruh karena sumber masalahnya ada pada asas kebijakan itu sendiri. Selama kebijakan dibuat dengan standar kapitalistik, maka manipulasi angka akan terus terjadi. Dalam sistem ini, data menjadi alat politik, bukan refleksi realitas. Oleh karena itu, umat Islam perlu mulai memikirkan kembali dari mana solusi sejati harus diambil, bukan sekadar menambal sistem yang cacat.



Islam Wajib Menjamin Kebutuhan Rakyat


Berbeda dari sistem kapitalis yang membiarkan kemiskinan diatur oleh mekanisme pasar, Islam menempatkan negara (Khil4fah) sebagai pihak yang bertanggung jawab langsung atas pemenuhan kebutuhan pokok rakyat. Dalam Islam, kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, papan, pendidikan, dan kesehatan wajib dijamin oleh negara bagi setiap individu, bukan sekadar keluarga atau rumah tangga. Rasulullah saw. bersabda:


"Imam (khalifah) adalah pemelihara rakyat dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya." (HR. Bukhari dan Muslim)


Praktik ini terbukti dalam sejarah peradaban Islam. Pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, selama dua tahun masa pemerintahannya, tidak ditemukan lagi orang yang mau menerima zakat karena seluruh kebutuhan mereka telah terpenuhi.


Sistem distribusi kekayaan dilakukan secara adil, sumber daya alam dikelola negara, dan kekayaan tidak terpusat hanya pada elite. Islam menetapkan tiga prinsip utama dalam pengelolaan ekonomi:


1. Kepemilikan yang jelas: Ada kepemilikan individu, negara, dan umum.


2. Distribusi kekayaan: Negara mencegah penumpukan harta dan menjamin distribusi kekayaan merata.


3. Pemenuhan kebutuhan dasar: Negara menjamin agar kebutuhan pokok individu terpenuhi secara menyeluruh.


Namun, mewujudkan sistem Islam sebagai solusi tentu membutuhkan kesadaran kolektif umat. Dibutuhkan pendidikan politik yang benar, penguatan identitas keislaman, serta pemahaman mendalam tentang bagaimana Islam mengatur ekonomi, politik, dan sosial secara sistemik. Tidak cukup hanya dengan menuntut kebijakan yang adil di tengah sistem yang cacat, tetapi perlu perjuangan untuk mengubah sistem secara keseluruhan.


Kebangkitan umat tidak bisa dilepaskan dari kesadaran bahwa Islam adalah agama sekaligus ideologi yang membawa rahmat bagi seluruh alam. Islam bukan hanya mengatur ibadah ritual, tetapi juga memiliki sistem kehidupan yang paripurna, termasuk dalam menuntaskan kemiskinan.


Khatimah


Kemiskinan yang kita lihat hari ini bukan hanya soal angka, tetapi juga soal sistem yang digunakan dalam mengelola kehidupan masyarakat. Selama pengelolaan ekonomi masih berbasis kapitalisme, rakyat akan terus disesatkan oleh statistik yang tidak mencerminkan kenyataan.


Sudah saatnya umat Islam menyadari bahwa solusi yang menyeluruh dan adil berasal dari Islam itu sendiri. Bukan sekadar menambal dengan bantuan sementara, tetapi membangun sistem yang menjamin kesejahteraan seluruh rakyat secara struktural dan berkeadilan. 


Khil4fah Islam adalah model yang pernah membuktikan hal itu dan bisa menjadi inspirasi untuk solusi ke depan. Ketika umat mulai kembali pada Islam sebagai solusi, maka ilusi data akan sirna, dan keadilan hakiki akan menjadi nyata. Inilah jalan yang harus ditempuh bersama, dengan keyakinan dan perjuangan. Wallahualam bissawab. [EA/MKC]