Alt Title

Baiti Jannati

Baiti Jannati

 


Baiti jannati akan terwujud bila sudah meraih sakinah, mawadah warahmah

Setiap anggota keluarga memahami peran masing-masing sehingga terjalin suatu kerja sama yang saling mendukung dan melengkapi satu sama lain

___________________


Penulis Arda Sya'roni 

Kontributor Media Kuntum Cahaya 


KUNTUMCAHAYA.com, INSPIRASI - Baiti jannati, sering sekali kita dengar atau terkadang kita menyebutnya dengan istilah home sweet home. Ya, rumahku surgaku tentu adalah harapan setiap rumah tangga. Siapa yang tak mendamba rumah tenang, tenteram bahagia, aman sentosa, dan damai sejahtera? Namun, pertanyaannya mengapa terkadang rumah yang kita damba laksana surga berubah bak neraka dunia? Terasa panas dan menyesakkan dada.


Pernikahan Adalah Ibadah Terlama

Saat menikah banyak dari kita yang hanya bermodalkan cinta semata. Cinta akan wajahnya yang rupawan, bentuk fisiknya yang menggoda, kepandaiannya, jabatannya, nasabnya, karena ini dan itu. Bila pernikahan hanya bermodalkan demikian bila hal tersebut telah lenyap darinya, akan pudarlah cinta itu. Bila cinta telah memudar dapat dipastikan kehidupan pernikahan terasa hambar bahkan mungkin pertikaian kerap menyertai sehingga rumah ibarat neraka dunia.


Tak banyak dari kita yang beranggapan bahwa pernikahan hanya menyatukan dua hati untuk melestarikan keturunan semata. Padahal, pernikahan adalah untuk melengkapi separuh agama serta merupakan sebuah ibadah terlama. Tak seperti salat yang hanya dilakukan beberapa menit saja, atau puasa yang dilakukan hanya semenjak Subuh hingga Maghrib, atau ibadah haji yang hanya selama beberapa hari saja. Sedangkan menikah adalah ibadah untuk seumur hidup hingga maut memisahkan. 


Islam Mengatur Pernikahan 

Islam tak hanya agama yang mengatur tentang ibadah saja. Melainkan mengatur urusan pernikahan, rumah tangga, parenting dan semua urusan dalam kehidupan manusia. Dalam Islam pernikahan tak hanya menyatukan dua insan karena cinta untuk sekedar melestarikan keturunan. Namun, pernikahan adalah menyatukan dua insan yang berbeda dalam satu visi dan misi, yaitu mewujudkan generasi gemilang yang menegakkan tauhid dan melangkah bersama sehidup sesurga.


Dari Abi Hurairah RA, Rasulullah saw. bersabda, “Wanita itu dinikahi karena empat hal. Karena hartanya, nasabnya, kecantikannya, dan agamanya. Namun, dari empat itu paling utama yang harus jadi perhatian adalah masalah agamanya. Maka, perhatikanlah agamanya kamu akan selamat.” (HR Bukhari Muslim)


Bila pernikahan disandarkan pada Allah, sudah sepatutnya dibutuhkan pasangan yang paham agama dan menegakkan syariat Allah dalam mengarungi perjalanan pernikahannya. Dibutuhkan  calon ibu yang paham agama agar bisa mendidik anak-anaknya dan mencetak generasi gemilang. Dibutuhkan calon ayah yang paham agama pula agar mengerti tugasnya sebagai pemimpin yang mengantarkan keluarganya ke jannah.


Keluarga Pada Sistem Kapitalis 

Baiti jannati akan terwujud bila sudah meraih sakinah, mawadah warahmah. Setiap anggota keluarga memahami peran masing-masing sehingga terjalin suatu kerja sama yang saling mendukung dan melengkapi satu sama lain. Kesadaran akan hubungan dengan Allah pada tiap individu juga berpengaruh terhadap bagaimana menyikapi setiap permasalahan yang hadir. Hal ini tentunya menjadi penyebab sebuah rumah sebagai baiti jannati


Namun, faktanya di sistem kapitalis saat ini tingkat stress setiap individu sangat tinggi. Biaya hidup yang terus merangkak naik, biaya pendidikan yang merogoh kocek sangat dalam, kesehatan yang makin tak terbeli, keamanan yang semakin hari semakin meresahkan, belum lagi lapangan kerja yang semakin sulit dicari dan masih banyak lagi permasalahan pelik lainnya. Semua hal tersebut tentunya membebani suami sebagai pencari nafkah. Sehingga solusi pintas dengan menyertakan istri turut membanting tulang mencari penghasilan tambahan. Hal ini mengakibatkan sang anak terbengkalai tak terurus dengan baik. Ibu sebagai madrasah pertama tak mampu menjalankan fungsinya. Anak dimanjakan oleh gadget dan jajanan minim gizi. 


Ayah lelah bekerja, pontang-panting memenuhi kebutuhan hidup yang tak murah. Ibu lelah mencari tambahan untuk menutupi hutang sana sini karena gaji suami yang tak sepadan. Anak disibukkan oleh kegiatan sekolah. Alhasil, quality time bersama keluarga hilang ditelan kesibukan masing-masing. Tak ada lagi komunikasi santai. Ayah tak lagi mengajak diskusi, ibu tak lagi mengajak bercanda, anak semakin kehilangan arah. Jika seperti ini, akankah terwujud keluarga sakinah mawadah warahmah serta baiti jannati?


Negara Sistem Islam

Dalam Islam, sebuah pernikahan merupakan suatu hal yang teramat penting. Karena, di dalam negara dengan sistem Islam pernikahan menjadi suatu hal yang turut memperoleh perhatian khusus pemerintah. 


Pada masa kejayaan Islam di era kekhilafahan, negara akan menjembatani rakyatnya dalam urusan pernikahan. Negara akan mempermudah segala urusan pernikahan. Bila seorang lelaki yang telah dirasa mampu menikah, tetapi terkendala biaya, negara akan membantunya bahkan tak segan negara turut menyiapkan maharnya. Negara juga mencarikan pasangan bagi para jomblo


Tak hanya itu, dalam masalah pernafkahan, negara akan mengaturnya dengan sedemikian rupa. Dengan demikian, tak akan ditemui janda yang harus pontang-panting mencari nafkah, tak pula ditemui para istri yang menjadi tulang punggung, atau seorang anak yang dibesarkan di jalanan demi sesuap nasi. 


Bila negara Islam tegak, segala urusan yang menyangkut hajat hidup umat akan menjadi tanggung jawab negara. Termasuk di dalamnya masalah pendidikan, kesehatan, keamanan, kebutuhan hidup seperti air, listrik, sumber daya alam, dan sembako. Bila kebutuhan dasar ini telah terpenuhi tentunya tiap keluarga tak lagi terbebani oleh biaya kehidupan yang tinggi sehingga tiap keluarga bisa fokus pada ketaatan. Apalagi ketaatan ini didukung oleh negara dengan aturan-aturan yang sesuai hukum syarak. Sehingga, setiap keluarga akan disibukkan oleh ibadah dan mencari rida Allah semata. Alhasil, keluarga sakinah mawadah warahmah akan diraih dan rumah sebagai baiti jannati terwujud nyata. Wallahualam bissawab. [Dara]