Menelusuri Akar Kegagalan Gizi
OpiniKasus keracunan ini mengungkapkan lemahnya pengelolaan
mulai dari tahap perencanaan, pengadaan bahan makanan, distribusi, hingga pengawasan
__________________
Penulis Ani Yunita
Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Pemerhati Generasi
KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - “Air susu dibalas air tuba." Begitulah nasib program makanan bergizi gratis yang niatnya mulia, tetapi berujung celaka. Alih-alih membawa manfaat, justru ratusan siswa di Kota Bogor harus dilarikan ke fasilitas kesehatan akibat keracunan.
Faktanya, terdapat 210 siswa dari tingkat TK hingga SMP mengalami keracunan. Data ini disampaikan secara tertulis oleh Kepala Dinas Kesehatan Kota Bogor Sri Nowo Retno. Sebelumnya, angka korban sempat disebutkan sebanyak 171 siswa terus bertambah seiring laporan masuk. (cnnindonesia.com, 11-05-2025)
Namun demikian, program yang semula dijanjikan sebagai solusi untuk krisis gizi nasional justru menyebabkan keracunan massal. Kejadian ini memunculkan pertanyaan mengenai sejauh mana negara hadir untuk menjamin kesejahteraan dan keselamatan warganya padahal dalam Pasal 28H Ayat 1 UUD 1945, negara telah diwajibkan untuk menjamin hak setiap warga negara atas kehidupan yang sejahtera, termasuk hak memperoleh makanan yang layak.
Kasus keracunan ini mengungkapkan lemahnya pengelolaan, mulai dari tahap perencanaan, pengadaan bahan makanan, distribusi, hingga pengawasan. Negara seharusnya hadir untuk memastikan kualitas makanan, bukan sekadar menjadi formalitas belaka.
Begitu naasnya rakyat miskin yang sering kali dianggap sebagai kelompok mayoritas dengan masalah gizi menjadi sasaran utama kebijakan tersebut. Ketika kebijakan tersebut gagal, mereka yang paling menderita, bahkan sampai mengancam keselamatan hidup mereka. Sementara, pihak penyedia layanan dan pejabat yang bertanggung jawab sering kali terlepas dari hukuman.
Di saat rakyat kecil menanggung akibat paling pahit, pihak vendor, penyedia jasa, hingga pejabat yang seharusnya bertanggung jawab justru kerap lolos dari jerat hukum. Ketimpangan ini menjadi luka sosial dan membuat ketidakpercayaan publik terhadap penguasa.
Fenomena ini tak bisa dilepaskan dari kapitalisme yang menjadi kerangka utama kebijakan saat ini. Sistem yang tidak menjadikan rakyat sebagai pusat, melainkan menjadikan efisiensi anggaran dan kemitraan dengan swasta sebagai tolok ukur keberhasilan.
Seolah-olah negara perlahan menjelma menjadi manajer proyek, bukan pelindung rakyat. Pelayanan publik diserahkan ke tangan mereka yang menjadikan keuntungan sebagai misi utama. Alhasil, keselamatan rakyat tak lebih dari angka statistik, bukan prioritas. Yang menyakitkan di tengah jargon “makanan bergizi untuk semua” justru adalah risiko yang ditinggalkan nyawa rakyat kecil. Seperti biasa, yang jatuh sakit rakyat, yang duduk tenang para pemilik kuasa.
Sudah seharusnya negara hadir secara utuh dalam memenuhi kebutuhan dasar rakyat dengan kualitas yang terjamin. Amanah ini tidak bisa begitu saja dialihkan kepada pihak swasta yang menjadikan keuntungan sebagai kiblat utama. Ketika negara melepas kontrol dan menyerahkan tanggung jawab kepada tangan-tangan kapital. Yang terjadi bukan pelayanan, tetapi perdagangan kebutuhan rakyat.
Sebenarnya ini bukan sekadar krisis layanan, tetapi krisis arah hidup. Sudah saatnya bangsa ini berpaling dari sistem yang meminggirkan kemanusiaan. Kegagalan demi kegagalan harus menjadi pengingat bahwa kita butuh perubahan mendasar, bukan tambal sulam. Sistem yang memosisikan rakyat sebagai amanah, bukan objek eksploitasi. Sistem yang tak sekadar menjanjikan sejahtera, tetapi benar-benar melindungi, mengayomi, dan menyejahterakan.
Dalam sistem Islam, memandatkan negara untuk melayani rakyat bukan atas dasar keuntungan ekonomi, melainkan sebagai bentuk ibadah dan tanggung jawab keimanan kepada Allah Swt.. Dalam pandangan Islam, keselamatan dan kesejahteraan rakyat bukan sekadar angka di atas kertas, tetapi amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Sang Pencipta.
Oleh karena itu, negara dalam sistem Islam tak hanya memberikan pelayanan publik, tetapi menegakkan keadilan dalam setiap kebijakan. Setiap kelalaian yang merugikan rakyat tidak akan dibiarkan berlalu tanpa konsekuensi. Bila ditemukan unsur kelalaian dari negara, pejabat, pegawai, maupun pihak swasta dalam pelayanan publik termasuk dalam penyediaan makanan, Islam menindak dengan tegas.
Jika ada korban jiwa akibat kelalaian, kasus tersebut dikategorikan sebagai qatl khatha’ (pembunuhan karena lalai), yang menuntut sanksi pidana (jinayah), termasuk diat (ganti rugi). Dalam praktiknya, sistem Islam telah menerapkan makan gratis sebagai bentuk tanggung jawab negara terhadap rakyat.
Salah satu contohnya adalah masa kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz, di mana negara menyediakan makanan secara cuma-cuma untuk masyarakat miskin, yatim, musafir, bahkan untuk hewan. Dana untuk pembiayaan ini berasal dari Baitulmal (kas negara Islam), yang diambil dari sumber-sumber syariat seperti zakat, fai, kharaj, dan lainnya.
Begitu pula Islam menganggap bahwa kebutuhan dasar seperti makanan, pendidikan, dan kesehatan adalah hak rakyat yang wajib ditunaikan oleh negara, tanpa syarat dan tanpa niat komersial. Maka dari itu, pelayanan makan bergizi dan berkualitas harus menjadi kewajiban dalam sistem Islam.
Negara Islam bertanggung jawab penuh terhadap rakyat sebagaimana diatur oleh Allah Swt.. Pelayanan optimal termasuk penyediaan makanan bergizi hanya terwujud jika Islam diterapkan secara menyeluruh di seluruh aspek kehidupan. Wallahualam bissawab. [Dara/MKC]