Alt Title

Derita Nakes Berupah Rendah yang Makin Terjajah

Derita Nakes Berupah Rendah yang Makin Terjajah


Problematika kompleks yang dialami para nakes ini 

sejatinya menunjukkan gagalnya sistem kapitalisme hari ini mewujudkan kesejahteraan bagi nakes


_____________________________


Penulis Etik Rositasari

Kontributor Media Kuntum Cahaya dan Mahasiswa Pascasarjana UGM


KUNTUMCAHAYA.com, OPINI - Baru - baru ini nasib tenaga kesehatan kembali menorehkan pilu. Hal ini terjadi usai Bupati Manggarai Nusa Tenggara Timur (NTT) Heribertus Nabit memecat 249 nakes non ASN. Ihwal pemecatan ini dilakukan setelah para nakes yang bersangkutan melakukan demonstrasi menuntut perpanjangan kontrak kerja, kenaikan honor serta tambahan penghasilan. Heribertus menganggap bahwa hal tersebut merupakan bentuk ketidakpatuhan terhadap keputusan gubernur sebagai pemegang otoritas tertinggi.


Kabar pemecatan tersebut mengundang respon dari berbagai pihak. Dilansir dari tvone.com (13/04) Presiden Asosiasi Pekerja Kesehatan Seluruh Indonesia (APKSI), Sepri Latifan menyampaikan bahwa pemecatan sepihak ini merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak menyatakan pendapat. Apalagi diketahui bahwa para nakes yang melakukan demonstrasi hanya diberi upah sebesar 400 hingga 600 ribu per bulan. Dengan nominal sekecil itu, wajar jika mereka menuntut kelayakan upah.


Sementara, Matias Masir selaku Ketua DPRD Manggarai bahkan mengaku prihatin terhadap nasib para nakes. Pasalnya, setelah upaya dengar pendapat dilakukan, baru diketahui bahwa para nakes non ASN yang dipecat tersebut ternyata belum digaji sejak Januari 2024 meski pemecatan dilakukan per 1 April 2024.


Aksi pemecatan ini tak pelak mengundang kekhawatiran tersendiri bagi nakes yang terdampak. Hal ini tak lain karena banyak yang menggantungkan upah tak seberapa tersebut sebagai satu - satunya sumber pemasukan keluarga. Sebut saja salah satunya seorang nakes perempuan dengan kondisi suami tidak bekerja sementara anak masih kecil. Ia mengaku panik dan bingung setelah mendengar ihwal pemecatan dirinya karena ekonomi keluarga ditopang oleh gajinya sebagai nakes.


Tak ingin kehilangan sumber kehidupan, para nakes yang terlibat aksi akhirnya memutuskan meminta maaf kepada Bupati Manggarai. Dalam isi surat permintaan maafnya, mereka meminta Bupati mempekerjakan mereka kembali di wilayah kerjanya masing masing. Hingga saat ini sang bupati belum mengomentari apapun terkait keinginan para nakes tersebut.


Sejatinya, kondisi memprihatinkan ini tak hanya dialami oleh para nakes di NTT. Nakes di beberapa wilayah lain di Indonesia turut mengalami hal yang sama. Menurut Ikatan Senat Mahasiswa Kedokteran Indonesia (ISMKI), masih ada 34,5% nakes yang mendapat upah dibawah standar. Sementara berdasarkan statistika, satu dari tiga pegawai Puskesmas masih mendapat gaji di bawah UMR. Sungguh ironis!


Padahal, sudah jamak diketahui betapa pentingnya peran dan tanggung jawab nakes. Apalagi jika mengingat perjuangan para nakes saat pandemi COVID melanda. Tak tanggung tanggung, mereka rela bekerja siang malam bergulat dengan virus menular dan menjadi garda terdepan dalam perawatan pasien. Sayangnya, pekerjaan yang sangat berisiko ini tak diimbangi dengan jumlah upah yang diperoleh.


Lagu lama seperti minimnya ketersediaan dana dari pemerintah setempat lagi - lagi menjadi alasan. Padahal, terbatasnya upah tentu akan mempengaruhi kinerja nakes. Bagaimana tidak, jika gaji tak dapat mencukupi kebutuhan sehari hari. Mau tak mau mereka harus mencari pekerjaan sampingan untuk menambal kekurangan dana. Terpecahnya fokus ini secara otomatis akan berdampak pada penurunan kualitas pelayanan yang diberikan nakes.          


Problematika kompleks yang dialami para nakes ini sejatinya menunjukkan gagalnya sistem kapitalisme hari ini mewujudkan kesejahteraan bagi nakes. Bagaimana tidak, kapitalisme telah membuat negara menjadi miskin hingga tak mampu menggaji pegawainya dengan layak.


Memang, secara teori tak diragukan lagi Indonesia adalah negara kaya dengan sumber daya alam yang berlimpah. Sayangnya, alih-alih dikelola mandiri untuk kepentingan rakyat, sumber daya alam yang ada justru diobral kepada pihak asing. Bahkan, mereka diberikan karpet merah oleh penguasa hingga bebas mengeruk keuntungan sebesar - besarnya. Sementara, rakyat dan pemerintah setempat hanya disisakan remahan keuntungan tak seberapa dari hasil yang mereka dapatkan. 


Tak usah jauh - jauh, di NTT saja sebenarnya memiliki SDA yang melimpah ruah seperti mangan, bara, nikel dan tembaga. Hanya saja, karena semua SDA tersebut dikelola oleh asing. Alih alih membuat masyarakat NTT semakin sejahtera, justru kemiskinan struktural yang melanda, hingga nakes terkena dampaknya.


Selain akibat salah kelola, sistem kapitalisme nyatanya telah melahirkan para pemimpin individualis yang tak peduli permasalahan umat. Bukannya menjadi penanggung jawab, para penguasa justru sibuk menjadi regulator yang bertugas semata menjaga stabilitas hubungan para oligarki dan rakyat. Alhasil, visi menyejahterakan warga negara, tak setitik pun tergambar dalam benak mereka. Bahkan, mereka lebih memilih melindungi kepentingan pemilik modal yang tentu lebih menguntungkan.


Hal ini sangat berbeda dengan apa yang ada dalam sistem Islam. Dalam Islam, penguasa adalah ra’in yang bertanggung jawab atas urusan warga negaranya. Maka, alih alih tak peduli, mereka akan menghibahkan waktu dan tenaga terbaik untuk menjadi pelayan umat. Apalagi dengan adanya paradigma terkait akan dimintainya pertanggungjawaban seluruh amanah yang tumbuh dari penanaman akidah yang kokoh. Maka, para penguasa akan merasa takut jika mereka menyalahgunakan kekuasaan yang telah diamanahkan.   


Selain itu, Islam juga menjamin kebutuhan pokok seperti pangan, sandang, papan dan kebutuhan kebutuhan lain yang bersifat krusial bagi umat seperti pendidikan dan kesehatan. Dengan demikian, negara wajib menyediakan sarana kesehatan yang memadai bagi rakyatnya, termasuk menyediakan logistik yang cukup serta SDM terbaik.


Rumah sakit dan puskesmas dengan fasilitas lengkap serta nakes yang profesional akan disediakan secara merata di seluruh wilayah negara. Negara akan memastikan tak satupun wilayah tak dapat menjangkau akses kesehatan secara memadai. Demikian, untuk menunjang pelayanan yang berkualitas dan optimal, negara akan memberikan gaji yang layak bagi para nakes sesuai dengan resiko dan beban kerja masing masing.


Meski harus memberikan upah yang sesuai bagi para pegawainya, negara dalam sistem Islam tak akan mengalami defisit. Hal ini dikarenakan sumber pemasukan yang nantinya akan digunakan untuk pembiayaan layanan publik termasuk kesehatan akan ditanggung oleh baitul mal. Sementara, pemasukan baitul mal akan optimal sebab alih alih mengandalkan pihak swasta, negara akan mengambil alih tanggung jawab pengelolaan SDA untuk dimanfaatkan bagi kepentingan umat secara umum. Hal ini dikarenakan, SDA sejatinya adalah milik rakyat yang tidak boleh dikuasai oleh segelintir orang.


Rasulullah SAW bersabda : “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad)


Walhasil, dengan adanya pengaturan semacam itu, SDA tak akan disalahgunakan oleh para korporat. Baitulmal akan kokoh sehingga bisa menopang pengeluaran-pengeluaran krusial negara termasuk pembiayaan upah bagi para nakes. Dengan demikian, persoalan nakes berupah rendah akan dapat terselesaikan sebab pemasukan negara berlimpah.


Begitulah saat sistem Islam diterapkan. Maka, untuk mengakhiri derita umat termasuk para nakes, sudah saatnya hegemoni kapitalisme diakhiri dan sistem Islam ditegakkan. Wallahualam bissawab. [Dara]