Haram Memalak Rakyat dengan Pajak
Surat PembacaSistem yang mengagungkan materi dan keuntungan
menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan yang bersifat materi
________________________
KUNTUMCAHAYA.com, SURAT PEMBACA - Berlakunya kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) hingga 12% di bulan Januari 2025 mendatang, terus memancing kritik dari masyarakat.
Karena hal itu dianggap sebagai beban tambahan di tengah kondisi ekonomi masyarakat yang kian buruk terutama pasca COVID-19. Menyusul dengan gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal yang mengakibatkan meningkatnya angka pengangguran.
Sepanjang Januari hingga Agustus 2024 saja berdasarkan laporan Kementerian Ketenagakerjaan korban PHK mencapai 46.240 orang pekerja.(Satudata.kemnaker.go.id, 20-9-2024)
Tidak hanya itu, daya beli masyarakat juga mengalami penurunan, terutama pada beberapa bulan terakhir. (Tempo.co, 17-10-2024)
Kebijakan Kapitalisme Menzalimi Rakyat
Kebijakan menaikkan pajak yang memberatkan rakyat ini wajar terjadi dalam negara yang menerapkan sistem kapitalis yang mengagungkan materi dan keuntungan, juga menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan yang bersifat materi, bukan untuk kemaslahatan rakyat.
Selain itu, negara yang menggunakan sistem kapitalis kerap memberlakukan berbagai pungutan/pajak secara terus menerus untuk menutupi defisit anggaran akibat sistem ekonomi yang berbasis utang.
Jelas ini merupakan kezaliman penguasa terhadap rakyat apalagi di tengah kondisi serba kesulitan, terutama yang berpenghasilan rendah atau rakyat miskin. Kezaliman seperti ini haram hukumnya. Ajaran Islam tegas melarang sesuatu yang diharamkan.
Begitu pula pemimpinnya, disiplin dalam menerapkan aturan syariat karena ketaatannya kepada Allah Swt.. Seorang penguasa di dalam IsIam tidak hanya pemimpin, akan tetapi sekaligus pelayan dan pengurus rakyat. Oleh karenanya tentu tidak pantas jika ia memalak rakyatnya dengan berbagai macam pajak yang seharusnya dilakukan adalah melindungi rakyatnya dari berbagai kesulitan dan menjamin kesejahteraan.
Negara Sejahtera Tanpa Pajak
Berbeda dengan kapitalisme yang mengandalkan pemasukan dari pajak, sistem Islam justru sebaliknya, tidak memberlakukan pajak kepada rakyat, kecuali dalam kondisi darurat, dan itu pun hanya berlaku bagi orang kaya saja dan dihentikan ketika sudah tercukupi.
Negara akan memberlakukan sistem ekonomi Islam beserta hukum-hukum Islam lainnya secara kafah (menyeluruh), termasuk dalam pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), baik terkait pemasukan maupun pengeluarannya.
Menurut Syaikh Abdul Zallum (2003), pemasukan dalam APBN negara Islam terdiri dari 12 kategori, di antaranya: harta rampasan perang (anfal, ghanimah, fa'i dan khumus), kharaj, jizyah, 'usyr, harta milik umum, harta milik negara, harta yang disita dari pejabat dan pegawai negara karena diperoleh dengan cara haram, zakat, dan sebagainya.
Dari banyaknya pemasukan tersebut yang paling besar kontribusinya adalah dari harta milik umum (milkiyyah 'âmah). Karena terkategori milik umum, maka harta tersebut tidak boleh dimiliki oleh individu atau swasta, baik swasta lokal maupun asing dan aseng.
Sebagaimana sabda Rasulullah saw., "Manusia berserikat dalam tiga perkara: air, padang rumput, dan api." (HR. Abu Dawud)
Dikisahkan oleh Abyadh bin Hammal r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah saw. pernah menarik (mengambil) kembali tambang garam yang semula sempat diberikan kepada Abyadh r.a.. Tindakan itu dilakukan setelah beliau diberitahu oleh para sahabat tentang betapa melimpahnya tambang garam tersebut (seperti air mengalir).
Dari hadis tersebut dapat disimpulkan terutama oleh para ulama bahwa semua sumber daya alam, termasuk tambang yang depositnya melimpah terkategori milik umum. Negaralah yang wajib mengelolanya, kemudian hasilnya diberikan kepada seluruh rakyat, baik langsung maupun tidak langsung.
Di Indonesia, harta milik umum ini jika dikelola dengan benar oleh negara dapat memberikan penerimaan yang sangat besar sekaligus dapat dimanfaatkan untuk menyejahterakan rakyat. Contohnya batu bara, minyak mentah, gas alam, emas, nikel, dan sebagainya. Belum lagi hasil hutan maupun laut yang melimpah. Asalkan dikelola dengan benar yakni sesuai syariat, niscaya akan menambah pendapatan negara.
Oleh karena itu, sudah saatnya harus mengganti sistem kapitalis dengan sistem Islam dan menerapkan syariat Islam di dalam pemerintahannya, karena itu adalah suatu kewajiban dari Allah Swt. dan Rasul-Nya.
Hanya dengan menerapkan syariat Islam dalam semua aspek kehidupan, segala kesulitan umat dan bangsa akan terselesaikan, termasuk dalam mengelola perekonomian, di antaranya dalam mengelola APBNnya sehingga tidak perlu berutang dan menerapkan pajak kepada rakyat. Wallahualam bissawab. [SM/MKC]
Penulis Ummu Qyu
Komunitas Perindu Surga dan Kontributor Media Kuntum Cahaya